Selasa, 30 September 2008

Keuangan Negara


Utang Indonesia ke Paris Club Tidak Akan Dijadwal Ulang
Selasa, 30 September 2008 | 01:02 WIB

Jakarta, Kompas - Upaya pemerintah meringankan beban pembayaran utang kepada kelompok Paris Club tidak akan dilakukan dengan cara penjadwalan ulang atau rescheduling, melainkan dengan restrukturisasi melalui pengelolaan pembayaran atau refinancing utang sejenis.

Opsi penjadwalan ulang tidak menjadi pilihan pemerintah karena Indonesia akan dipersepsikan gagal bayar dan perlu mengundang kembali Dana Moneter Internasional (IMF).

”Opsi rescheduling utang di Paris Club melalui IMF sudah tertutup,” ujar Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Rahmat Waluyanto, akhir pekan lalu di Jakarta.

Menurut Rahmat, restrukturisasi utang ini dilakukan secara terintegrasi dengan perlakuan yang sama kepada semua kreditor atau investor. Depkeu akan melakukan pendekatan pengelolaan utang secara menyeluruh, kemudian menawarkan program restrukturisasi itu kepada semua kreditor. Jadi, dilakukan melalui mekanisme pasar sebelum utang itu jatuh tempo

”Mekanismenya bisa saja dilakukan dengan prepayment at nominal atau buyback at market value, tergantung kondisi di pasar modal. Pemerintah bisa mengubah pembayaran satu jenis utang dengan penerbitan atau pengadaan utang lain. Misalnya, mengubah pembayaran pinjaman luar negeri dengan menukarkannya pada SUN (surat utang negara),” papar Rahmat.

Dengan demikian, restrukturisasi utang di Paris Club akan dilakukan bersamaan dengan utang-utang pemerintah lainnya, baik dalam bentuk surat berharga atau sekuritas maupun pinjaman bilateral dan multilateral luar negeri. Maka, pembayaran utang di Paris Club bisa saja dilakukan dengan cara menyilangkan pada sekuritas atau dengan program pinjaman lain. Tujuan utamanya adalah mencari cara agar beban pembayaran utangnya tidak menumpuk di satu periode.

”Refinancing-nya nanti dilakukan antara sekuritas dengan sekuritas atau antara satu pinjaman dengan pinjaman lain. Bisa juga dilakukan antara pinjaman luar negeri dengan pinjaman domestik. Seluruh proses ini akan dimulai tahun 2009,” ujar Rahmat.

Data Depkeu menunjukkan, jumlah total utang luar negeri pemerintah ke kelompok Paris Club senilai senilai 43,37 miliar dollar AS atau 68,65 persen terhadap total utang luar negeri pemerintah yang mencapai 63,17 miliar dollar AS per 31 Agustus 2008. Kelompok ini memiliki 19 negara anggota, tetapi Indonesia hanya berutang kepada 17 negara anggota Paris Club.

Puncak masa jatuh tempo utang Indonesia kepada Paris Club adalah antara tahun 2009-2011, yakni antara Rp 30 triliun-Rp 35 triliun setahun. (OIN)

Wirausaha


Buka Cara Berpikir Orang Muda
Selasa, 30 September 2008 | 01:03 WIB

Jakarta, Kompas - Sejak dini cara berpikir orang muda perlu dibuka untuk menjadi entrepreneur atau wirausaha. Jangan sampai ketekunan belajar di sekolah hanya menghasilkan kebingungan karena setelah lulus sekolah sulit mendapatkan pekerjaan dan ”terpaksa” menjadi wirausaha.

Demikian diungkapkan Presiden dan CEO YoungBiz Indonesia Ivonne A Lingga di sela-sela kompetisi final National Entrepreneurship Award 2008 di Jakarta, Sabtu (27/9). Sebanyak 10 finalis yang berasal dari sekolah-sekolah swasta ternama di Jakarta dan sekitarnya ditantang untuk berani mempresentasikan rencana bisnisnya yang unik.

Ivonne mengatakan, mindset atau pola berpikir adalah sesuatu yang paling penting. Dari pola berpikir, manusia dapat menyusun rencana strategis atau rencana bisnis yang dapat menjadikan dirinya lebih mandiri.

Data YoungBiz Indonesia menyebutkan, hampir 10 persen dari 110 juta tenaga kerja di Indonesia adalah pengangguran. Angka ini diperkirakan akan naik 300.000- 500.000 orang setiap tahunnya. Organisasi Buruh Internasional (ILO) melaporkan bahwa 69 persen dari muda-mudi di Indonesia adalah pengangguran.

Buka jejaring

Agung Waluyo dari Ciputra Foundation mengatakan, wirausaha muda diharapkan tumbuh menjadi orang yang dapat menginspirasikan peluang-peluang bisnis bagi masyarakat. Untuk memperkuat gagasan inovatifnya, wirausaha juga perlu membuka jejaring lebih luas, pendampingan, siap bekerja sama, dan inspirasinya menjadi penentuan kebijakan masa depan.

Dalam presentasi para finalis, konsep bisnis yang ditampilkan terlihat inovatif, unik, dapat diaplikasikan, berpotensi mendatangkan keuntungan selama kurang dari satu tahun, dan berpotensi untuk terus bertumbuh.

Tim dari SMU Tiara Bangsa, misalnya. Dalam presentasinya, David May dan Yori Atira menyajikan gagasan tas ransel unik dan memiliki fungsi nyaman.

”Dengan investasi sekitar Rp 337 juta, keuntungan yang diperoleh bisa mencapai sekitar Rp 400 juta per bulan. Itu pun teknik pemasaran memerlukan kegigihan karena target pasarnya bukan hanya turis, tetapi lebih diutamakan para pencinta alam di sekolah-sekolah,” ujar Yori.

Tim dari SMU Stella Maris menyajikan jenis usaha studio musik. Pasar orang muda menjadi sasaran utama. Namun, jenis usaha dikritisi dewan juri karena rawan ditiru oleh pesaing. (OSA)

Krisis Keuangan


Bank-bank Eropa Terus Ditolong
Selasa, 30 September 2008 | 00:17 WIB

London, Senin - Krisis finansial di Amerika Serikat terus menebarkan efek. Deretan bank yang jadi korban di Eropa pun bertambah. Hal itu membuat pemerintah di Eropa harus turun tangan menolong dan mengatasi masalah perbankan di sana.

Pemerintah Belgia, Luksemburg, dan Belanda, Minggu (28/9) malam waktu setempat, memutuskan menstabilkan Fortis Group dengan menyediakan modal 11,2 miliar euro atau sekitar Rp 155,8 triliun untuk meningkatkan solvabilitas dan likuiditasnya.

Ketiga pemerintah itu memiliki 49 persen saham Fortis. Fortis akan menjual kepemilikannya di ABN AMRO yang dibelinya tahun lalu kepada pesaingnya, ING. Transaksi ini diharapkan selesai dalam dua pekan.

Fortis, bank terbesar kedua di Belanda dan perusahaan swasta terbesar di Belgia, memiliki 85.000 pegawai di seantero dunia dan beroperasi di 31 negara, termasuk Indonesia.

Akibat kekisruhan itu, Chief Executive Officer Fortis Maurice Lippens mengundurkan diri. Sementara itu, Presiden Direktur PT Fortis Investments di Indonesia Eko P Pratomo menyatakan tetap optimistis pada bisnis pengelolaan dana di Indonesia.

Komisi Eropa di Brussels, Belgia, kemarin, mengatakan, kehadiran Gubernur Bank Sentral Eropa Jean-Claude Trichet dalam penyelesaian masalah itu memperlihatkan dukungan Uni Eropa dalam mengatasi masalah finansial tersebut.

Selain upaya menyelamatkan Fortis, Pemerintah Jerman dan konsorsium perbankan juga tengah berupaya menyelamatkan Bank Hypo Real Estate, bank terbesar pemberi kredit kepemilikan rumah di Jerman.

Pemerintah Jerman menyiapkan dana 35 miliar euro atau sekitar Rp 486,4 triliun berupa garansi kredit. Saham Hypo merosot 60 persen pada perdagangan hari Senin.

Juru bicara Kementerian Keuangan Jerman mengatakan, ”Tujuan keseluruhan operasi adalah membuat Hypo tetap berjalan seperti biasa tanpa menguapkan aset bank itu.”

Inggris juga tak kalah sibuk. Kementerian Keuangan Inggris, Senin, mengumumkan menasionalisasi bank penyedia KPR, Bradford & Bingley, dengan menyuntikkan dana 50 miliar poundsterling atau Rp 864 triliun. Pemerintah juga harus membayar 18 miliar poundsterling untuk memfasilitasi penjualan jaringan cabang Bradford & Bingley kepada Santander, bank Spanyol yang merupakan bank terbesar kedua di Eropa.

Bradford & Bingley merupakan bank Inggris ketiga yang terkena dampak krisis finansial AS setelah Northern Rock dinasionalisasi Februari lalu dan HBOS yang dilego pemiliknya kepada Lloyds TSB Group.

Terkait krisis ini, indeks harga saham di bursa-bursa utama Eropa, Senin, ditutup melemah. Saham-saham perbankan merosot tajam setelah terungkap krisis keuangan AS masih terus menghantam perbankan Eropa. Upaya penyelamatan krisis di AS yang belum disetujui Kongres ikut berpengaruh pada harga saham.

”Kini kita semua ketakutan instabilitas semakin merebak di Eropa,” ujar Mike Lenhoff, strategis pada Brewin Dolphin. (Reuters/AP/AFP/joe)

Penggerak Ekonomi Rakyat


Senin, 29 September 2008 | 01:30 WIB

Batik bukan sekadar warisan budaya lagi. Kini batik menjelma sebagai salah satu kekuatan yang menggerakkan perekonomian rakyat. Tren batik pun penting untuk dipertahankan karena banyak menyerap tenaga kerja dan menyumbang devisa negara.

Berdasarkan data Departemen Perindustrian, tahun 2006 terdapat 48.300 unit industri kecil dan menengah di bidang batik yang menyerap 792.300 tenaga kerja. Saat itu nilai produksi batik mencapai Rp 2,9 triliun. Dari jumlah itu, ada devisa Rp 1,1 triliun dari ekspor batik. Tahun 2007 (angka prognosa), jumlah unit usaha meningkat menjadi 50.715 yang melibatkan 831.915 tenaga kerja dengan nilai produksi Rp 3,045 triliun.

”Booming batik ini harus bisa dipertahankan karena menghidupkan pelaku usaha, baik pedagang maupun produsen batik, dan pembatik di daerah,” kata Hasan Basri, pengusaha busana yang juga Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) DKI Jakarta, Selasa (9/9).

Hasan menuturkan, batik telah menjadi sumber ekonomi bagi ratusan ribu orang. Karena itu, selain mempertahankan tren, harus diikuti langkah melestarikan dan mengembangkan batik. Perlindungan melalui paten diperlukan untuk menghindari klaim batik Indonesia oleh negara lain. ”Jangan sampai dikuasai asing karena hasilnya jadi dinikmati orang asing,” katanya.

Batik China

Namun, perdagangan batik dalam negeri saat ini mulai digerogoti ”batik” China. Meskipun karakterisiknya berbeda dengan batik Indonesia, ”batik” China yang sudah diperdagangkan sekitar tiga tahun lalu, antara lain di Pasar Tanah Abang, ternyata juga menarik perhatian. Jika dibiarkan, tidak mustahil usaha batik Nusantara melemah.

Situs www.depperin.go.id menyebutkan, nilai ”batik” China yang masuk Indonesia sejak awal 2008 mencapai Rp 290 miliar. Tahun 2006, nilai produksi batik nasional mencapai Rp 2,9 triliun. Dari jumlah itu, 10 persen terdistorsi ”batik” China. Ini menunjukkan ”batik” China bukanlah ancaman kosong, apalagi batik bukan hanya milik Indonesia. Sejumlah negara, seperti India, Banglades, Sri Lanka, Jepang, Thailand hingga Amerika pun mengembangkan ”batik”. ”Impor batik harus dikurangi. Berikan proteksi pada batik kita,” ungkap Hasan.

Anggota Dewan Pembina Yayasan Batik Indonesia Doddy Soepardi HAR mengatakan, Indonesia tidak perlu khawatir terhadap maraknya ”batik” China sepanjang ada upaya edukasi kepada masyarakat untuk membedakan, terutama dari sisi batik cap atau tulis. ”Kini ada batik mark atau penanda batik sebagai pembeda antara batik tulis, cap, dan kombinasi batik cap dan tulis. Ini untuk memberi jaminan mutu serta melindungi produsen dan konsumen,” kata Doddy.

