Selasa, 25 November 2008

Tembakau Tidak Menyejahterakan

Nasib Petani Tetap Terpuruk
Selasa, 25 November 2008 | 01:19 WIB

Jakarta, Kompas - Upaya pengendalian dampak tembakau terhadap kesehatan, kemiskinan, dan meningkatnya perokok remaja sering ditentang dengan alasan menghilangkan lapangan kerja dan merugikan petani tembakau. Padahal, kenyataannya, hasil penanaman tembakau tidak menyejahterakan petani.

”Meningkatnya produksi rokok dan keuntungan industri tidak memberi tingkat kesejahteraan setara bagi para petani tembakau,” kata Imam B Prasodjo, Direktur Nurani Dunia yang juga aktivis antitembakau, dalam seminar yang diprakarsai Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia dan Badan Khusus Pengendalian Tembakau, Senin (24/11), di Jakarta.

Abdillah Ahsan, peneliti dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LD FEUI) memaparkan, tingkat konsumsi rokok sepanjang 1971- 2004 meningkat 5,7 kali lipat, yakni dari 35 miliar batang (1971) menjadi 202 miliar batang (2004).

Produksi daun tembakau hanya meningkat 2,8 kali lipat dari 57.000 ton (1971) menjadi 165.000 ton (2004). ”Jadi, pemenuhan kebutuhan suplai daun tembakau diperoleh dari impor dengan nilai lebih besar dari nilai ekspor daun tembakau,” ujar Abdillah Ahsan.

Berpendidikan rendah

Hasil penelitian oleh LD FEUI tentang kondisi petani tembakau di tiga wilayah penghasil utama tembakau yaitu Kendal, Bojonegoro, dan Lombok Timur, dengan 451 responden pada tahun 2008, memperlihatkan, 69 persen buruh tani tembakau berpendidikan rendah (SD) atau tidak bersekolah. Sebanyak 58 persen di antaranya masih tinggal di rumah berlantai tanah.

Kondisi petani pengelola tidak jauh berbeda, 64 persen berpendidikan rendah (SD) atau tidak sekolah dan 42 persen menempati rumah berlantai tanah. ”Pendapatan petani pengelola rata-rata Rp 1 juta per bulan. Selama 4 bulan masa tanam tidak seimbang dengan risiko usaha, yaitu kegagalan panen karena iklim, serangan hama, turunnya harga, dan kewajiban membayar utang,” kata Abdillah.

Dibandingkan dengan hasil tanaman lain, upah petani tembakau terendah setelah coklat. Pada penelitian ini, rata-rata upah harian responden buruh tani Rp 15.899 per hari atau Rp 413.374 per bulan atau hanya 47 persen rata- rata upah nasional yang berjumlah Rp 883.693 per bulan.

Anggota DPR, Atte Sugandi, menyatakan, Rancangan Undang-Undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan akan segera dibahas DPR. ”Setelah beberapa tahun RUU Pengendalian Dampak Tembakau selalu gagal masuk daftar, kini draf RUU itu sudah disetujui masuk agenda pembahasan. Ada 264 anggota DPR yang telah menyatakan dukungannya,” ujarnya. (EVY)

Studi Perilaku Investor dan Pergerakan Harga Saham


Selasa, 25 November 2008 | 01:56 WIB

Reinhard Nainggolan

"Human behaviour is the key determinants of the market" -Woody Dorsey

Krisis finansial Amerika Serikat seakan belum puas menebar dampak negatif ke pasar modal Indonesia. Harga saham masih tergerus sekalipun fundamental perekonomian dan mayoritas perusahaan publik cukup baik.

Semuanya berawal dari aksi melepas saham oleh investor asing yang membutuhkan likuiditas. Kondisi ini diperparah sikap investor domestik yang tidak mau ketinggalan, bagaikan kerumunan lebah terbang mengikuti sang ratu ke mana saja.

Kinerja cemerlang keuangan emiten tidak lagi dipertimbangkan. Misalnya, pendapatan dan laba bersih PT Astra International, PT Bank Mandiri, dan PT Indofood Sukses Makmur pada triwulan III-2008 melonjak di atas 20 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Hal serupa dialami banyak emiten lainnya. Beberapa di antaranya bahkan mampu meningkatkan laba bersih 50-150 persen. Namun, dalam waktu bersamaan harga saham masing- masing perseroan terus merosot dan hingga 21 November lalu telah anjlok 40-60 persen dari posisi awal tahun 2008.

Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2008 ini diperkirakan masih di atas 5 persen, jauh melebihi pertumbuhan ekonomi global yang diperkirakan Dana Moneter Internasional hanya pada kisaran 2-3 persen. Lagi-lagi, faktor fundamental ini ditanggapi dingin.

Puluhan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang sudah kemurahan (undervalued), bahkan diperdagangkan dengan harga recehan (penny stock), tidak juga menarik minat investor. Aksi jual membabi buta beberapa kali membuat indeks harga saham gabungan (IHSG), indeks harga saham Kompas100, LQ45, dan lainnya terkoreksi tajam, bahkan melebihi pelemahan indeks Dow Jones di AS dalam sehari. Akibatnya, IHSG yang tahun 2006 melonjak 55 persen dan tahun 2007 naik 52 persen pada tahun ini sungguh menyedihkan.

Keruntuhan harga saham juga membawa dampak negatif terhadap nilai tukar rupiah yang belakangan ini diperdagangkan pada kisaran Rp 11.000-Rp 12.000 per dollar AS. Semua ini menggelitik kita untuk bertanya, siapa sebenarnya yang dilanda krisis?

Perilaku kawanan

Ditinjau dari logika ekonomi, fakta-fakta di atas menjadi irasional karena harga saham tidak lagi mencerminkan nilai intrinsik atau faktor fundamentalnya. Bagaimana penjelasannya?