Menurut Afif Syakur, perancang busana yang juga Ketua III Paguyuban Pecinta Batik Indonesia ”Sekar Jagad”, sejumlah negara memang kini memproduksi batik. Namun, Indonesia memiliki keunggulan lebih dalam hal mencipta motif-motif batik. Ini yang harus dibina selain meningkatkan promosi batik ke luar negeri.

Cara jitu

Anggota Yayasan Batik Indonesia, Mawarzi Idris, menuturkan, Malaysia punya cara jitu mempromosikan batiknya dengan menugaskan tiga kementerian, yaitu Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan, Kementerian Pembangunan Usahawan dan Koperasi, serta Kementerian Pelancongan, untuk mengurusnya.

”Mereka meriset pasar mulai dari desain, warna, dan bahan. Bahkan, mengundang rumah mode di Paris dan Roma dan perancang papan atas internasional agar batik mereka diterima di pasar mode dunia dan jadi pilar utama pengembangan ekonomi Malaysia,” kata Mawarzi.

Para pembatik Indonesia tidak perlu berkecil hati. Meskipun beberapa negara juga mengembangkan batik, Indonesia memiliki kekhasan. (ACI/RWN/EKI)

Tren Batik sampai Kapan?


Kompas/Sri Rejeki / Kompas Images
Lebih kurang 30 persen kios di Blok A Pasar Tanah Abang, Jakarta, menjual kain dan baju batik, Rabu (10/9). Dengan trennya batik, banyak pedagang yang semula hanya menjual produk sandang biasa ikut menjual batik.
Senin, 29 September 2008 | 03:00 WIB

Batik tengah berada di puncak tren fashion Tanah Air. Di mana-mana orang ”mendadak batik”. Batik yang dulu identik dengan acara resmi dan digunakan orangtua, kini mengalami revolusi.

Tidak aneh lagi menyaksikan anak muda berbatik ria, seperti ke kampus atau jalan-jalan ke mal. Aneka desain baju batik dilahirkan dan populer, seperti baby doll, balon, dan kerut. Namun, sampai kapan fenomena ini akan berlangsung?

Tren batik didorong berbagai faktor. Salah satunya, peran perancang busana yang memunculkan tren batik.

Edward Hutabarat, yang dinilai sebagai pelopor batik ready to wear, tahun 2006 mengeluarkan rancangan model A line, jaket panjang longgar, blus halter neck, jaket bergaya kimono, dan celana pendek yang ternyata disambut antusias masyarakat.

Lidwina CH (22), misalnya. Ia baru saja membeli busana batik pertamanya yang bermotif klasik Yogyakarta. ”Batik, kan, lagi tren. Pilihannya banyak, modelnya juga lucu-lucu,” ujar mahasiswi asal Bekasi ini di Pasar Tanah Abang, Selasa (9/9).

Booming batik juga didorong oleh kebijakan pemerintah daerah dan instansi swasta yang mewajibkan pegawainya mengenakan batik sehari dalam sepekan, belum lagi klaim Malaysia atas batik, yang tampaknya meningkatkan minat orang berbatik.

Gairah pasar

Tren busana batik membuat transaksi batik bergairah. Secara nasional nilai produksi batik terus meningkat, terutama sejak tahun 2004.

Berdasarkan data Direktorat Industri Sandang, Direktorat Jenderal Industri Kecil Menengah, Departemen Perindustrian, tahun 2006 nilai produksi batik Rp 2,9 triliun. Pada tahun 2007 produksi meningkat menjadi Rp 3,045 triliun.

Bergairahnya perdagangan batik bisa dilihat di Pasar Tanah Abang Jakarta, pusat garmen dan tekstil terbesar di Indonesia.

Menurut Asisten Manajer Operasi PD Pasar Jaya Area 1 Tanah Abang M Yusuf, dari 12.000 tempat usaha di Tanah Abang, 30 persen menyediakan busana dan kain batik. Omzet penjualan tiap pedagang diperkirakan Rp 7,5 juta-Rp 10 juta per hari. ”Tren batik membuat banyak pedagang yang awalnya tidak berjualan batik jadi menyediakan batik,” kata Yusuf.

Pernyataan Yusuf diamini Hasan Basri, pengusaha busana yang juga Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) DKI Jakarta.

”Batik kini menjadi andalan banyak pedagang dalam berjualan karena permintaan masyarakat yang tinggi sehingga omzetnya meningkat,” katanya.

Sebagai contoh, peningkatan omzet dialami pasangan Finaldi dan Afrida yang mempunyai lima toko batik di Pasar Tanah Abang Blok A.

”Satu kios yang semula beromzet Rp 1 juta per hari setelah tren batik bisa naik 10 bahkan 15 kali lipat,” kata Finaldi yang mendapat kiriman kain batik dari Pekalongan.

Hal serupa dialami Mustofa Syahab dari batik Alhadi di Tanah Abang. Tahun ini ia penjualan batiknya meningkat hingga delapan kali lipat dari tahun sebelumnya. Rata-rata per hari ia bisa menjual tiga bal kain batik. Satu bal terdiri dari 15 kodi dan satu kodi berisi 20 potong.

Menurut Hasan Basri, konsumen menyukai batik dengan motif dari Pekalongan, Solo, Yogyakarta, dan Cirebon yang dikemas menjadi berbagai macam busana. Mulai dari busana Muslim sampai pakaian sehari-hari. ”Pembeli batik di Tanah Abang datang dari seluruh Indonesia. Bahkan, ada yang dari luar negeri,” kata Hasan.

Afrida mengatakan, secara rutin ia mengirim batik ke Singapura, Malaysia, dan Filipina. Sebagian batik yang dijual berasal dari Pekalongan karena harganya relatif murah, motif beragam dengan corak warna cerah yang disukai konsumen domestik maupun luar negeri.

Di Yogyakarta, desainer Mirota Batik, Yoyonk Genji mengatakan, booming batik terlihat dari peningkatan penjualan busana batik. Tahun 2008 melonjak hingga 100 persen dibanding 2007. Menjelang Lebaran ini, angka penjualan meningkat lagi 30 persen. Di Yogyakarta, setiap tahun diadakan promosi batik di antaranya melalui pagelaran busana Jogja Fashion Week.

Pengusaha batik di Pekalongan, Rusdianto mengungkapkan, ia memasok baju batik untuk tiga toko di Pasar Tanah Abang dan satu toko di ITC Cempaka Mas, masing-masing 100 kodi per bulannya. Ini meningkat 50 persen dibanding tahun sebelumnya.

Mempertahankan tren

Untuk menyiasati tren fashion yang cepat turun, perajin dan pengusaha batik melakukan berbagai cara untuk mempertahankan. Batik Alhadi, misalnya, menyebarkan model rancangan baju melalui ribuan brosur dan internet.

Finaldi dan Afrida merancang sendiri model baju batik yang mereka jual agar berbeda dengan produk pesaing. Mirota Batik juga demikian. ”Menjelang Lebaran kami meluncurkan batik yang dikombinasi dengan kain jeans. Tanggapan masyarakat cukup bagus,” tutur Yoyonk.

Perancang busana Afif Syakur menuturkan, tren batik yang sedang terbang tinggi mengangkasa bukan tidak mungkin menukik kembali ke bawah. ”Tren itu seperti roda, kadang di atas, kadang di bawah. Pekerjaan rumah terbesar adalah menjaga tren ini agar tidak berlangsung sesaat,” ujar Afif yang juga Ketua III Paguyuban Pecinta Batik Indonesia ”Sekar Jagad”.

Masukan datang dari Mawarzi Idris, anggota Yayasan Batik Indonesia. Menurut dia, kreativitas dan inovasi harus terus dilakukan mulai dari bahan, desain, sampai motif batik. ”Kekuatan batik Indonesia ada pada motifnya yang indah dan beragam. Mengawinkan motif dari berbagai daerah akan semakin memperkaya motif yang ada. Kreator dalam negeri sudah sangat luar biasa. Tinggal bagaimana mempromosikan,” katanya.

Kuncinya terletak pada konsistensi dan komitmen seluruh pihak mengembangkan batik yang seiring dinamika zaman.

(Adi Sucipto/Erwin Edhi Prasetya/Sri Rejeki)

Minggu, 28 September 2008

Menemukan Akar Instabilitas Finansial


Minggu, 28 September 2008 | 03:00 WIB

A PRASETYANTOKO

Buku ini menarik karena ketika ditulis pada 1986 nyaris tidak diperhatikan orang. Di-”kemas ulang” dalam terbitan baru tahun 2008, justru pemikirannya kemudian dianggap sangat relevan dengan situasi akhir-akhir ini, saat pasar finansial mengalami gejolak drastis.

Henry Kaufman, tokoh pasar modal kontemporer, memberi kata pembuka yang menegaskan relevansi pemikiran Minsky di hari ini. Demikian pula dua pengikut pemikirannya, Dimitri B Papadimitiou dan L Randall Wray, memberikan kontekstualisasi yang sangat tajam terhadap pemikiran Minsky.

Apa esensi pemikiran di dalam buku ini? Berbeda dengan pemikir di zamannya, Minsky mengajukan argumen pokok, instabilitas finansial sebenarnya berasal dari dalam dirinya sendiri (endogen) dan bukan dari luar (eksogen). Secara lebih eksplisit dia jelaskan, kekacauan ekonomi atau finansial bukanlah karena perang, kenaikan harga minyak, huru-hara sosial politik atau bencana alam. Tetapi karena sifat alamiahnya yang spekulatif.

Pandangan tentang sifat endogen instabilitas ini tidak biasa pada zamannya. Aliran yang lebih dominan pada waktu ini (hingga saat ini) justru menganggap uang dan sirkulasinya bersifat netral, maka harus dikelola secara ”bebas” sehingga menghasilkan sistem alokasi yang efisien.

Bagi pemikir monetarist ini, intervensi pada sirkulasi kapital menjadi sesuatu yang ditabukan. Sebaliknya, menurut Minsky, karena pada dasarnya sektor finansial memiliki sifat alamiah yang tidak stabil, maka perlu ”dikelola” melalui berbagai campur tangan. Dengan kata lain, intervensi merupakan keharusan.

Relevansi

Mengapa pemikiran Minsky relevan? Pasar finansial Amerika Serikat (AS) akhir-akhir ini diwarnai serangkaian gejolak mendebarkan. Menyusul pernyataan kebangkrutan lembaga keuangan terbesar keempat AS, Lehman Brothers, pasar Wall Street terguncang. Dampaknya seperti tsunami yang melibas perusahaan-perusahaan finansial besar lainnya.

Harga saham perusahaan keuangan Morgan Stanley and Goldman Sachs tiba-tiba merosot sebesar masing-masing 11 dan 16 persen. Dan, US Federal Reserve terpaksa harus menyelamatkan American International Group (AIG) dengan menggelontorkan uang sebesar 85 miliar dollar AS.

Korban serta biaya dari krisis subprime mortgage sudah terlalu banyak. Dimulai dengan penyelamatan Bear Stearns Co.Inc, kemudian disusul dengan Fannie Mae dan Freddie Mac, dan akhirnya raksasa Lehman Brothers, Merrill Lynch, dan AIG.

Kebangkrutan perusahaan-perusahaan tersebut membawa dampak yang sistematis. Pasar credit derivatives dan structured finances terkena dampak langsung. Selebihnya, pasar keuangan pada umumnya mengalami guncangan, seperti dana pensiun, reksa dana, dan pasar obligasi. Ujung persoalan akhirnya sampai juga pada ekonomi riil dan daya beli konsumen. Diperkirakan, pusat gempa di pasar finansial AS ini akan menyebar ke lebih dari 100 negara di seluruh dunia. Sebuah gelombang masif yang mahadahsyat.

Terhadap gejolak tersebut, muncul pertanyaan serius, apa sebenarnya akar dari persoalan tersebut? Dan, bukankah dunia telah mengalami persoalan serupa berkali-kali, mengapa selalu berulang? Dulu pada tahun 1929, pasar modal AS diguncang oleh kepanikan yang berujung pada depresi besar (great depression) dunia. Masa-masa sulit tersebut telah mendera hampir semua negara di dunia. Pada tahun 1998, menyusul krisis yang terjadi di Rusia, sebuah perusahaan sekuritas besar, LTCM (Long-Term Capital Management), tumbang. Dan kini, dampak krisis subprime-mortgage merajalela.