Woody Dorsey, dalam bukunya, Behavioral Trading (2003), menyatakan, ”Human behaviour is the key determinants of the market.” Ini menegaskan, kunci pergerakan harga saham bukanlah faktor fundamental dan teknikal, melainkan perilaku manusia (baca: investor).

Perilaku itu dibentuk oleh level confidence (keyakinan) dan expectation (harapan) investor. Di saat pasar sedang bergerak naik (bullish), keyakinan dan harapan investor cukup tinggi, melebihi hitung-hitungan fundamental. Sebaliknya, ketika pasar melemah (bearish), keyakinan dan harapan pasar teramat rendah sekalipun faktor fundamental cukup menjanjikan.

Studi pengaruh perilaku manusia dalam menggerakkan perekonomian sudah dilakukan ekonom sejak lama, setidaknya mulai era Adam Smith pada abad ke-18. Dalam bukunya, The Money Game, bapak ekonomi kapitalisme itu membagi perilaku alamiah manusia menjadi dua bagian, ketakutan (fear) dan keserakahan (greed).

Ketika perilaku keserakahan lebih dominan, perekonomian akan berjalan sangat cepat, yang kemudian bisa menggelembung dan pecah, seperti telah dialami dunia ini beberapa kali. Gerak cepat perekonomian ini didorong aksi-aksi spekulasi yang bermunculan ketika perilaku serakah menguat.

Sebaliknya, pada saat perilaku ketakutan dominan, perekonomian melambat, bahkan stagnan. Pelaku ekonomi cenderung menunggu daripada menciptakan terobosan.

Dalam konteks pasar modal, kedua perilaku itu merupakan akselerator dari tren pergerakan indeks saham. Terjadinya krisis keuangan AS pada saat ini adalah contoh nyata perubahan perilaku investor, dari serakah menjadi cemas dan takut.

Perilaku investor juga pernah diteliti Paul Krugman, pemenang Nobel Ekonomi 2008. Dalam bukunya, The Great Unraveling (2004), Krugman menulis bahwa salah satu perilaku investor global adalah perilaku mengikuti isyarat kawanan (run with herd).

Perilaku kawanan atau sering disebut herding behaviour ini berkembang pesat ketika korelasi antarpasar finansial dunia menjadi sangat tinggi. Globalisasi finansial membuat perilaku investor di suatu bursa—biasanya bursa yang lebih besar—akan diikuti investor di bursa lainnya.

Yang juga marak terjadi di pasar modal adalah perilaku noise trading behaviour atau perilaku mengikuti rumor. Perilaku ini muncul akibat banyaknya rumor yang sengaja diembuskan untuk memicu kegaduhan dan kesimpangsiuran pada saat kondisi pasar tidak normal. Perilaku ini menunjukkan bagaimana investor akan berlomba membeli jika mendengar rumor positif, dan sebaliknya melakukan aksi jual masif jika rumornya negatif.

Bagaimana ke depan?

Investor emerging market adalah investor yang paling mudah dihinggapi semua perilaku di atas. Perilaku inilah yang sesungguhnya menjadi akselerator penyebaran krisis.

Krisis keuangan yang semula terjadi di AS menjalar menjadi krisis global. Krisis Wallstreet merambat sampai di BEI.

Tidak seorang pun yang dapat meramal tepat kapan perekonomian global pulih. Sepanjang investor di BEI masih terbelenggu keyakinan dan ekspektasi negatif, masa bearish akan bertambah panjang. Untuk itu, keyakinan dan harapan investor perlu dibangun secara proporsional sesuai dengan fakta dan kondisi sebenarnya.

Membangun keyakinan dan harapan investor, misalnya, adalah dengan mempercepat, memperbanyak, dan meningkatkan kualitas program edukasi tentang pasar modal. Edukasi ini perlu menekankan bahwa pasar modal adalah wadah investasi jangka panjang yang lebih mempertimbangkan faktor fundamental dibandingkan dengan lainnya.

Ketika dasar pertimbangan adalah fundamental, investor akan mengukur nilai dan pertumbuhan harga saham beserta segala risikonya secara lebih wajar. Keyakinan dan harapan investor pun akan diletakkan pada tingkat yang wajar, bukan berdasarkan ketakutan dan keserakahan yang mengakibatkan investor tidak berbuat apa-apa atau justru spekulatif.

Berbagai program edukasi memang tidak lantas membentuk horizon investasi semua investor menjadi jangka panjang. Bagaimanapun, investor jangka pendek yang cenderung lebih spekulatif tetap akan ada dan kadang kala mereka dibutuhkan untuk menjaga likuiditas pasar. Namun, porsi investor jangka panjang yang lebih besar haruslah terus diupayakan karena ketika sebuah perekonomian didominasi pelaku yang spekulatif, perekonomian itu akan menjadi tidak stabil serta mengarah pada krisis dan resesi. Setidaknya, itulah yang disampaikan Hyman Minsky, pelopor teori Instabilitas Finansial.

Selain edukasi, hal mendesak lainnya dilakukan adalah mewujudkan pasar modal yang teratur, wajar, dan efisien. Berbagai bentuk pelanggaran, seperti manipulasi pasar dan penyesatan informasi, harus dihentikan dengan menjatuhkan sanksi berat kepada pelakunya tanpa pandang bulu. Prinsip keterbukaan informasi harus tetap dijunjung tinggi, baik oleh emiten, perusahaan efek, maupun otoritas.

Terwujudnya pasar modal yang teratur, wajar, dan efisien akan menjadi oase bagi investor di tengah tingginya ketidakpastian dunia investasi belakangan ini. Dengan itu, kekhawatiran masyarakat bahwa investasi di pasar modal hanya akan menjadi permainan spekulan atau orang- orang serakah yang melakukan manipulasi tingkat tinggi akan hilang atau paling tidak berkurang.

Dengan kandungan edukasi yang cukup memadai serta arena permainan (bursa) yang teratur, wajar, dan efisien, pelaku pasar modal akan memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Mereka akan menjadi investor rasional, tidak lagi sekadar pengekor.

Ketika Krisis dan Bursa Global Berjatuhan


Selasa, 25 November 2008 | 01:53 WIB

Pemain saham menyaksikan nilai uangnya menyusut di depan mata. Harga saham yang tadinya sangat tinggi kemudian terus mengempis dalam waktu singkat. Kini, ada selembar saham yang harganya lebih murah ketimbang sebiji permen.

Optimisme yang semula mekar di setiap sudut lantai perdagangan saham kini sulit mencari ekspektasi positif di labirin bursa. Menaruh sedikit harapan harga saham tidak turun hari ini atau besok terasa amat sulit.

Ini bukan provokasi. Penjualan secara membabi buta (panic sellling) merupakan pemandangan sehari-hari. Seolah tidak ada lagi pilihan kata yang tepat untuk menggambarkan situasi pasar yang menggila. Bukan hanya investor. Tidak sedikit di antara manajemen emiten yang kelimpungan memadamkan gejolak yang membakar pasar saham, termasuk saham perusahaannya sendiri.

Seolah-olah hanya satu kata yang terdengar di pasar... jual... jual... jual...! Maka, semakin runtuhlah harga saham. Indeks harga saham terus tertekan. Jumlah saham yang mengalami penurunan harga lebih banyak ketimbang saham yang meningkat harganya. Kalaupun sempat naik sedikit dengan susah payah, dalam sekejap bisa hancur lagi dengan sebab yang tak jelas juntrungannya.

Indeks harga saham gabungan (IHSG), misalnya, terus tertekan mencapai titik terendah baru setiap hari. Tak terkecuali Indeks Kompas100 yang biasanya lebih tangguh dibandingkan dengan indeks-indeks saham lainnya. Ditimpali pula melemahnya kurs rupiah.

Bukan hanya pasar saham Jakarta yang terpuruk. Seluruh dunia juga mencatat keterpurukan. Bahkan, banyak indeks saham yang jatuh lebih dalam, lebih besar, ketimbang indeks dan harga saham di Bursa Efek Indonesia.

Adanya siklus bisnis. Setelah mencapai titik nadirnya, arah siklus itu akan bergerak naik. Apakah kondisi pasar saham Indonesia sudah mencapai titik nadir untuk bangkit kembali? Tidak ada yang tahu. Meratapi kondisi pasar pun tidak berguna. Risiko selalu melekat erat pada investasi. Seberapa besar potensial kerugian yang dipikul investor akibat kejatuhan pasar saham, sebesar itu pulalah risiko yang dikantongi.

Perkuat pasar domestik

Dengan resesi, bisnis lesu, dan laju pertumbuhan ekonomi menurun yang terjadi di Amerika Serikat, Eropa, serta Jepang, jelaslah apa yang bakal terjadi pada Indonesia. Ketiganya merupakan tujuan utama ekspor produk Indonesia. Permintaan akan produk dari Indonesia pun bisa merosot sehingga perusahaan produsen barang manufaktur dan produk primer (pertanian, pertambangan, perikanan, dan perkebunan) menjadi kesulitan memasarkan produknya. Pendapatan Indonesia dari ekspor ke sana menciut.

Persoalan menjadi semakin rumit karena perusahaan mesti menanggung beban tambahan dari melemahnya nilai tukar rupiah sehingga pengeluaran rupiah untuk membayar utang dan mengimpor bahan baku menjadi membengkak. Ditimpa lagi dengan beban suku bunga pinjaman bank. Apalagi, kini muncul desakan dan gerakan ”tidak mau tahu” dari buruh agar perusahaan menaikkan upah minimum. Semakin lengkaplah kerumitan persoalan dunia usaha, termasuk emiten.

Dalam kondisi demikian, ancaman pemutusan hubungan kerja antara buruh dan perusahaan semakin terbuka lebar. Pengangguran membengkak, berarti daya beli masyarakat secara keseluruhan semakin mengecil. Turunnya daya beli menekan permintaan akan produk barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan sehingga semakin melengkapi keterpurukan dunia usaha.

Memperkuat pasar dalam negeri dalam arti masih tingginya permintaan domestik sejatinya menjadi tumpuan bagi perusahaan untuk memperpanjang daya tahan hidupnya.

Akan tetapi, urusan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pasar dalam negeri yang tertekan oleh daya beli masyarakat, kemungkinan pasar domestik bakal diserbu pula barang dumping dari luar negeri, juga menganga lebar-lebar. Ini masuk akal karena perusahaan di luar negeri juga berupaya mencari pasar lain setelah pasar domestiknya pun tertekan.

Memperkuat pasar domestik tidak ada cara lain, kecuali menjaga daya beli masyarakat tetap tinggi. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah memperlancar penyerapan anggaran pemerintah pusat dan pemerintahan di daerah. Soalnya, kini ada sekitar Rp 90 triliun dana pemerintah daerah yang ditaruh di perbankan untuk menikmati bunga bank yang semakin meningkat pula.

Dengan cara itu, terutama jika anggaran menganggur itu dipakai untuk mendorong pembangunan infrastruktur yang menyerap lapangan kerja banyak, selain menjadi katup pengaman bagi tenaga kerja, juga bisa menjadi penyulut api pertumbuhan ekonomi terus menyala, menciptakan lapangan kerja, dan permintaan barang tetap ada. Perusahaan terus berproduksi, termasuk emiten di bursa efek tersebut. Sesederhana itukah jalan keluar dari kemelut ini. Tentu saja kompleks. Tetapi, langkah yang sederhana pun tanpa implementasi juga tak membuahkan hasil.