Terkait dengan kekacauan pasar finansial AS tersebut, berbagai langkah penyelamatan dilakukan. Selain AIG, pemerintah juga menginjeksi Bear Stearns Co.Inc, Fannie Mae dan Freddie Mac. Mengapa mereka diselamatkan?

AIG disebut-sebut sebagai perusahaan asuransi terbesar di AS, sementara Fannie Mae dan Freddie Mac merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pembiayaan perumahan paling besar. Jika perusahaan-perusahaan besar ini tidak diselamatkan, kekacauan akan semakin parah. Dengan kata lain, mereka terlalu besar untuk gagal (too big to fail).

Terkait dengan usaha penyelamatan tersebut, ada sebuah pertanyaan esensial yang mengusik. Bukankah pada akhirnya otoritas harus turun tangan juga menyelamatkan bisnis besar tersebut? Mengapa menunggu sampai terjadi kegagalan di pasar?

Inikah buntut dari pandangan bahwa negara hanya diperbolehkan masuk ketika pasar sudah gagal menyelesaikan persoalannya sendiri (market failure). Inikah model negara sebagai ”pemadam kebakaran”? Bukankah langkah-langkah penyelamatan ini tak lain sebuah intervensi? Dan, jika begitu, mengapa intervensi tidak dirancang untuk diimplementasikan pada sistem ekonomi sehingga kekacauan tidak perlu terjadi?

Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi perhatian Minsky sudah sejak lama. Namun, pemikirannya dianggap menghambat perkembangan dinamika pasar finansial. Kini, ketika terbukti premis-premis yang disampaikan Minsky benar, bukunya dilakukan repackaging atau relevan untuk dikemas dan diterbitkan kembali.

Post-Keynesian

Buku Stabilizing an Unstable Economy mencoba menjelaskan mengapa ekonomi selalu mengandung gejolak dan instabilitas. Jawabannya, karena instabilitas disebabkan oleh perilaku finansial unit-unit ekonomi yang berada dalam ruang lingkup ekonomi tersebut.

Pemikirannya sangat dipengaruhi oleh Keynes tentang nilai investasi, ketidakpastian atas masa depan, perilaku spekulasi dan sifat binatang (animal spirit). Keynes pernah mengatakan ”dalam sebuah sistem ekonomi yang tidak stabil, sifat spekulasi mendominasi perusahaan-perusahaan”.

Bagi Minsky, instabilitas bersifat alamiah (natural) pada sebuah sistem perekonomian. Maka dari itu, ekonomi memang akan bergerak secara fluktuatif, kadang naik (boom), kadang surut (bust). Dan, sifat pasang surut ini digerakkan oleh kondisi keuangan unit-unit ekonomi (perusahaan, bank, lembaga sekuritas, dan sebagainya).

Ada 3 tipe utama, perilaku para agen ekonomi. Pertama, Hedge, ketika perusahaan bisa melunasi seluruh kewajibannya dari hasil operasional usahanya. Kedua, Speculative, terjadi kalau untuk melunasi kewajibannya perusahaan harus utang dulu, mengingat hasil operasinya tidak cukup untuk menutup utang. Ketiga, Ponzi, yaitu manakala untuk menutup kewajibannya perusahaan harus menjual seluruh asetnya terlebih dahulu (likuidasi).

Sistem finansial modern memungkinkan para pelaku ekonomi bersikap spekulatif dan karena itu dengan sangat mudah berubah menjadi ponzi. Apa yang terjadi pada Lehman dan perusahaan finansial lainnya persis sama dengan apa yang dikemukakan oleh Minsky. Seandainya mereka berhati-hati (hedge), maka tidak akan terjadi kekacauan seperti ini. Akan tetapi, karena hampir semua perusahaan bersifat spekulatif, maka dengan mudah bisa berubah menjadi ponzi. Dan, pada titik ini, pemerintah harus turun tangan menyelamatkan mereka.

Jadi, tidak berlebihan jika dikatakan kalau mereka untung hasilnya ”diprivatisasi” (dimiliki privat), tetapi jika rugi, bebannya dibagikan kepada pihak lain (sosialisasi). Hal yang sama sebenarnya terjadi pada kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Krisis justru disebabkan oleh ulah para pelaku usaha yang tidak berhati-hati melakukan kebijakan keuangan. Tetapi ketika kondisi keuangan mereka jebol, APBN-lah yang harus menanggungnya. Lebih parah lagi, bantuan itu pun dikorupsi. Jadi, kurang apa lagi untuk menyeret para pelaku pembobolan BLBI ke meja hijau? Kasus ini mendesak dibuka kembali.

Mungkin inilah saatnya untuk memikirkan ulang format kebijakan ekonomi, baik pada level mikro (perusahaan), nasional, maupun global. Mungkinkah sistem yang mengandalkan fundamentalisme pasar seperti terjadi selama ini tidak akan bertahan lagi? Inikah saatnya kembali menata arsitektur baru sistem finansial global, di mana pola intervensi negara menjadi salah satu tulang punggungnya?

Banyak pengamat mulai mengatakan, rentetan krisis belakangan ini telah membawa kita kembali para era-Keynesianism. Dan, Minsky adalah seorang post-keynesianist sejati. Pemikirannya memang patut dikemas kembali karena justru begitu relevan akhir-akhir ini.

A Prasetyantoko Menyelesaikan Program Doktor Ilmu Ekonomi di ENS-Lyon bekerja sama dengan ESCP-EAP, European School of Management; Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta

Menguji Ketangguhan Kapitalisme


Kamis, 25 September 2008 - 12:23 wib

Nurfajri Budi Nugroho - Okezone


Kapitalisme tengah mengalami ujian berat saat ini. Raksasa-raksasa keuangan satu per satu berjatuhan. Dari perusahaan pembiayaan hipotek macam Freddie Mac dan Fannie Mae, bank investasi terbesar keempat di AS Lehman Brothers, hingga raksasa asuransi American International Group (AIG).

Mantan Gubernur Bank Sentral Negeri Paman Sam Alan Greenspan menyebut, krisis yang terjadi saat ini adalah yang terburuk yang pernah dia saksikan. Krisis ini, menurut dia, akan berlangsung lama.

Bahkan, Presiden AS George W Bush, yang semula menganggap krisis ini sebagai sebuah penyesuaian kecil, akhirnya mengakui negerinya tengah menghadapi bahaya.

Hari-hari belakangan ini media massa pun tak surut memberitakan keruntuhan raksasa-raksasa keuangan Negeri Paman Sam, yang diikuti gejolak di pasar-pasar saham di belahan dunia lain. Harian Denmark Information misalnya, menulis kebangkrutan ini terjadi karena rasa percaya diri berlebihan dan spekulasi para investor. Sementara The Times di Inggris menulis, para petinggi bank investasi saat ini harus membayar mahal sikap sombong mereka, yang kerap bermain api dengan dana kliennya.

Apa yang salah sebenarnya dari Negeri Uwak Sam yang selama ini dikenal adidaya itu? Ekonom Rizal Ramli menyebut, semakin membesarnya krisis sektor keuangan terjadi lantaran ada perubahan paradigma ekonomi, dari kapitalisme produktif menjadi kapitalisme spekulatif.

Kapitalisme modern muncul diawali Revolusi Industri di Inggris. Produksi massal menjadi penggeraknya. Sementara kini, Kapitalisme digerakkan oleh perekonomian yang tidak riil, melalui spekulasi di sektor keuangan.

Sejauh ini tak ada yang bisa memprediksi kapan berakhirnya krisis ini. Imbas dari krisis di AS turut dirasakan di negara lain, termasuk Indonesia. Indeks harga saham gabungan (IHSG) kita bahkan sempat turun melewati level 1.600 pada 16 September lalu.

Di negeri asal bencana ini, Pemerintahan Bush tengah pontang-panting untuk mengegolkan rencana memperoleh dana talangan (bailout) sebesar USD700 miliar. Sungguh jumlah yang sangat fantastis, meski tak ada kepastian apakan pencairan dana talangan itu akan benar-benar efektif menyelamatkan sektor keuangan AS. Bisa dibilang, langkah itu pun bersifat spekulatif.

Kini dunia tengah berharap-harap cemas, apakah dana sebesar itu dapat menjadi dewa penolong bagi Paman Sam. Apalagi, seperti dilontarkan Greenspan, kebangkrutan perusahaan-perusahaan besar masih akan terjadi, dan kita tidak tahu di mana akan berujung. Mampukah Kapitalisme menyelamatkan dirinya sendiri? Entah.(jri)

Sabtu, 27 September 2008

Pajak Rokok Diusulkan 100-150 Persen dari Cukai atau Harga Jual


Sabtu, 27 September 2008 | 00:47 WIB

Jakarta, Kompas - Sebagian fraksi di DPR meminta agar pajak rokok ditetapkan 100-150 persen dari cukai atau harga jual. Hal ini bertujuan untuk membuat harga rokok menjadi sangat mahal sehingga masyarakat ekonomi kecil tidak sanggup membeli rokok.

Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DPR Harry Azhar Azis mengungkapkan hal itu di Jakarta, Jumat (26/9). Dijelaskan, Fraksi Partai Golkar mengusulkan tarif pajak rokok 25 persen dari cukai yang dipungut dari setiap bungkus rokok atau 25 persen terhadap harga jual ecerannya.

Adapun Fraksi Partai Amanat Nasional mengusulkan tarif pajak 100 persen terhadap cukai atau dari harga jual ecerannya.

Usul tarif pajak rokok sebesar 150 persen terhadap cukai dilontarkan oleh Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

”Saat ini, perokok itu kebanyakan masyarakat miskin, yang memiliki pendapatan sangat terbatas. Dengan adanya pajak rokok, harga jual rokok akan melonjak sehingga masyarakat miskin akan mengalihkan dananya ke konsumsi lain yang lebih bermanfaat,” ujar Harry.

Dengan adanya pajak rokok, diharapkan harga jual rokok bisa melonjak hingga tiga kali lebih mahal dari harga yang ada saat ini. Ini diharapkan dapat menurunkan jumlah perokok, terutama perokok pemula. Selai itu, pengenaan pajak rokok juga dimaksudkan untuk menambah sumber penerimaan daerah.

Dua opsi

Saat ini, ada dua mekanisme penerapan pajak rokok yang masih diperdebatkan di DPR. Pertama, pajak rokok dikenakan atas cukai dan, kedua, pajak rokok dikenakan atas harga jual.

Apabila pajak rokok dikenakan atas cukai, sebagai ilustrasi, rokok yang harganya Rp 10.000 per bungkus, termasuk cukai Rp 4.000, atau 40 persen. Jika pajak ditetapkan 150 persen, maka pajak rokoknya Rp 6.000 per bungkus sehingga harga jual rokok menjadi Rp 16.000 per bungkus.

Apabila diterapkan pajak 150 persen berdasarkan harga jual, maka jika harga rokok Rp 10.000 termasuk cukai Rp 4.000, tarif pajaknya akan mencapai Rp 15.000. Dengan demikian, harga jual rokok di tingkat ritel menjadi Rp 25.000 per bungkus.

Dirjen Bea dan Cukai Anwar Suprijadi mengakui, penerapan pajak rokok berdasarkan harga jual secara teknis sulit dilakukan. ”Sebab, pengenaan pungutan atas rokok biasanya diterapkan pada produsen rokok, adapun pajak rokok perhitungannya atas dasar jumlah konsumsinya. Itu akan sulit dilakukan,” ujarnya.

Untuk membahas masalah pajak rokok, pada Kamis (25/9), Panitia Khusus RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) mengundang sembilan dinas pendapatan daerah (dispenda) provinsi, tetapi hanya Dispenda Provinsi Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Bali, dan Dispenda Jawa Timur yang memenuhi undangan.

Lima provinsi yang tidak hadir adalah Dispenda Provinsi Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Empat Dispenda yang hadir berbeda pendapat dalam menetapkan basis perhitungan pajak rokok. Sebagian menginginkan perhitungan berdasarkan cukai, yang lain ingin menggunakan dasar harga jual. (OIN)

WaMu Bangkrut, Bank di Eropa dan Asia Waswas


Sabtu, 27 September 2008 | 00:30 WIB

New York, Jumat - Bank simpan pinjam terbesar di AS, Washington Mutual (WaMu), dibekukan. WaMu, yang berdiri tahun 1889 di Seattle, Washington, merupakan salah satu bank yang rugi akibat kucuran pinjaman ke sektor perumahan AS. Ini merupakan kebangkrutan terbesar dalam sejarah perbankan AS.

WaMu ditutup setelah nasabah menarik dana besar-besaran sejak 15 September lalu atau sejak Lehman Brothers mengalami kebangkrutan. Penarikan dana mencapai 16,7 miliar dollar AS.