Perbankan yang masih memiliki dana besar yang ”menganggur” mesti pula memiliki komitmen untuk menyelamatkan perekonomian bangsa ini. Kucurkanlah dana-dana itu kepada pengusaha mikro, pengusaha-pengusaha skala kecil yang tangguh dan tanpa niat mengemplang itu, agar menciptakan bisnis, lapangan kerja, dan pendapatan bagi masyarakat. Mudahkanlah urusannya untuk mengakses pendanaan usaha, dengan mengurangi birokrasi dan persyaratan yang sulit dipenuhi mereka.

Para regulator, termasuk pengawas pasar modal dan pasar uang, mesti meningkatkan ketajaman pengawasannya terhadap perilaku para ”pemain” yang diawasinya. Meningkatkan integritas pasar, menegakkan aturan, dan membuat aturan pencegahan perilaku buruk tidak bisa ditawar untuk memelihara kepercayaan investor di pasar. Tanpa upaya bersama dan serentak secara signifikan untuk mengatasi persoalan, jelas arah perekonomian, termasuk bursa saham sebagai jendelanya, bakal suram pula.

Kumpulkan potensi

Apa yang paling menarik dilakukan kini oleh pengusaha? Eksekutif properti AH Marhendra menyatakan, konsolidasi ialah hal paling mutlak dilakukan. Kumpulkan kembali semua potensi yang terserak agar menjadi energi amat kuat untuk berdiri tegak di tengah badai krisis. Formula lain, merampingkan manajemen, memotong anggaran yang tidak perlu. Akan tetapi, di sisi lain, membelanjakan anggaran besar agar sangat aktif di semua lini pasar.

Marhendra percaya masih banyak ceruk pasar yang belum digali, masih besar potensi pasar yang tersembunyi di sekeliling masyarakat, termasuk di pelbagai provinsi. ”Setiap hari ada pernikahan dan kelahiran anak. Tidak mungkin mereka tidak membutuhkan rumah. Kan tidak elok selalu tidur di rumah mertua indah,” ujar Marhendra, COO SpringHill. Di sisi lain, tim kreatif perusahaan properti harus bekerja keras mendesain rumah yang cakep, kokoh, tetapi sekaligus terjangkau. Inilah tantangan perusahaan-perusahaan properti, juga perusahaan di bidang usaha lain,

Pengembang senior Ciputra menyatakan, ia meminta semua anggota stafnya bekerja dan berproduksi secara sangat efisien. Pembangunan properti diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan konsumen, bukan untuk gagah-gagahan. Ciputra juga selalu percaya, dalam masa krisis seperti sekarang selalu ada celah untuk dimasuki para pemain properti. Dalam semua krisis selalu ada peluang, selalu ada ruang untuk berimprovisasi dan berkreasi. Pengembang senior ini pun akan meneruskan proyeknya hingga rampung. Kalau tuntas dua tahun lagi, krisis diharapkan sudah lewat dan daya beli masyarakat sudah pulih kembali. Pada saat itulah semua produknya diserbu konsumen.

Kiat yang sama dilakukan pengembang lain, Puri Botanical Garden, Jakarta. CEO perusahaan ini, Sanusi Tanawi, menyatakan, perusahaannya beruntung sebab tidak terlampau terpengaruh oleh badai krisis ekonomi dunia yang sangat dahsyat.

Secara umum dapat ditarik sebuah benang merah masalah, tidak ada yang membantah bahwa badai krisis ekonomi dunia ikut menerpa Indonesia. Akan tetapi, perusahaan-perusahaan yang memiliki reputasi besar tidak putus harapan. Mereka justru menggelar jurus-jurus kreativitas dan inovasi. Mereka mengerahkan segenap energi untuk berkompetisi di ruang amat sempit dengan para pebisnis lainnya. Menariknya, tidak ada yang gentar, semua yakin memiliki strategi terbaik memenangi ceruk pasar yang sempit. Menarik menanti siapa yang menyiapkan formula paling jitu. Siapa yang mampu meraup laba terbesar pada saat krisis. Yang mampu melakukannya niscaya merupakan perusahaan yang sangat berkelas.(Andi Suruji/Abun Sanda)

Mereka Bicara Prospek Pasar Modal 2009


Selasa, 25 November 2008 | 15:57 WIB

Apa dan bagaimana prospek investasi di pasar modal Indonesia tahun 2009 di tengah krisis global yang masih berlangsung dan memengaruhi juga Indonesia? Berikut komentar empat pengamat dan praktisi pasar modal.

Habis Gelap Terbitlah Terang

Felix Sindhunata

Felix Sindhunata yakin setiap kejatuhan bursa selalu dipicu kepanikan dan irasional pasar. Namun, seiring berjalannya waktu, kepanikan itu akan memudar dan pelaku pasar akan mulai beralih ke faktor fundamental sebagai dasar untuk menilai prospek suatu saham. Ia percaya, pepatah ”habis gelap terbitlah terang” berlaku di pasar modal mana pun di seluruh dunia. Hanya saja, tidak satu analis pun mampu memprediksi titik balik pasar secara akurat.

Felix, yang saat ini bekerja di Deloitte Konsultan Indonesia, melihat industri pertambangan batu bara berprospek paling baik dalam beberapa tahun ke depan. Terlepas dari potensi mundurnya target waktu penyelesaian pembangkit listrik dalam crash program 10.000 megawatt, permintaan batu bara diperkirakan tetap tinggi dalam beberapa tahun mendatang. Di sisi lain, pemerintah juga dilihat akan merealisasikan crash program ini sebagai prasyarat dasar untuk konsistensi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Pembangkit listrik tenaga uap yang selesai dibangun akan konsisten membutuhkan batu bara selama beroperasi.