Ini adalah efek domino, yang umum terjadi pada saat krisis keuangan sedang pada puncaknya. Warga atau deposan yang gelisah mengamankan uangnya dengan menarik simpanan di bank yang belum bangkrut agar tak menjadi korban, seperti nasabah di bank lain.

Imbauan dan jaminan pun tak bisa menenangkan nasabah WaMu walau simpanan mereka dijamin oleh Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC). ”Dengan likuiditas yang tidak memadai untuk memenuhi kewajibannya, WaMu tidak aman dan tidak layak untuk berbisnis,” demikian disebutkan otoritas perbankan setempat. WaMu memiliki aset sekitar 307 miliar dollar AS dan 188 miliar dollar AS deposito.

Krisis kepercayaan berpotensi mengganggu perekonomian karena ketidakstabilan dan rusaknya kepercayaan investor untuk menanamkan dananya di sektor bisnis. Perusahaan raksasa di AS, General Electric Co, yang dipandang sebagai salah satu indikator ekonomi AS, sudah mengingatkan soal perolehan laba, dengan mengutip terjadi kelemahan permintaan dan akibat gejolak di pasar uang.

Harian Financial Times edisi 24 September memberitakan ada penarikan dana 100 miliar dari pasar modal AS.

Mengimbas

Krisis keuangan AS mengimbas ke Amsterdam (Belanda) dan Brussels (Belgia), di mana Fortis NV, jasa keuangan Belanda-Belgia, harus menepis rumor. Bank Sentral Belanda telah memerintahkan bank pesaing Fortis untuk mendukung pendanaan bank tersebut. Fortis, yang juga terjebak pinjaman pada perumahan AS, mengalami penurunan harga saham 21 persen, terendah dalam 14 tahun terakhir.

Perusahaan asuransi terbesar kedua di China, Ping An Insurance, pemilik 5 persen saham Fortis, juga mengalami penurunan harga saham 8,7 persen karena dililit rumor.

Di Hongkong, ratusan nasabah mengantre menarik dana dari Bank of East Asia Ltd. Bank ini juga diterpa rumor terkait kemacetan kredit di sektor perumahan AS.

Otoritas China mengeluarkan pernyataan, yang bertujuan meredakan pasar, nasabah, dan investor. Hal ini terkait dengan beredarnya rumor bahwa otoritas China telah memerintahkan bank-bank besar China agar tidak lagi memberikan pinjaman kepada JP Morgan.

Bursa anjlok

Jatuhnya WaMu seakan menjadi pembenaran bahwa krisis finansial ini semakin memburuk. Akibatnya, pasar saham di Asia, Eropa, dan AS, anjlok lagi. Belum jelasnya nasib rancangan penyelamatan yang diajukan oleh pemerintahan Bush juga menambah suram pasar finansial di seluruh penjuru dunia.

Krisis kepercayaan telah merepotkan lembaga keuangan. Untuk mengatasi kekeringan likuiditas di perbankan, bank-bank sentral di beberapa negara menambah pasokan likuiditas ke sektor perbankan.

Swiss National Bank, misalnya, menawarkan 9 miliar dollar AS dalam bentuk dollar AS selama satu pekan ke depan.

European Central Bank juga menawarkan dana ke perbankan sebesar 35 miliar dollar AS, Bank of England menyediakan 30 miliar dollar AS. Reserve Bank of Australia (RBA) melakukan intervensi pertama di pasar dengan menyediakan dana sebesar 10 miliar dollar AS. Departemen Keuangan Korea Selatan menyatakan akan menyuntikkan dana sebesar 10 miliar dollar AS ke pasar swap lokal.

Sementara itu, data yang dikeluarkan Kamis lalu menunjukkan bahwa institusi keuangan AS telah meminjam dari Bank Sentral AS (Federal Reserve) sebesar 188 miliar dollar AS per hari dalam satu pekan lalu, empat kali lebih besar daripada biasanya. (AP/AFP/Reuters/joe)

Kamis, 25 September 2008

Ketangguhan Ekonomi di Tengah Gejolak Ekonomi Global

Kamis, 25 September 2008 - 10:02 wib

Kondisi perekonomian Indonesia tidak lepas dari gejolak faktor eksternal. Jika dicermati, kenaikan harga minyak dunia, komoditas pangan, hingga kebangkrutan Lehman Brothers dan Merril Lynch beberapa waktu lalu telah banyak menimbulkan kerugian terhadap perekonomian domestik.

Bahkan, indikasi melemahnya perekonomian dunia karena hal-hal tersebut membuat pemerintah merevisi target kenaikan ekspor yang akan berdampak langsung pada turunnya laju pertumbuhan ekonomi. Gejolak faktor eksternal akan berpengaruh terhadap perekonomian domestik paling tidak melalui dua jalur.

Pertama, pasar uang. Gejolak faktor eksternal ini akan menusuk melalui nilai tukar, inflasi, dan suku bunga. Ketiga indikator tersebut saling memengaruhi satu sama lain. Dalam kondisi aliran modal bebas, modal jangka atau biasa disebut hot money dapat masuk keluar suatu negara dengan bebas dan cepat.

Semakin besar porsi hot money terhadap cadangan devisa maka akan semakin besar tingkat kerawanan terhadap gejolak eksternal. Tentu saja hal pertama yang akan diserang dari aliran modal keluar adalah pelemahan nilai tukar.

Guna mengurangi depresiasi lebih lanjut, Bank Indonesia (BI) cenderung menjalankan kebijakan uang ketat yang ditandai oleh kenaikan suku bunga dan semakin ketatnya likuiditas. Pada waktu bersamaan, guna menutupi defisit anggaran, pemerintah menjual surat utang negara (SUN) maupun obligasi ritel (ORI).

Kondisi ini akan membuat suku bunga kian melambung. Kondisi pasar yang cenderung ketat akan berdampak pada aktivitas sektor riil karena beban bunga yang tinggi akibat tindakan yang dilakukan oleh BI dan pemerintah.

Biaya dana masyarakat menjadi semakin besar dan bank akan cenderung memilih kredit dengan tingkat pengembalian yang tinggi ataupun ekuivalen dengan risiko besar. Jika diperhatikan, langkah yang dilakukan BI, melakukan transaksi repurchase beberapa waktu lalu, merupakan upaya untuk menambah likuiditas di pasar uang yang cenderung semakin ketat.

Hal ini sekaligus menunjukkan posisi BI dan pemerintah yang dapat saling menyeimbangkan satu dengan lainnya dan mampu menenangkan kondisi pasar uang. Hal yang cukup sulit dilakukan yaitu meredam ekspektasi inflasi.

Secara teori, ekspektasi inflasi dapat diredam dengan meningkatkan sinkronisasi serta harmonisasi kebijakan fiskal dan moneter. Penting bagi pemerintah secara berkala menyampaikan arahan kebijakan fiskal dan moneter, sehingga pelaku pasar memiliki keyakinan akan terjaminnya kondisi stabilitas makro.

Kedua, pasar barang. Gejolak faktor eksternal merupakan hal yang tak dapat dihindari dari sistem perekonomian yang terbuka. Keterbukaan ekonomi telah menciptakan akselerasi pertumbuhan di banyak negara.

Negara-negara yang menganut sistem perekonomian terbuka mengalami laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang lebih tinggi dibandingkan negara yang relatif lebih tertutup. Hal yang perlu diantisipasi yaitu kemungkinan terjadinya inflasi yang berasal dari pengaruh impor (imported inflation).

Ekonomi Indonesia memiliki tingkat ketergantungan yang besar atas impor bahan baku. Dengan demikian, kenaikan harga komoditas internasional akan berdampak pada kenaikan harga bahan baku.

Pada sisi lain, ekspor Indonesia juga didominasi produk berbasis sumber daya alam seperti minyak bumi, minyak sawit, batu bara, dan karet. Dengan demikian, kenaikan harga komoditas akan berpengaruh positif terhadap kenaikan nilai ekspor.

Walau demikian, jika diperhatikan posisi neraca perdagangan yang mudah mengalami defisit- di antaranya karena harga minyak sawit yang turun-menunjukkan bahwa posisi perdagangan luar negeri juga rawan terhadap gejolak harga.

Hal ini sebetulnya disebabkan oleh ketidakmampuan industri nasional untuk menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi. Perlu diakui bahwa kenaikan nilai ekspor sebetulnya lebih banyak didorong oleh kenaikan harga barang dibandingkan kenaikan volume ekspor.

Hal ini menyiratkan bahwa kapasitas produksi sektor industri tidak banyak mengalami perubahan atau bahkan cenderung turun. Melihat fakta ini, jelas gejolak faktor eksternal tidak perlu menjadi kambing hitam atas lemahnya kinerja ekspor, namun harus lebih fokus pada pembenahan sektor industri yang sedang stagnan.

Tantangan Kebijakan

Ketidakstabilan merupakan karakteristik pasar uang yang sulit untuk dihindari, bahkan oleh negara sekuat Amerika Serikat sekalipun. Hal ini memberi pesan bahwa Indonesia perlu menyiapkan langkah-langkah nyata untuk bersiap diri.

Hingga saat ini perlu diakui bahwa pemerintah belum memiliki strategi keluar (exit policy) yang jelas guna mengatasi krisis. Katakanlah ketika harga saham-saham berjatuhan, pemerintah belum memiliki sikap yang tegas atas transaksi short selling di pasar modal.

Demikian pula hingga sekarang pemerintah belum merampungkan payung hukum untuk protokol penanggulangan krisis. Kedua contoh tersebut menggambarkan bahwa pemerintah belum siap dan tidak memiliki kerangka yang jelas dalam menangani gejolak keuangan.

Pemerintah masih memilih jalur yang bersifat reaktif dalam menyikapi gejolak eksternal dibanding menyiapkan langkah-langkah sistematis. Banyak kalangan menilai bahwa ketidakmampuan Indonesia dalam mengatasi gejolak eksternal dikarenakan banyaknya masalah internal yang belum terselesaikan.

Jika perekonomian Indonesia cukup tangguh, Indonesia akan lebih cepat keluar dari krisis. Hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah yaitu sedapat mungkin mengisolasi dampak lanjutan atas gejolak eksternal agar tidak memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap turunnya kesejahteraan masyarakat.

Sebagai contoh, di tengah turunnya harga CPO di pasar internasional, ternyata petani sawit mengalami kesulitan untuk memperoleh pupuk. Bahkan andai pun ada, harganya naik berlipat-lipat.

Demikian pula kenaikan suku bunga akan mengancam keberlanjutan usaha kecil dan menengah jika tidak diimbangi pemberian berbagai kemudahan perizinan. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam kondisi faktor eksternal yang penuh ketidakpastian, seharusnya faktor internal menjadi penyelamat, bukannya menambah beban.

Untuk mengatasi hal-hal itu, pemerintah perlu mendorong koordinasi yang lebih intensif demi menyiapkan kebijakan pendukung pemulihan di level sektoral. Kurang tepat jika lesunya pasar AS membuat pengambil kebijakan bersuara kompak untuk mencari pasar lain.

Hal yang perlu dikaji yaitu apa strategi internal yang dilakukan oleh negara-negara pesaing di pasar yang sama. Jangan-jangan jika perekonomian AS kembali pulih, Indonesia akan kehilangan potensi besar yang telah direbut oleh negara lain yang lebih mampu. (*)

Maxensius Tri Sambodo
Ekonom Pusat Penelitian Ekonomi LIPI

Pelajaran Baru dari Paman Sam

Rabu, 24 September 2008 - 10:04 wib

Setelah berbagai lembaga keuangan kelas dunia bertumbangan dan indeks saham berjatuhan, akhirnya pemerintah George Bush, The Fed beserta bank sentral negara-negara maju yang lain memutuskan untuk melakukan bailout (menjamin) lembaga keuangan yang bangkrut.

Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyediakan dana sebesar USD780 miliar untuk mengambil alih tagihan kredit macet di berbagai lembaga keuangan. Rencana tersebut tampaknya akan berjalan mulus. Baik kalangan Demokrat maupun Republik, termasuk calon presiden Barack Obama dan John McCain, mendukung rencana tersebut dengan alasan yang berbeda.

Satu pelajaran yang dapat diambil dari kasus ini adalah ketika ekonomi nasional terancam krisis, perbedaan ideologi antara partai dan kandidat presiden diabaikan. Mereka sepakat penyelamatan ekonomi nasional didahulukan. Padahal biasanya Partai Republik yang propasar sangat antiintervensi pasar.

Yang mereka cari biasanya adalah market solution. Kini yang terjadi adalah mereka melakukan intervensi pasar terbesar yang pernah dilakukan setelah Great Depression pada 1930-an.

Sumber Krisis

Banyak pihak yang menganalisa penyebab krisis ekonomi di Amerika Serikat ini. Namun sejatinya krisis ini disebabkan oleh dua hal pokok, yakni pada tataran makro dan mikro. Pada tataran makro, kebijakan ekonomi yang diambil oleh Pemerintahan Amerika Serikat dipandang sangat tidak prudent, bahkan kacau-balau.

Defisit anggaran dan perdagangan yang kian menggelembung tidak ditangani dengan baik. Bahkan defisit semakin meningkat dan tidak terkendali karena pembiayaan perang Afghanistan dan Irak, dan pemotongan pajak bagi orang-orang kaya.

Singkat kata, kebijakan ekonomi Presiden Bush sungguh tidak mengindahkan prinsip-prinsip pengelolaan yang benar. Pemerintahan George Bush ini telah berutang lebih dari USD4 triliun-terbesar dalam sejarah seorang Presiden AS.

Pada tingkat mikro, keserakahan para pelaku pasar yang dilindungi- bahkan dipromosikan sebagai perilaku enterpreneurship- telah memakan korbannya sendiri. Sikap pemerintah yang percaya bahwa less regulation is better regulation dengan melakukan liberalisasi sektor keuangan terbukti menjadi faktor utama penyebab krisis keuangan yang melanda Amerika Serikat.

Ekspansi lembaga keuangan di sektor perumahan dengan mengucurkan kredit bagi mereka yang sebenarnya tidak layak dengan berbagai instrumen keuangan yang berisiko tinggi merupakan akar dari krisis yang kini terjadi.

Namun sesungguhnya ada juga yang berpendapat bahwa krisis keuangan ini merupakan sesuatu yang inheren dalam sistem ekonomi kapitalis. Pertanyaannya bukan lagi apakah krisis ini akan muncul atau tidak, tapi lebih pada kapan munculnya. Jadi lebih pada persoalan waktu.

Hal ini disebabkan dalam sistem ekonomi liberal spekulasi dan ekspansi merupakan bagian dari perilaku para pelaku ekonomi-yang jika berakhir dengan kegagalan, maka pasar menyediakan solusinya dengan menjual seluruh aset.

Yang tidak dipertimbangkan dalam hal ini adalah ada banyak kepentingan publik yang terlibat di dalamnya- yang dirugikan akibat ulah dan ketamakan para pelaku ekonomi tersebut.

Intervensi Merupakan Keharusan

Terlepas dari mana krisis berasal, satu yang pasti bahwa pada akhirnya pemerintah melakukan intervensi untuk mengatasi kegagalan pasar. Ternyata kegagalan pasar tidak dapat diselesaikan oleh pasar itu sendiri karena besarnya risiko dan magnitudo dampaknya yang terlalu besar bagi ekonomi.

Ironinya adalah ini dilakukan di negara yang merupakan pelopor dan penganut ekonomi liberal, yang mempromosikan dan terkadang memaksakan negara-negara lain untuk menganut dan menjalankan kebijakan ekonomi liberal.

Agenda liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi yang dikhotbahkan kepada negara-negara lain ternyata dilanggar sendiri. Inilah bentuk inkonsistensi dan hipokrisi Amerika Serikat. Kita masih ingat ketika krisis ekonomi melanda negara-negara Asia, IMF dan World Bank sangat gencar memaksakan agenda "Washington Consensus" untuk diterapkan sebagai obat bagi ekonomi nasional.

Walau ternyata racun yang mematikan, resep tersebut terpaksa ditelan oleh Pemerintah Indonesia sebagai prasyarat memperoleh utang yang dijanjikan. Jadi pelajaran yang bisa dipetik dari krisis ekonomi yang kini tengah melanda Amerika Serikat adalah kenyataan bahwa pemerintah diperlukan untuk melakukan intervensi pasar dan mengendalikan perilaku ekonomi masyarakat.

Ini harus dilakukan bukan hanya setelah ekonomi mengalami krisis, namun juga sebagai langkah antisipasi dan pengendalian. Hal ini terutama berlaku di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia yang berbagai bentuk kelembagaan ekonominya masih belum mapan dan berkembang.

Karenanya, sebagai langkah antisipasi, tidak ada salahnya pemerintah mulai dari sekarang melakukan telaah yang saksama terhadap berbagai aturan dan kebijakan, terutama di sektor keuangan dan perbankan yang terlalu liberal yang bisa menjadi pemicu krisis di masa mendatang.

Dampak bagi Indonesia

Sebagai lokomotif ekonomi dunia, krisis yang terjadi di Amerika Serikat menimbulkan dampak bagi ekonomi dunia. Hanya besarannya saja yang berbeda-beda. Dampaknya bagi Indonesia adalah penurunan ekspor.

Pangsa pasar ekspor Indonesia ke Amerika Serikat adalah sekitar 12% dari total ekspor Indonesia. Sebenarnya pelemahan ekspor ke Amerika Serikat sudah berlangsung sejak awal 2007, saat pertumbuhan ekspor hanya sekitar 5% dibandingkan pertumbuhan ekspor ke negara-negara lain sebesar 20%.

Dengan perlambatan ekonomi, diperkirakan ekspor ke Amerika Serikat akan semakin merosot. Ditambah lagi dengan dominasi ekspor yang berbasis komoditas yang sedang mengalami pelemahan, semakin nyatalah ancaman terhadap kinerja ekspor nasional.

Diversifikasi produk dan negara tujuan sudah seharusnya menjadi agenda prioritas untuk menyelamatkan ekspor nasional. Di sisi lain, dampak terhadap pasar finansial diperkirakan tidak akan sebesar ekspor.

Bahwa terjadi kepanikan di pasar modal sehingga harga saham anjlok tajam merupakan hal yang dimengerti. Mayoritas pelaku di pasar modal adalah investor asing. Mereka menarik dananya akibat masalah ini. Namun keterkaitan antara pasar keuangan Indonesia dan Amerika Serikat secara langsung tidak terlalu kuat.

Tidak banyak keterlibatan lembaga keuangan dalam negeri dengan Lehman Brothers, misalnya, dalam kredit perumahan sehingga lembaga keuangan nasional tidak terlalu memiliki eksposur seperti itu.

Karenanya hal yang harus diyakinkan adalah fundamen ekonomi kita cukup kuat dan pemerintah beserta Bank Indonesia dan otoritas pasar modal siap melakukan langkah-langkah yang diperlukan mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi akibat krisis finansial ini. (*)

M Fadhil Hasan
Ekonom Senior INDEF (//mbs)

Selasa, 23 September 2008

Berakhirnya "Ponzi" Ekonomi


Senin, 22 September 2008 | 03:00 WIB

A Prasetyantoko

Raksasa keuangan, Lehman Brothers Holdings Inc, akhirnya tumbang. Dia tidak sendiri, pelaku besar lainnya juga sempoyongan.

Sejumlah perusahaan, mulai dari asuransi terbesar di dunia— American International Group Inc—hingga perusahaan sekuritas besar, seperti Merrill Lynch, Morgan Stanley, dan Goldman Sachs, geloyoran. Mereka adalah lokomotif pembawa gerbong panjang. Bisa dibayangkan masifnya dampak negatif yang ditimbulkan.

Kepanikan di bursa saham melanda Wall Street hingga Jakarta. Hampir semua bursa seluruh dunia tertekan, termasuk indeks harga saham gabungan yang merosot drastis hingga level sekitar 1.700. Padahal, saat subprime mortgage meledak akhir tahun 2007, kita sempat ketiban rezeki dengan kenaikan indeks menembus 2.800 poin. Saat itu gejolak diikuti kenaikan harga minyak sehingga harga produk komoditas dan pertambangan melejit.

Kini, kerisauan mulai menghantui pelaku sektor riil. Selain harga komoditas terus melorot, prospek ekspor juga kian kempis. Paling tidak, proyeksi ekspor kita ke AS bisa terpangkas hingga 20 persen. Sektor tekstil dan produk tekstil paling risau dengan perkembangan ini karena AS tetap menjadi pasar utama.

Bagaimana skenario ke depan? Gejolak finansial ini akan segera diikuti gelombang merger dan akuisisi, terutama pada perusahaan keuangan besar. Pertanyaan yang belum terjawab, apakah gejolak ini akan menyeret resesi global (great depression) seperti yang terjadi tahun 1930-an. Atau, hanya akan menjadi riak seperti tahun 1998 (krisis LTCM).

Sumber krisis

Ada banyak analisis terkait dengan kehancuran pasar finansial AS, mulai dari kebijakan defisit besar Presiden Bush, kebijakan suku bunga rendah di era Greenspan, sampai tindakan spekulatif para petinggi perusahaan, seperti dilakukan Dick Fuld, CEO Lehman Brothers. Namun, apa inti masalahnya?

Ada dua jawaban yang berimplikasi pada perbedaan respons kebijakan. Pertama, gejolak ini semata-mata kesalahan prosedur tata kelola yang mengakibatkan fenomena kegagalan (market failure). Maka, solusinya sederhana, yaitu usaha penyelamatan oleh negara. Karena itu, mengapa Ben Bernanke (Ketua The Fed) dan Henry Paulson (Menteri Keuangan) sepakat menyuntik AIG 85 miliar dollar AS. Sebelumnya, dua perusahaan pembiayaan rumah terbesar di AS, Fannie Mae dan Freddie Mac, juga diambil alih pemerintah. Merrill Lynch diakuisisi melalui Bank of America.

Sebenarnya logika yang sama terjadi dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia saat terjadi krisis 1998. Mengapa pemerintah harus turun tangan? Jika dibiarkan, kerusakan akan kian parah. Berbagai perusahaan (bank) dianggap terlalu besar untuk gagal (too big to fail). Sayang, kucuran dana juga berisiko penyimpangan (moral hazard).

Penjelasan kedua, agak kurang populer, akar masalah ada pada sifat alamiah perekonomian itu sendiri. Sumber instabilitas ekonomi (finansial) ada pada dirinya sendiri (endogen), bukan faktor luar (eksogen). Secara teknis, krisis terjadi jika pelaku ekonomi terlalu ekspansif dan spekulatif dalam kebijakan keuangan sehingga tak mampu membayar kewajibannya. Untuk melunasi utangnya, seluruh aset harus dijual (likuidasi). Tipikal ini disebut fenomena ”ekonomi Ponzi” atau ekonomi gelembung (bubble).

Mengingat instabilitas bersifat endogen, maka campur tangan pemerintah seharusnya tidak hanya dilakukan jika telah terjadi masalah (ex-post), tetapi sebelum terjadi (ex-ante). Sayang, intervensi selain mengundang moral hazard, juga dianggap terlalu restriktif terhadap inovasi dan perkembangan.

Gelombang ”merger”

Menyusul tumbangnya banyak perusahaan di sektor finansial, pencaplokan dan penggabungan perusahaan akan marak. Selain telah terjadi pada perusahaan keuangan papan atas, merger dan akuisisi akan berlanjut pada level di bawahnya, perusahaan menengah. Morgan Stanley akan menggandeng Wachovia Corp untuk meningkatkan kinerja. Sementara Bank Lloyods TSB di Inggris akan membeli Halifax Bank of Scotland; JPMorgan Chase & Co dan Bank of America berencana membeli Washington Mutual.

Pengambilalihan secara paksa (hostile takeover) menjadi sesuatu yang wajar dalam dinamika pasar. Bagi perusahaan finansial yang memiliki produk derivatif luas di pasar, eksistensi perusahaan bisa ”dipermainkan” spekulan. Saat perusahaan mulai goyah, pencaplokan oleh perusahaan lain tidak terhindarkan. Pasar menjadi ganas, bahkan sering disebut tempat berkeliarannya para ”pemakan bangkai’ (vulture capitalism).

Fakta itu mengingatkan buku Raghuram Rajan dan Luigi Zingales dari University of Chicago Graduate School of Business, Saving capitalism from the capitalist (2003). Para pembela sistem pasar ini mengajukan dua hal. Pertama, sistem kapitalisme harus diselamatkan dari kepentingan pribadi pemilik modal yang terlalu besar. Kedua, peran pemerintah harus nyata (visible) dalam mengatur sistem kapitalisme.