Menurut Data Monitor, lanjut Felix, volume pasar batu bara Asia tahun 2012 akan mencapai 5,7 miliar ton, tumbuh 62,4 persen dari tahun 2007. Pertumbuhan permintaan batu bara oleh PLTU tumbuh dari 15,2 juta ton pada tahun 2003 menjadi 31,4 juta ton tahun 2007. Dalam dua hingga tiga tahun ke depan diperkirakan 50 juta ton batu bara dibutuhkan untuk PLTU yang dioperasikan PLN. Pembangkit listrik swasta diperkirakan membutuhkan 46 juta ton batu bara. Kebutuhan listrik Jawa-Bali dari tahun 2008 hingga 2015 diperkirakan tumbuh rata-rata 9,6 persen per tahun, sedangkan di luar Jawa Bali tumbuh 17,3 persen per tahun. ”Berdasarkan data ini kita dapat melihat seberapa besar prospek industri pertambangan batu bara di Tanah Air,” kata Felix.

Dalam kondisi seperti saat ini, Felix mengatakan, penting bagi investor untuk memiliki fleksibilitas dalam jangka waktu investasi, rasionalitas investasi yang baik dengan selalu melihat sektor industri yang prospeknya baik, serta kejelian memilih saham berfundamental baik. Hal penting yang juga harus diingat, semua investasi pasti mengandung risiko sehingga jangan menggunakan dana-dana untuk kebutuhan jangka pendek, seperti dana pernikahan dan sekolah anak-anak untuk berinvestasi. (Pandangan ini merupakan pendapat pribadi)

Sebuah Potensi Raksasa

Poltak Hotradero

Tidak ada segmen ekonomi Indonesia yang memiliki terpaan global paling luas selain pasar modal,” kata Poltak Hotradero, Kepala Riset Recapital Securities. membuka pandangannya. Dia melihat, ekonomi riil yang terpuruk dibumbui rentetan ledakan bom dari tahun 2002-2005 tetap tak mampu mencegah harga saham menguat. Namun, saat ekonomi global terpuruk, sementara ekonomi Indonesia mencapai tingkat pertumbuhan terbaik sejak krisis, indeks harga saham gabungan (IHSG) justru terpuruk.

Prognosis inilah dijadikan Poltak sebagai landasan meninjau prospek pasar modal tahun 2009. Menurut dia, perlambatan ekonomi global akan menyeret turun volume arus modal dunia. Turut pula terpengaruh kebutuhan bahan mentah, baik hasil tambang maupun perkebunan, yang dalam lima tahun terakhir ini menjadi andalan bursa saham. Pada tahun 2009, pasar modal akan mengalami proses ”normalisasi” pertumbuhan dan valuasi.

Beberapa sektor yang sedemikian lekat dan menjadi refleksi ekonomi Indonesia di mata investor global, di antaranya sektor infrastruktur, perbankan, dan produk konsumer. Infrastruktur akan dirangsang tumbuh lewat peningkatan belanja pemerintah pascaturunnya harga minyak bumi dan menciutnya pos subsidi.

Di sub-sektor telekomunikasi akan terjadi konsolidasi bisnis. Pemain lemah akan dipaksa merger atau diakuisisi demi efisiensi kinerja modal. Jumlah pemain akan berkurang, tetapi kue masih akan terus membesar di sub-sektor ini.

Di sektor perbankan, pertumbuhan kredit akan menurun tajam memengaruhi pertumbuhan laba. Namun, exposure terbatas perbankan atas produk keuangan beracun dari luar, dibarengi tingginya potensi pertumbuhan organik (volume kredit di Indonesia baru 25 persen PDB) dan posisi permodalan bank yang lebih baik, akan membuat sektor ini tetap menarik bagi investor global.

Sektor produk konsumer akan menjadi strategi ”hedging” terakhir bila kedua sektor tadi terganggu. Dalam kasus perlambatan akut, investor global tentu tidak melupakan bahwa dua pertiga ekonomi Indonesia adalah konsumsi dan konsumsi primer tetap jadi prioritas bagi 230 juta lebih penduduk Indonesia. ”Sebuah potensi raksasa,” kata Poltak.

Defensif

Robert Nayoan

Analis ini memperkirakan arah pergerakan indeks saham di Bursa Efek Indonesia tahun 2009 akan berada pada fase konsolidasi. Strategi investasi paling baik adalah investasi pada sektor yang cenderung defensif, memiliki fundamental baik, termasuk dalam kategori income stock yang konsisten membagikan dividen, serta sektor-sektor yang memiliki beta sama dengan atau lebih kecil dari satu. Sektor-sektor yang dinilai memenuhi persyaratan itu, antara lain, sektor telekomunikasi, infrastruktur, dan barang konsumsi.

Menurut pengamat pasar modal ini, tiga faktor yang memengaruhi pergerakan indeks harga saham di BEI akan berada dalam tahap konsolidasi, yaitu pergerakan indeks saham di bursa Amerika Serikat dan regional, tingkat suku bunga Bank Indonesia, serta harga komoditas. Pada tahun 2009, sikap pesimistis investor global terhadap krisis keuangan di AS masih akan mendominasi pergerakan indeks di seluruh dunia. Namun, karena level penurunannya sudah sangat dalam, diperkirakan indeks global dan regional akan berada pada fase konsolidasi atau cenderung bergerak sideways (datar). Tingginya ketergantungan pasar modal Indonesia terhadap bursa global dan regional mengakibatkan fase konsolidasi juga akan mewarnai pergerakan saham dalam negeri.