Perekonomian global memang sedang ditandai membesarnya porsi sektor finansial (pasar modal, obligasi, dan uang) dengan produk derivatif yang amat beragam. Maka, membangun infrastruktur lewat berbagai intervensi harus secara nyata. Jika tidak, kita hanya selalu digoncang berbagai gejolak yang tak akan terhenti. Memang, tak mungkin sistem kapitalisme tanpa krisis.

A Prasetyantoko Menyelesaikan Doktor Ilmu Ekonomi di ENS-Lyon, Perancis; Pengajar di Universitas Atma Jaya, Jakarta

Anomali Pasar Modal


Senin, 22 September 2008 | 00:32 WIB

Cyrillus Harinowo

Akhir-akhir ini pasar modal Indonesia mengalami pasang surut cukup tajam. Jika sampai akhir tahun 2007 pasar modal kita mengalami pasang naik dan banyak memberikan keuntungan kepada investor, tahun 2008 pergerakan saham seperti roller coaster.

Hal itu dipengaruhi banyak faktor, terutama perekonomian global, yaitu kisruhnya sektor keuangan di AS serta naik turunnya harga minyak bumi yang menyeret harga komoditas lain.

Hal itu juga terjadi di mana-mana. Pasar modal Shanghai lebih dulu terpukul, dengan penurunan lebih tajam. Pasar modal di Mumbai juga tidak merefleksikan perkembangan ekonomi India. Anomali semacam ini membuat investasi di pasar modal menunjukkan warna aslinya, yaitu adanya risiko lebih besar.

Fundamental yang baik

Perkembangan ini bisa dikatakan anomali karena perusahaan yang sahamnya diperjualbelikan di pasar modal mengalami perkembangan amat bagus pada tahun 2008. Mengamati laporan keuangan mereka, kuartal 1 dan 2, mayoritas pendapatan dan laba bersih perusahaan naik pesat. Hal ini didukung perkembangan ekonomi makro yang tidak kalah baiknya.

Pertumbuhan ekonomi riil pada kuartal satu adalah 6,3 persen. Kuartal dua mengalami kenaikan sehingga menjadi 6,4 persen. Tampaknya perkembangan ini masih akan berlanjut pada kuartal tiga ini. Bahkan, perkembangan PDB nominal, yang lebih kurang sejalan dengan perkembangan ”penjualan” perusahaan yang tecermin dalam laporan keuangan mereka, mengalami pertumbuhan fenomenal. Kuartal satu tahun 2008 pertumbuhan PDB nominal kita mencapai 22,5 persen, sedangkan kuartal dua melesat dengan pertumbuhan 27,9 persen. (Pertumbuhan nominal ini hampir sama dengan kenaikan penjualan yang dialami PT Unilever Tbk). Ini tidak lepas dari kenaikan penjualan produk yang harganya mengalami kenaikan tinggi, seperti kelapa sawit, batu bara, dan komoditas lain.

Perkembangan lain adalah tumbuhnya jumlah penduduk yang masuk kelas menengah ke atas yang akhirnya menjadi kekuatan besar perekonomian Indonesia. Merujuk penggolongan kelas konsumen yang dilakukan AC Nielsen—perusahaan yang andal dalam riset pasar—maka jumlah penduduk yang termasuk kelas A dalam definisi mereka (membelanjakan Rp 3,45 juta per bulan) diperkirakan mencapai 35 juta orang. Jumlah ini akan meningkat menjadi 45 juta orang pada tahun 2010.

Pendefinisian ini pun masih bisa dianggap konservatif karena Nielsen mengelompokkan kelas A dan B dalam kategori kelas menengah ke atas. Akibatnya, jika formula ini yang digunakan, jumlah penduduk yang masuk kategori kelas menengah Indonesia lebih besar lagi.

Pertumbuhan ekonomi dan bangkitnya kelas menengah ke atas Indonesia menjadi penggerak pertumbuhan selanjutnya. Kelas menengah ke atas yang besar meningkatkan penjualan AC rumah hingga mencapai sekitar satu juta unit per tahun. Dampaknya, kebutuhan listrik mencapai 500 megawatt. Belum lagi kebutuhan lain. Maka, dunia usaha dan PLN perlu mengamati pergeseran ini dan tidak lagi mengandalkan diri pada perencanaan linier.

Penumpang angkutan udara juga meningkat. Kelas bisnis di Garuda pun naik pesat. Kini, tiap hari business lounge Garuda di Cengkareng cenderung penuh. Pertumbuhan sektor ritel memungkinkan hidupnya banyak shopping mall.

Melihat perkembangan itu, tampak perkembangan fundamental perekonomian Indonesia tidak terwakili perkembangan di pasar modal sehingga bisa diistilahkan terjadi keterpisahan atau decoupling di antara keduanya. Meski demikian, dalam jangka lebih panjang, perkembangan pasar modal akan tetap mengalami kenaikan sesuai arah perekonomian riil.

Sentimen global

Akhirnya situasi pasar modal kita lebih banyak diwarnai perkembangan global dan banyak sentimen yang berkembang.

Pertama, perkembangan sektor keuangan global yang gonjang-ganjing. Likuiditas perbankan di AS mengalami keketatan amat tinggi sehingga The Fed pun ikut turun tangan guna mengurangi keketatan itu dengan bantuan likuiditasnya. Perkembangan ini menyebabkan banyak investor global mencairkan investasinya di negara berkembang dan ikut membantu memperkuat likuiditas perusahaan induk nya di AS. Keadaan ini mirip kejadian tahun 1994 saat Tequila Crisis, yaitu dicairkannya investasi mereka di emerging market untuk memperkuat perusahaan induk yang mengalami banyak penarikan dana (redemption). Inilah yang akhirnya menimbulkan fenomena contagion effect.

Kedua, jatuhnya harga-harga komoditas, seperti batu bara dan kelapa sawit, berdampak pada turunnya harga saham perusahaan di bidang itu. Malaysia mengatakan, industri kelapa sawit mereka akan mengalami lampu kuning jika harga sudah menyentuh 590 dollar AS per ton karena sudah mendekati biaya produksi. Di Indonesia, biaya produksi kelapa sawit sedikit di bawah 300 dollar AS per ton. Bahkan, ada yang biaya produksinya hanya sedikit di atas 200 dollar AS. Saat Malaysia sudah kerepotan dengan jatuhnya harga produk itu, Indonesia masih bisa menikmati keuntungan. Bedanya, jika dengan harga 1.200 dollar AS per ton keuntungan perusahaan itu amat besar, dengan harga sekarang keuntungannya lebih kecil.

Ketiga, penurunan harga saham ini mungkin juga terjadi karena perkembangan suplai saham yang terlalu cepat. Karena pasar saham mencerminkan mekanisme pasar sebenarnya, maka peningkatan suplai saham perlu dijaga agar sesuai kecepatan peningkatan absorbsinya.

Saya percaya perkembangan pasar modal kita akan kembali meningkat sejalan perkembangan fundamentalnya. Kita bisa membantu mempercepat pemulihannya dengan menciptakan sentimen lebih baik.

Cyrillus Harinowo Rektor ABFII Perbanas

Ironi 100 Tahun General Motors


Getty Images/Bill Pugliano / Kompas Images
Pimpinan Eksekutif General Motors Rick Wagonor (kiri) dan Wakil Pimpinan Bob Lutz saat memperkenalkan mobil listrik terbaru General Motors, Volt, dalam perayaan 100 tahun industri mobil nomor satu di AS dan dunia itu, di markasnya di Detroit, Michigan, 16 September. Volt baru tersedia pada tahun 2010. Posisi nomor satu General Motors dibayangi Toyota Motor.
Senin, 22 September 2008 | 03:00 WIB

Sebagai simbol industri otomotif Amerika Serikat, General Motors dikenal karena menjadi pemimpin industri inovatif. Memasuki usianya yang ke-100 pada 16 September lalu, General Motors justru berada di sisi bawah roda yang sedang berputar di tengah badai krisis ekonomi AS.

Belum pernah sepanjang sejarah berdirinya, General Motors (GM) begitu terikat dengan perekonomian AS. Kini, saat perekonomian AS bergejolak, GM tampaknya ikut kehabisan bahan bakar. ”General Motors melekat dengan ekonomi lama, ekonomi manufaktur yang mendasari ekonomi AS pada abad lalu. Saat industri manufaktur turun di era baru, begitu juga GM,” kata Karl Brauer, pemimpin redaksi situs otomotif Edmunds.com.

Pada awalnya, GM yang didirikan di Flint, Michigan, pada 16 September 1908 oleh William C Durant, adalah pionir dan selama beberapa waktu memegang peran itu. Adalah GM yang pertama memperkenalkan starter elektronik hanya empat tahun setelah perusahaan itu didirikan. GM juga yang memulai peredam kejut depan independen, mesin V12 dan V16, Cadillac, dan Chevrolet Corvette yang menjadi ikon otomotif selama 55 tahun.

GM memproduksi mobil dan truk di 35 negara berbeda. GM menjual produk-produk dengan 12 merek, yaitu Buick, Cadillac, Chevrolet, GM Daewoo, GMC, Holden, Hummer, Opel, Pontiac, Saab, Saturn, dan Vauxhall. Saat ini, GM mempekerjakan 284.000 orang di seluruh dunia.

Namun, Leslie Kendall, kurator Museum Otomotif Peterson di Los Angeles, mengatakan, GM berubah dari pemimpin menjadi pengikut, dari pencetus mode menjadi pengikut mode. ”Dalam dekade ini, GM tampaknya kehilangan cara mereka. Mereka menjadi lamban dan seluruh antusiasme kreatif menguap,” ujarnya.

Puncak pencapaian GM pada era ini adalah minivan Chrysler Voyager tahun 1983 dan Explorer, keluarga SUV (sport utility vehicle) pertama, tahun 1993. Sayangnya, GM tidak bisa menjaga kurva yang terus menanjak itu. ”Meskipun perusahaan itu memiliki ide-ide bagus, datangnya pada saat yang tidak tepat. Mereka mulai menyia-nyiakan kepercayaan publik,” kata Kendall.

Kehilangan mahkota

Yang paling mengejutkan adalah isu bahwa GM akan menjual bisnis truk kepada Isuzu Motors dari Jepang. Namun, laporan itu dibantah Isuzu yang menyatakan belum didekati oleh GM. GM diperkirakan akan kehilangan mahkota sebagai pembuat mobil paling top sedunia, yang dikenakan selama hampir 80 tahun, kepada Toyota Motor Corp.

GM juga diyakini akan mempertimbangkan penjualan bagian sahamnya di DMAX Ltd, sebuah usaha patungan dengan Isuzu yang membuat mesin diesel. Pada kuartal kedua tahun ini, GM mengumumkan kerugian bersih sebesar 15,5 miliar dollar AS akibat naiknya harga minyak dunia dan krisis keuangan AS. Tahun 2007, GM juga telah mengalami kerugian sebesar 38 miliar dollar AS.

”Saya merasa ini ironis karena, pada saat yang bersamaan GM merayakan 100 tahun berdirinya, muncul berita utama lain, yaitu akankah pemerintah memberi dana talangan untuk mencegah perusahaan domestik jatuh?” kata Brauer.

Kendall lebih filosofis menanggapinya. ”Tidak seorang pun yang selamanya berada di puncak,” katanya. Akan datang saatnya, lanjut Kendall, di mana GM dan perusahaan mobil AS kembali mendominasi pasar dunia. (afp/fro)

"Short Selling" Harus Segera Dihentikan


Senin, 22 September 2008 | 00:46 WIB

Jakarta, Kompas - Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atau Bapepam- LK harus segera melarang sementara transaksi short selling dalam perdagangan saham di Indonesia menyusul buruknya kondisi bursa belakangan ini.

Dalam situasi pasar saham yang sedang tidak stabil, transaksi short selling yang sarat dengan tindakan spekulatif itu dinilai hanya memperburuk keadaan dan merugikan investor kecil.

Hal itu disampaikan pengamat pasar modal, Yanuar Rizky dan Robert JS Nayoan, serta pelaku pasar modal, Alex Marco, yang dihubungi terpisah di Jakarta, Minggu (21/9).

Yanuar mengatakan, spekulan selalu memanfaatkan kondisi pasar saham yang sedang melemah (bearish) dengan melakukan transaksi short selling secara besar-besaran.

Tindakan itu mengakibatkan harga saham-saham yang dijadikan target spekulasi menjadi anjlok sehingga bursa semakin terpuruk.

Short selling adalah transaksi penjualan saham di mana saham dimaksud tidak dimiliki investor, melainkan dipinjam dari orang lain (biasanya perusahaan sekuritas/broker).