Mengenai tingkat suku bunga, Robert Nayoan, Fund Manager PT Brahma Capital, memperkirakan BI akan memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga acuan. Ruang itu terbuka karena tingkat inflasi dalam negeri tahun 2009 akan terkendali menyusul turunnya harga berbagai komoditas. Selain inflasi yang terkendali, tren penurunan suku bunga BI juga didukung tren penurunan suku bunga acuan global. Tren ini selanjutnya akan menggerakkan sektor riil serta menjadi sentimen positif bagi pergerakan IHSG.

Terkait dengan komoditas, Robert melihat profitabilitas emiten sektor komoditas tahun depan akan menurun seiring penurunan harga komoditas belakangan ini. Di sisi lain, penurunan harga komoditas masih dapat terimbangi dengan tingginya permintaan akan produk-produk komoditas. Laba emiten sektor komoditas (pertambangan dan perkebunan) diperkirakan masih tumbuh, tetapi tak sedahsyat pertumbuhan laba tahun-tahun sebelum krisis atau sebelum terjadi penurunan harga komoditas. (Pandangan ini merupakan pendapat pribadi)

Infrastruktur sebagai Kekuatan

Pardomuan Sihombing

Secara spesifik, analis ini tidak merekomendasikan saham sektor apa yang paling menarik tahun 2009. Dia lebih banyak menyoroti langkah-langkah antisipasi yang harus dilakukan pemerintah untuk mengurangi dampak krisis di Amerika Serikat terhadap perekonomian Indonesia.

Krisis yang terjadi di AS, katanya, akan berdampak pada perlambatan ekonomi dunia. Selanjutnya akan menekan ekspor Indonesia yang dapat berdampak pada penurunan kinerja ekonomi dalam negeri secara keseluruhan. Untuk itu, pemerintah harus mengantisipasinya dengan membuat kebijakan-kebijakan yang menstimulus pertumbuhan ekonomi.

Salah satunya adalah investasi pada infrastruktur. Berkaca dari pengalaman negara berkembang yang menjadi maju karena pembangunan berbagai proyek infrastruktur, seperti pembangunan jalan, listrik, telekomunikasi, dan lainnya. Pembangunan infrastruktur ini, kata Kepala Riset Paramitra Alfa SekuritasPardomuan Sihombing, akan berdampak sangat luas, seperti masuknya investasi asing, mengurangi beban masyarakat dan perusahaan, menyerap tenaga kerja, dan memberikan multiplier efek bagi berbagai macam industri, seperti semen, baja, dan otomotif. Yang lebih penting dari itu adalah menjaga daya beli masyarakat.

Mengapa? Ketika masyarakat tidak punya daya beli, perusahaan tidak hidup dan ekonomi tidak berjalan. Untuk menjaga daya beli masyarakat itulah pemerintah harus segera merealisasi proyek-proyek infrastruktur yang sudah lama ditunda. Ini juga perlu karena, di sisi lain, kita tidak bisa berharap banyak terhadap pasar global.

”Saham-saham yang berkaitan dengan sektor infrastruktur tentu menarik bila pemerintah juga melihat bahwa suplemen yang kita butuhkan untuk bertahan dan bangkit dari situasi saat ini adalah pembangunan infrastruktur,” kata Pardomuan. (Reinhard Nainggolan)

Rabu, 19 November 2008

Tantangan Perbankan Syariah


Rabu, 19 November 2008 | 00:58 WIB

Oleh M Dawam Rahardjo

Dari segi ontologi, tujuan pendirian bank-bank Islam di Indonesia maupun di seluruh dunia adalah mengikuti perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, khususnya memungut riba dalam pinjam-meminjam.

Ini berbeda dengan tujuan pendirian bank-bank konvensional, yaitu menyediakan pinjaman dengan menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan ke masyarakat yang membutuhkan. Dengan kata lain, bank konvensional adalah lembaga perantara keuangan. Tujuan lebih lanjut adalah mendorong pertumbuhan ekonomi dan bisnis dengan memanfaatkan simpanan masyarakat yang memiliki dana surplus setelah dikurangi konsumsi.

Maka, dari segi aksiologi, bank syariah, yang semula disebut bank Islam, didirikan untuk menerapkan hukum Islam, sedangkan bank konvensional untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Secara epistemologi, pengelolaan bank konvensional berpedoman pada manajemen perbankan. Akan tetapi, dalam bank syariah, manajemen perbankan harus mengikuti hukum-hukum syariah. Itu sebabnya bank syariah memiliki lembaga pengawasan, disebut Dewan Syariah, dibentuk oleh otoritas keagamaan, Majelis Ulama Indonesia atau di Malaysia, Dewan Ugama.

Mengingat motifnya bukan bisnis, pernah ada yang mengatakan, bank syariah akan sulit berkembang, tetapi kenyataan menunjukkan sebaliknya. Perbankan syariah berkembang meski awalnya dijumpai kesulitan menghimpun dana untuk modal awal sebesar Rp 10 miliar (1990-an). Berkat intervensi negara melalui Presiden Soeharto, dapat dihimpun dana Rp 110 miliar. Langsung dapat dibentuk bank syariah pertama bernama Bank Mu’amalat Indonesia (BMI) dengan CAR amat mencukupi.

Namun, kecukupan modal saja tidak mencukupi. Dana selanjutnya diharapkan dari penyimpan pihak ketiga untuk memperbesar modal dan aset. Semula juga diragukan, masyarakat bersedia menabung. Masalahnya, penabung tidak dijanjikan suku bunga pasti, tetapi bergantung pada laba dan bagi hasil. Jika laba bank kecil atau merugi, perolehan bagi hasil nasabah ikut kecil pula.