Biasanya, aksi itu dilakukan dengan mengembuskan sentimen negatif agar harga saham yang menjadi target anjlok. Investor yang bersangkutan lalu membeli kembali saham itu dengan harga lebih murah untuk selanjutnya dikembalikan kepada broker.

Larangan terhadap praktik short selling, lanjut Yanuar, belakangan ini marak dilakukan oleh otoritas bursa negara-negara maju. Bulan Juli lalu, otoritas pasar modal AS, Securities And Exchange Commission (SEC), melarang praktik short selling atas 799 saham di sektor keuangan negara itu.

Bahkan, sejak akhir pekan lalu, otoritas pasar modal Inggris, Jerman, dan sejumlah negara Eropa lainnya melarang aktivitas short selling atas seluruh saham yang tercatat di bursa mereka.

Para spekulan dan manager hedge fund dari negara-negara di atas akan mencari sasaran spekulasi baru, yaitu di bursa negara-negara berkembang yang belum melarang short selling, termasuk Indonesia.

”Semua ini dalam rangka upaya AS dan negara-negara Eropa mengatasi krisis keuangannya, menutup rapat-rapat spekulasi di bursa mereka dan, dalam tanda petik, menyuruh para hedge fund mencari uang dari negara lain,” papar Yanuar.

Jika otoritas pasar modal Indonesia tidak tanggap dengan itu, Yanuar mengkhawatirkan Bursa Efek Indonesia akan jadi sasaran empuk para spekulan asing dalam meraup keuntungan sebesar-besarnya yang juga berarti meninggalkan kerugian cukup mendalam bagi investor lokal, khususnya investor kecil.

Aturan Bapepam-LK

Robert JS Nayoan menambahkan, apabila tidak memungkinkan melarang short selling atas keseluruhan saham yang tercatat di BEI untuk mempertahankan likuiditas pasar, Bapepam-LK bisa saja melarang short selling atas saham-saham yang berpotensi dijadikan sebagai target spekulasi.

Menurut Robert, fasilitas short selling seharusnya juga tidak diberikan kepada investor besar, melainkan kepada investor kecil. Menurut dia, dengan fasilitas short selling, investor besar yang memiliki dana cukup banyak dan jaringan informasi yang luas akan dengan mudah mendikte pasar.

Dalam Peraturan Bapepam- LK Nomor V.D.6 tentang Pembiayaan Transaksi Efek oleh Perusahaan Efek bagi Nasabah dan Transaksi Short Selling oleh Perusahaan Efek disebutkan bahwa nasabah yang dapat melakukan short selling adalah nasabah yang telah menyetorkan jaminan awal minimal Rp 200 juta untuk masing-masing rekening efek short selling.

Tingginya jaminan awal itu mengakibatkan hanya investor besar yang dapat melakukan short selling.

Alex Marco, seorang investor perorangan, menceritakan, akibat maraknya aktivitas short selling, nilai investasi sahamnya terus merosot. Tekanan jual dan kuatnya spekulan mendikte pasar memaksa Alex untuk menjual saham-sahamnya dengan harga murah.

”Seharusnya sudah dari beberapa bulan lalu short selling dilarang. Namun, Bapepam sepertinya kurang tanggap dengan praktik-praktik kotor di pasar modal,” katanya. (REI)

Akhirnya Amerika Membentuk BPPN


JPE / Kompas Images
MIRZA ADITYASWARA
Senin, 22 September 2008 | 03:00 WIB

Setelah indeks saham terjun bebas selama beberapa bulan, Jumat pekan lalu pasar saham di seluruh dunia naik tajam karena investor pasar keuangan mendengar rencana Pemerintah Amerika Serikat akan membentuk lembaga yang mengambil alih tagihan kredit macet di perbankan AS. Lembaga tersebut akan mengambil alih tagihan macet kredit properti sampai jumlah 700 miliar dollar AS (produk domestik bruto/PDB Indonesia sekitar 490 miliar dollar AS). Bentuk lembaga ini semacam Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang pernah dibuat Pemerintah Indonesia pada waktu krisis keuangan tahun 1998.

Ketamakan pelaku pasar keuangan telah memakan dirinya sendiri. Liberalisasi pasar keuangan tanpa rambu kehati-hatian telah menelan banyak korban. Krisis keuangan global yang kita hadapi saat ini adalah krisis yang serius, bukan suatu masalah yang bisa selesai dalam waktu tiga bulan. Pada waktu kita mengalami krisis ekonomi Asia pada tahun 1998, ekonomi dunia tidak terpengaruh. Namun, kali ini yang sakit adalah mesin ekonomi dunia (AS) sehingga dampaknya mengglobal.

Tanpa kita sadari, gejolak ini sudah berlangsung lebih dari satu tahun, sejak Juli 2007. Bermula dari timbulnya kredit macet di portofolio subprime mortgage, kerugian sistem perbankan global per kuartal II-2008 sudah mencapai 500 miliar dollar AS. Dampak dari krisis keuangan saat ini telah membuat ekonomi dunia kehilangan mesin pemberi kredit. Bank internasional, seperti Citigroup, UBS, Merril Lynch, dan Morgan Stanley, rugi puluhan miliar dollar AS sehingga pasti mereka tidak berminat menyalurkan kredit sebelum ada tambahan modal.

Pada awalnya, ekonomi Asia dianggap tidak akan terkena dampak krisis di AS karena porsi ekspor negara-negara Asia ke AS semakin menurun dibandingkan satu dekade lalu. Namun, pada era globalisasi, gerak ekonomi dunia bukan hanya ditentukan oleh sektor riil, tetapi sangat ditentukan oleh aliran modal di pasar keuangan.

Kerugian bank-bank internasional akibat krisis subprime mortgage pada awalnya menimbulkan penurunan kurs dollar AS terhadap mata uang euro dan yen serta merontokkan harga saham di AS. Jatuhnya valuasi saham di AS selanjutnya memicu penurunan harga saham di seluruh dunia karena investor khawatir pelemahan ekonomi Amerika akan berdampak pada pelambatan ekonomi dunia.

Masalah makin rumit, penurunan harga saham di negara berkembang sering kali disertai pelarian modal ke instrumen yang dianggap kurang berisiko (misalnya surat utang negara maju atau emas). Akibatnya, kurs mata uang negara berkembang melemah dan bank sentral harus menaikkan suku bunga.

Lari ke komoditas

Situasi tahun 2008 sangat kompleks. Demi menghindari resesi, bank sentral Amerika menurunkan bunga secara drastis dari 5,25 persen ke 2,0 persen. Namun, di lain pihak, penurunan bunga dan penurunan kurs dollar AS membuat investor mencari kompensasi dengan membeli komoditas tambang dan pertanian. Akibatnya, harga komoditas melesat tajam, menimbulkan gelombang inflasi.

Inflasi di Indonesia tahun ini diperkirakan 12-13 persen. Akibatnya, bank-bank sentral di negara berkembang harus menaikkan suku bunga.

Teori penguatan harga komoditas tidak berlangsung lama. Pada akhirnya kita lihat bahwa melambatnya ekonomi dunia dan meredanya ketegangan geopolitik di Iran dan Irak menurunkan harga komoditas tambang (termasuk minyak bumi) dan pertanian. Hasil akhirnya, kerugian bertambah besar.

Usaha penyelamatan dilakukan bertubi-tubi. Amerika telah menurunkan suku bunga secara drastis dan mengucurkan likuiditas ke perusahaan sekuritas. Bank JP Morgan diminta mengambil alih perusahaan sekuritas Bear Stearns. Bank of America mengambil alih Merrill Lynch. Pemerintah AS terpaksa harus menyelamatkan lembaga kredit perumahan Fannie Mae and Freddie Mac yg mempunyai kewajiban 5 triliun dollar AS!

Pemerintah AS juga menyuntik likuiditas 85 miliar dollar AS ke asuransi jiwa AIG. Namun, sebagai peringatan kepada para spekulan, Pemerintah AS membiarkan Lehman Brothers bangkrut. Selanjutnya, bank sentral AS mengajak bank sentral Eropa dan Jepang mengucurkan likuiditas ke pasar uang. Tidak terpikir sebelumnya di benak kita bahwa AS dan Inggris sebagai pembela liberalisasi pasar akhirnya minggu lalu melarang investor keuangan melakukan aksi spekulasi short selling.

Apa yang harus dilakukan masyarakat Indonesia? Tanpa mengurangi optimisme, kita harus selalu waspada. Fundamental ekonomi kita masih cukup baik, pertumbuhan ekonomi tahun ini masih bisa sedikit di atas 6 persen. Likuiditas rupiah harus tersedia, tetapi jangan berlebihan agar tak dipakai spekulasi membeli mata uang asing. Bisa dimengerti jika BI belum mau menurunkan suku bunga sampai yakin inflasi turun ke arah 7 persen agar kepercayaan investor asing pembeli surat utang negara tetap terjaga. Namun, perbankan sebaiknya tak menawarkan bunga deposito yang terlalu tinggi karena akan menimbulkan persepsi negatif.

Kinerja ekspor komoditas diperkirakan melambat sehingga perlu diimbangi dengan penurunan impor minyak bumi dan bahan baku lain. Rencana ekspansi korporasi yang berlebihan harus dipikirkan pendanaannya karena suku bunga kredit sudah naik dan keran kredit dari luar negeri belum akan tersedia sampai setahun ke depan.

Fundamental anggaran pemerintah cukup baik, defisit anggaran diperkirakan turun ke 1,7 persen PDB dari rencana semula 2,1 persen persen PDB. Maka, pemerintah di pusat dan daerah harus mengompensasi pelambatan ekonomi dengan mempercepat penggunaan anggaran, tentu saja tanpa menerjang rambu-rambu good governance.

Mirza Adityaswara Analis Perbankan dan Pasar Modal

Goldman dan Morgan Berubah


Bursa Tanggapi Beragam

Getty Images/Pool / Kompas Images
Calon presiden AS dari Partai Demokrat, Barack Obama (kelima dari kanan), membahas krisis keuangan AS dengan mantan Gubernur Bank Sentral AS (Fed) Paul Volcker (keenam dari kanan) serta Direktur dan Pemimpin Citigroup Robert Rubin (keempat dari kanan) saat kampanye di Florida, Jumat (19/9).
Selasa, 23 September 2008 | 03:00 WIB

Washington, Senin - Bank Sentral AS (The Federal Reserve) telah menyetujui permintaan dua bank investasi terakhir AS, yaitu Goldman Sachs dan Morgan Stanley, untuk mengubah status mereka menjadi perusahaan induk perbankan. Perubahan status ini akan membawa beberapa konsekuensi bagi kedua pihak.

Perubahan status akan membuat korporasi itu dapat mendirikan bank komersial yang diperbolehkan mengumpulkan deposito dari masyarakat sehingga dapat menjadi sumber pendanaan lembaga keuangan tersebut. Kedua perusahaan akan berada langsung di bawah pengawasan Bank Sentral AS (Fed).

Reaksi pasar beragam terhadap upaya penyelamatan itu. Sebagian besar bursa Asia ditutup menguat, sedangkan bursa di Eropa ditutup beragam.

”Masih ada beragam reaksi terhadap perkembangan Jumat lalu. Pada perdagangan Senin ada kecenderungan para investor mengambil untung,” ujar Stephen Pope, pakar pasar global pada Cantor Fitzgerald di London, Senin (22/9).

Perubahan besar itu merupakan restrukturisasi terbesar di Wall Street sejak Depresi Besar dekade 1930-an. Sebelumnya, sebagai bank investasi, Goldman dan Morgan berada di bawah Badan Pengawas Pasar Modal AS (Securities and Exchange Commission/SEC).

Keputusan memberikan perubahan status kedua bank investasi itu mencerminkan perkembangan dramatis lain pada periode yang sangat mencemaskan dalam sejarah Wall Street.

Pemerintah China didekati

Dengan keputusan Fed itu, kemungkinan merger antara Morgan dan Wachovia hilang. ”Satu hal yang kami tahu pasti, tidak akan ada kesepakatan dengan Wachovia,” ujar seorang eksekutif yang dekat dengan Morgan.

Morgan juga tengah berbicara dengan Pemerintah China mengenai kemungkinan menginjeksi uang tunai besar-besaran.

Sebelumnya, investor khawatir kedua bank investasi terakhir yang independen itu tidak dapat selamat melewati terpaan badai finansial. Sebelumnya, muncul spekulasi bahwa kedua bank itu akan diakuisisi bank komersial yang memiliki kemampuan mengumpulkan pendanaan sehingga dapat memberikan sumber pendanaan yang cukup stabil.

Bank Sentral AS juga memberikan kejutan lain, dengan menyediakan dukungan tambahan dana kepada dua institusi keuangan itu selama masa transisi. Mereka akan diperbolehkan mendapatkan pinjaman jangka pendek dari Bank Sentral New York.

UBS kuat

Sementara itu, UBS melalui Head of Corporate Communications Singapore and South East Asia Julie Yeo mengatakan, UBS telah mengambil langkah penting untuk memperkuat permodalan sehingga tidak mengalami kondisi seperti yang dialami lembaga lain.

”Rasio kecukupan modal UBS salah satu yang terkuat pada industri keuangan. Rasio kecukupan modal UBS 11,6 persen, memenuhi standar internasional. Posisi ini sama dengan posisi yang sama sebelum terjadinya krisis kredit,” demikian penjelasan Yeo kepada Kompas.

Ketua Asosiasi Bankir Swiss Pierre Mirabud juga mengatakan bank itu cukup kuat. Dia membantah spekulasi bahwa UBS berada di ujung tanduk dan kemungkinan dipaksa diambil alih oleh Credit Suisse Group, pesaingnya.

Komisi Eropa menyambut baik rencana penyelamatan oleh otoritas keuangan di AS itu.

”Komisi Eropa menyambut baik tindakan AS dalam upaya menstabilkan sistem keuangan,” ujar juru bicara Johannes Laitenberger. (REUTERS/AFP/AP/tat/joe)

Senin, 22 September 2008

Akhirnya Amerika Membentuk BPPN

Akhirnya Amerika Membentuk BPPN
JPE / Kompas Images
MIRZA ADITYASWARA
Senin, 22 September 2008 | 03:00 WIB

Setelah indeks saham terjun bebas selama beberapa bulan, Jumat pekan lalu pasar saham di seluruh dunia naik tajam karena investor pasar keuangan mendengar rencana Pemerintah Amerika Serikat akan membentuk lembaga yang mengambil alih tagihan kredit macet di perbankan AS. Lembaga tersebut akan mengambil alih tagihan macet kredit properti sampai jumlah 700 miliar dollar AS (produk domestik bruto/PDB Indonesia sekitar 490 miliar dollar AS). Bentuk lembaga ini semacam Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang pernah dibuat Pemerintah Indonesia pada waktu krisis keuangan tahun 1998.

Ketamakan pelaku pasar keuangan telah memakan dirinya sendiri. Liberalisasi pasar keuangan tanpa rambu kehati-hatian telah menelan banyak korban. Krisis keuangan global yang kita hadapi saat ini adalah krisis yang serius, bukan suatu masalah yang bisa selesai dalam waktu tiga bulan. Pada waktu kita mengalami krisis ekonomi Asia pada tahun 1998, ekonomi dunia tidak terpengaruh. Namun, kali ini yang sakit adalah mesin ekonomi dunia (AS) sehingga dampaknya mengglobal.

Tanpa kita sadari, gejolak ini sudah berlangsung lebih dari satu tahun, sejak Juli 2007. Bermula dari timbulnya kredit macet di portofolio subprime mortgage, kerugian sistem perbankan global per kuartal II-2008 sudah mencapai 500 miliar dollar AS. Dampak dari krisis keuangan saat ini telah membuat ekonomi dunia kehilangan mesin pemberi kredit. Bank internasional, seperti Citigroup, UBS, Merril Lynch, dan Morgan Stanley, rugi puluhan miliar dollar AS sehingga pasti mereka tidak berminat menyalurkan kredit sebelum ada tambahan modal.

Pada awalnya, ekonomi Asia dianggap tidak akan terkena dampak krisis di AS karena porsi ekspor negara-negara Asia ke AS semakin menurun dibandingkan satu dekade lalu. Namun, pada era globalisasi, gerak ekonomi dunia bukan hanya ditentukan oleh sektor riil, tetapi sangat ditentukan oleh aliran modal di pasar keuangan.

Kerugian bank-bank internasional akibat krisis subprime mortgage pada awalnya menimbulkan penurunan kurs dollar AS terhadap mata uang euro dan yen serta merontokkan harga saham di AS. Jatuhnya valuasi saham di AS selanjutnya memicu penurunan harga saham di seluruh dunia karena investor khawatir pelemahan ekonomi Amerika akan berdampak pada pelambatan ekonomi dunia.

Masalah makin rumit, penurunan harga saham di negara berkembang sering kali disertai pelarian modal ke instrumen yang dianggap kurang berisiko (misalnya surat utang negara maju atau emas). Akibatnya, kurs mata uang negara berkembang melemah dan bank sentral harus menaikkan suku bunga.

Lari ke komoditas

Situasi tahun 2008 sangat kompleks. Demi menghindari resesi, bank sentral Amerika menurunkan bunga secara drastis dari 5,25 persen ke 2,0 persen. Namun, di lain pihak, penurunan bunga dan penurunan kurs dollar AS membuat investor mencari kompensasi dengan membeli komoditas tambang dan pertanian. Akibatnya, harga komoditas melesat tajam, menimbulkan gelombang inflasi.

Inflasi di Indonesia tahun ini diperkirakan 12-13 persen. Akibatnya, bank-bank sentral di negara berkembang harus menaikkan suku bunga.

Teori penguatan harga komoditas tidak berlangsung lama. Pada akhirnya kita lihat bahwa melambatnya ekonomi dunia dan meredanya ketegangan geopolitik di Iran dan Irak menurunkan harga komoditas tambang (termasuk minyak bumi) dan pertanian. Hasil akhirnya, kerugian bertambah besar.

Usaha penyelamatan dilakukan bertubi-tubi. Amerika telah menurunkan suku bunga secara drastis dan mengucurkan likuiditas ke perusahaan sekuritas. Bank JP Morgan diminta mengambil alih perusahaan sekuritas Bear Stearns. Bank of America mengambil alih Merrill Lynch. Pemerintah AS terpaksa harus menyelamatkan lembaga kredit perumahan Fannie Mae and Freddie Mac yg mempunyai kewajiban 5 triliun dollar AS!

Pemerintah AS juga menyuntik likuiditas 85 miliar dollar AS ke asuransi jiwa AIG. Namun, sebagai peringatan kepada para spekulan, Pemerintah AS membiarkan Lehman Brothers bangkrut. Selanjutnya, bank sentral AS mengajak bank sentral Eropa dan Jepang mengucurkan likuiditas ke pasar uang. Tidak terpikir sebelumnya di benak kita bahwa AS dan Inggris sebagai pembela liberalisasi pasar akhirnya minggu lalu melarang investor keuangan melakukan aksi spekulasi short selling.

Apa yang harus dilakukan masyarakat Indonesia? Tanpa mengurangi optimisme, kita harus selalu waspada. Fundamental ekonomi kita masih cukup baik, pertumbuhan ekonomi tahun ini masih bisa sedikit di atas 6 persen. Likuiditas rupiah harus tersedia, tetapi jangan berlebihan agar tak dipakai spekulasi membeli mata uang asing. Bisa dimengerti jika BI belum mau menurunkan suku bunga sampai yakin inflasi turun ke arah 7 persen agar kepercayaan investor asing pembeli surat utang negara tetap terjaga. Namun, perbankan sebaiknya tak menawarkan bunga deposito yang terlalu tinggi karena akan menimbulkan persepsi negatif.

Kinerja ekspor komoditas diperkirakan melambat sehingga perlu diimbangi dengan penurunan impor minyak bumi dan bahan baku lain. Rencana ekspansi korporasi yang berlebihan harus dipikirkan pendanaannya karena suku bunga kredit sudah naik dan keran kredit dari luar negeri belum akan tersedia sampai setahun ke depan.

Fundamental anggaran pemerintah cukup baik, defisit anggaran diperkirakan turun ke 1,7 persen PDB dari rencana semula 2,1 persen persen PDB. Maka, pemerintah di pusat dan daerah harus mengompensasi pelambatan ekonomi dengan mempercepat penggunaan anggaran, tentu saja tanpa menerjang rambu-rambu good governance.

Mirza Adityaswara Analis Perbankan dan Pasar Modal

Jumat, 19 September 2008

Fuld "Si Gorila", Penggembos Lehman


Jumat, 19 September 2008 | 00:27 WIB

Richard Severin Fuld Jr, sering disapa dengan Dick Fuld, CEO Lehman Brothers, merupakan salah seorang yang dianggap bertanggung jawab atas kebangkrutan bank investasi terbesar keempat di Wall Street, New York, AS, itu.

Lahir 26 April 1946 di New York, Fuld dicitrakan selalu berpakaian rapi, tetapi temperamen. Panggilannya, Gorila, mungkin mengacu pada badannya yang tegap dan hobi angkat berat. Nama itu juga cerminan bahwa dia tidak berbicara terlalu banyak.

Dia belajar di sekolah bisnis kelas malam di New York dan memulai karier di Lehman pada 1969. Dia memulai karier sebagai pedagang surat berharga dan selalu bekerja di Lehman. Kariernya menanjak hingga menempati posisi puncak di Lehman. Posisi ini dia dapat sejak Lehman melepaskan diri dari American Express tahun 1994. Fuld saat ini merupakan CEO terlama di Wall Street. Gajinya setahun sekitar 34.300.000 dollar AS. Maret lalu dia menerima bonus 22 juta dollar AS.

Digugat pemegang saham

Ketika krisis subprime mortgage (surat utang untuk pembiayaan perumahan yang keamanannya tidak prima) mulai merebak, Fuld tidak berada di tempat. Dia menyerahkan wewenang kepada bawahan. Namun, dia dianggap mengabaikan peringatan dini mengenai transaksi derivatif soal pemolesan surat-surat utang yang berisiko untuk pembiayaan perumahan senilai 60 miliar dollar AS, yang membuat Lehman tersandung. Dia meremehkan tingkat risiko dan dampaknya terhadap Lehman. Mungkin juga dia terlalu percaya diri.

Karakter pemimpin merupakan hal yang sangat menentukan arah perusahaan. Pendiri JP Morgan, John Pierpont Morgan, mengatakan, karakter pemimpin lebih diutamakan.

Fuld berada di India dan tidak muncul di muka publik untuk memberikan penjelasan mengenai posisi Lehman kepada para investor. Dia mengutus CFO Erin Callan untuk menjelaskan. Ketika para komentator mengkritik Callan, dia malahan menurunkan jabatan Callan.

Dengan tenang Fuld menyatakan, strategi diversifikasi merupakan cara untuk mendukung para nasabah melewati masa- masa sulit sekaligus memperkuat bisnis globalnya.

Pada April 2008, Fuld mengumumkan bahwa bagian badai krisis yang terburuk sudah berlalu. Pada pertemuan tahunan perbankan, dia menyalahkan para investor yang melakukan short selling (taruhan bahwa saham Lehman akan jatuh) sebagai penyebab saham Lehman jatuh menjadi 21 sen dari sekitar 67,73 dollar AS per lembar. Sejak itu dia sulit ditemui.

Pada telekonferensi dengan para investor, pekan lalu, yang seharusnya dia menjelaskan rencana likuidasi aset utama, Fuld malah memfokuskan pembicaraan bagaimana para pegawai di firmanya mengatasi masalah itu dengan baik. Fuld sama sekali tidak membicarakan fakta bahwa para pegawai itu segera akan menjadi penganggur.

Lehman memiliki 24.000 pegawai di AS saja, dengan tingkat perpindahan yang sangat rendah. Para pegawai menyalahkan Fuld atas kerugian sebesar 10 miliar dollar AS.

Mungkin karena merasa nilai aset Lehman tidak diketahui publik, Fuld menolak pertolongan. Kesombongan Fuld itu dianggap menjadi salah satu faktor yang menjerumuskan Lehman. Pada Agustus lalu, Bank Pembangunan Korea hendak membeli Lehman seharga 26 dollar AS per saham, dia menolak dengan alasan terlalu murah.

Masalah perbedaan harga juga menyebabkan pembicaraan dengan CITIC Securities dari China berakhir. Nyatanya, Lehman tidak berdaya dan bangkrut tak lama setelah tawaran Korea itu ditampik. Hari Jumat (12/9), saat harga saham Lehman mencapai salah satu titik terendah, pilihan Fuld tidak banyak lagi, kecuali mengajukan proteksi kebangkrutan.

Para pemegang saham menggugat direksi Lehman, termasuk Fuld. Alasan gugatan, direksi Lehman berbohong soal kinerja keuangan yang membuat sahamnya naik, tetapi ternyata kinerja itu tipuan semata. (REUTERS/AP/AFP/joe)