Maka, agar masyarakat—yang umumnya bermotif ekonomi—mau menyimpan uangnya di bank, perlu dibuktikan bahwa bagi hasil bank syariah lebih tinggi dari bunga bank konvensional. Bank syariah berharap mendapat nasabah emosional dari umat Islam yang takut menjalankan riba. Penyimpan seperti itu ada, bahkan cukup fanatik. Buktinya, saat suku bunga bank mencapai 70 persen pada masa krisis, nasabah emosional itu tetap bertahan dengan tingkat bagi hasil yang jelas lebih rendah. Rush yang diramalkan pun tidak terjadi. Bahkan, bank-bank syariah tetap bertahan, sementara banyak bank konvensional bangkrut karena penarikan dana dan negative spread. Hal ini menjadi bukti keunggulan syariah yang tidak bergantung pada naik-turunnya suku bunga, dibanding bank konvensional.

Tanpa melibatkan dogma

Bank syariah menunjukkan bukti sukses penerapan syariah di bidang bisnis. Kunci sukses ini ada dalam metode atau cara penerapan.

Pertama, kajian ilmiah tentang riba dan alternatif riba dengan menggunakan teori-teori ekonomi, terutama moneter modern. Hasil kajian itu diterbitkan dalam jurnal-jurnal profesional untuk diketahui dunia akademis. Penerbitan itu menimbulkan aneka perbincangan tanpa melibatkan iman, dogma, dan doktrin keagamaan. Dan, kajian itu bisa diterima dunia akademis untuk dikuliahkan dan dipelajari mahasiswa di universitas terkemuka, seperti Harvard dan Oxford.

Kedua, hasil kajian ilmiah tentang perbankan syariah lalu dikemas menjadi produk-produk perbankan dan ditawarkan ke masyarakat dan dunia bisnis. Sebagian masyarakat menerima produk itu berdasar keyakinan agama, tetapi dunia bisnis ada yang menerima dan menolak produk itu berdasar pertimbangan rasional-ekonomis, yakni untung rugi. Inilah yang mendasari sebagian pemilik dana untuk menginvestasikan dan menyimpan uangnya ke bank syariah.

Ketiga, seperti kebijakan moneter dan perbankan memerlukan legislasi dan regulasi untuk menjamin kepastian hukum, syariat di bidang perbankan ini juga dilegislasikan, biasanya setelah didiskusikan secara publik melalui seminar-seminar. Pelegislasian syariat itu dilakukan melalui cara demokratis.

Meskipun UU dan peraturan perbankan syariat telah menjadi hukum positif, tetapi realisasinya tetap bersifat sukarela karena, menurut Sjafruddin Prawiranegara SH, mantan Gubernur BI, hukum syariat adalah sebuah voluntary law. Dengan perlindungan hukum, bank syariah berkembang di pasar, bersaing dengan bank-bank konvensional. Konsumen dipersilakan memilih. Hal ini berbeda, misalnya, dengan di Iran, di mana perbankan syariah diberlakukan dengan menutup bank-bank konvensional.

Tiga faktor

Ada beberapa faktor mengapa perbankan syariah berkembang. Pertama, produk bank syariah memiliki keunggulan, misalnya penyimpan maupun peminjam terhindar dari risiko fluktuasi suku bunga sehingga memudahkan perencanaan usaha.

Kedua, produk bank syariah cukup variatif yang tidak bisa dilaksanakan di bank konvensional misalnya sistem gadai atau raihan, mudharabah muqayyadah di mana pemilik dana bisa menunjuk peminjam dan di bidang apa bisa dan tidak bisa diinvestasikan, juga ijarah muntahya bi al tamlik atau sewa dengan hak untuk memiliki barang di akhir sewa atau hak untuk membeli barang yang telah disewa.

Namun, bank syariah juga memiliki hambatan. Pertama, tidak mudah bagi bank syariah untuk mengeluarkan produk baru karena pertimbangan subhat atau meragukan hukumnya yang merupakan grey area dalam penilaian Dewan Syariah.

Kedua, jika dana berlebih, hukum syariat melarang bank menyimpannya di SBI. Namun, bisa disimpan di giro wadiah BI yang bagi hasilnya lebih kecil daripada suku bunga SBI.

Ketiga, bank syariah terkena pajak untuk transaksi murabahah karena dianggap sebagai produk perdagangan dan bukan hanya produk bank.

Agar bisa berkembang, bank syariah harus membuktikan keunggulanya berdasarkan manfaat, baik bagi masyarakat umum maupun dunia bisnis. Kini investor non-Muslim banyak yang tertarik untuk berinvestasi di bank syariah. Demikian pula nasabah rasional sudah melebihi 50 persen dari seluruh nasabah, jadi sudah diterima pasar.

Di AS, para ahli keuangan sudah melirik. Bahkan, mulai mempelajari apakah konsep syariah bisa menjadi alternatif sistem keuangan global yang kini sedang dilanda turbulensi? Di Indonesia, gerakan perkreditan mikro juga bertanya, apakah pendekatan syariah bisa mendukung sistem perkreditan mikro yang mampu memberdayakan ekonomi rakyat yang sehat, mandiri dan berkelanjutan (sustainable)?

M Dawam Rahardjo Pemerhati Perbankan Syariah; Ketua Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Jakarta

Minggu, 16 November 2008

Bantuan ke Bakrie Dinilai Tak Etis


Jangan menganakemaskan kelompok tertentu.

JAKARTA -- Sejumlah kalangan menilai pemerintah melanggar etika karena membantu Grup Bakrie dengan menunda pencabutan penghentian sementara perdagangan (suspensi) saham PT Bumi Resources Tbk. 

Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat, Emir Moeis, mengatakan, meski tidak ada hukum yang dilanggar, "Suspensi itu melanggar etika bisnis internasional." 

Muruarar Sirait, anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR lainnya, meminta pemerintah tidak pandang bulu, baik dari segi penegakan hukum maupun ekonomi. Apalagi saat ini pemerintah banyak disorot masyarakat. "Terapkanlah reward dan punishment secara adil," katanya. 

Bantuan pemerintah kepada Grup Bakrie itu disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Jumat lalu. Kalla berdalih, langkah itu diambil sebagai upaya pemerintah melindungi pengusaha nasional. 

Kalla membandingkan bantuan tersebut dengan langkah pemerintah menyelamatkan sejumlah perusahaan milik konglomerat, seperti Bank Central Asia, Bank Internasional Indonesia, dan Astra International, pada 1998. 

Kalla mengatakan bantuan kepada Grup Bakrie hanya berupa pengawasan terhadap pergerakan harga saham di Bursa Efek Indonesia. "Masak Bakrie hanya sedikit dibantu satu-dua hari tidak boleh," katanya (Koran Tempo, 14 November). 

Emir mengatakan bantuan pemerintah itu akan menimbulkan anggapan ada ketidakadilan dari pelaku bisnis yang lain. "Pihak lain beranggapan itu tidak adil," katanya. Keberadaan Aburizal Bakrie sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat mudah menimbulkan isu konflik kepentingan. Emir mendesak pemerintah tidak menjadikan kelompok tertentu sebagai anak emas. 

Iman Sugema, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance, mengatakan, meski tidak ada hukum yang dilanggar, pemerintah tidak bisa bertindak sewenang-wenang. 

Argumen Kalla yang menyatakan bahwa pemerintah membantu pengusaha nasional juga dinilai sangat subyektif. "Apa yang menjadi acuan?" Sugema bertanya. 

Seorang pejabat publik, kata dia, seharusnya menggunakan asas kepatutan ketika memberikan preferensi tertentu. Karena itu, dia mendesak menteri dan petinggi partai bersikap profesional. 

Menurut pengamat pasar modal Edwin Sinaga, tidak etis jika pemerintah mencampuri pasar modal. 

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi menyatakan bisa memahami langkah pemerintah. "Bumi perusahaan besar, sehingga kejatuhan harga sahamnya bisa mengguncang capital market," katanya. 

Sofjan tidak melihat ada konflik kepentingan antara pemerintah dan Grup Bakrie. Namun, Sofjan meminta pemerintah tetap berlaku adil. Jika ada perusahaan besar lain dengan alasan yang tepat meminta perdagangan sahamnya disuspensi, kata Sofjan, pemerintah juga harus mengabulkannya. ARIF FIRMANSYAH | ARI ASTRI YUNITA | GUNANTO ES | BUNGA MANGGIASIH

Berani Bermimpi


Oleh: Zaim Uchrowi

"Yakinlah, tahun 2045 nusantara jaya memimpin peradaban, bukan hanya di Asia tapi dunia."

Kata-kata itu diucapkan oleh seorang yang para kawan memanggilnya 'Bunda'. Ia Marwah Daud Ibrahim. Ketua ICMI yang lahir dan besar di Soppeng, sebuah pelosok Sulawesi Selatan, ini lama berkecimpung di kancah politik. Tapi ia membawa politik berbeda dari lazimnya politisi. Ia seperti menjauhi 'permainan kekuasaan' (game power). Ia lebih tertarik pada pemberdayaan masyarakat. Hal yang diartikannya dengan langsung turun ke desa tanpa ikatan protokoler apa pun.

Mula-mula ia membuat sebuah pelatihan. 'Merancang Hidup, Merancang Masa Depan'. Sebuah pelatihan yang membantu para anak bangsa untuk mampu menghadapi masa depan secara baik. Saya, alhamdulillah, ikut terlibat dalam pengembangan pelatihan awalnya sebagaimana juga membantu sosialisasi pertama ESQ serta pelatihan awal Kubik Leadership. Membawa pelatihan yang disebutnya MHMMD itu, Marwah turun ke pelosok-pelosok desa. Hal yang dimanfaatkannya buat mendengar dan menyemangati masyarakat. Juga buat menggali apa potensi desa, dan mencarikan jejaring yang mungkin mampu membantu menumbuhkan potensi tersebut.

Ketulusan dan kesungguhan memang kekuatan. Beberapa tahun berkeliling desa di berbagai wilayah nusantara membuat Marwah punya jejaring kuat di desa. Jejaring yang mendefinisikan diri sebagai Perhimpunan Masyarakat Desa Nusantara (PMDN), dan meyakini bahwa 'Bunda' adalah sosok pemimpin terbaik bangsa ini. Keyakinan yang mengantarkan pada dukungan menjadi Calon Presiden 2009. Dukungan yang dinyatakan lewat peluncuran visi 'Nusantara Jaya 2045'.

Dukungan itu menggembirakan. Marwah dengan kerja kerasnya mulai didudukkan bersama para pemimpin kelas atas yang dipandang layak memimpin bangsa ini. Marwah mulai diposisikan untuk berkompetisi dengan para pemimpin mapan seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla, dan Megawati; dengan 'para penantang' seperti Prabowo Subianto, Sri Sultan Hamengkubuwo X, serta Wiranto; juga dengan para sahabat saya yang sungguh-sungguh memikirkan nasib bangsa dan punya kapasitas kepemimpinan yang baik seperti Amien Rais, Hidayat Nur Wahid, dan Soetrisno Bachir. Makin banyak orang baik dan berkemampuan memimpin yang berani tampil menjadi calon presiden akan lebih baik bagi bangsa ini. Masyarakat akan punya pilihan lebih banyak untuk menguji: Siapa yang benar-benar paling baik serta mampu memimpin Indonesia ke depan?

Terlepas dari kaitan politik yang mengiringinya, akan selalu ada pertanyaan yang tertuju pada lontaran Marwah. Bagaimana Indonesia bisa jaya di tahun 2045? Bukankah kondisi bangsa ini masih compang-camping? Ekonomi dunia yang tengah terpuruk juga bukan kondisi baik buat bangkit Indonesia. Apa yang harus diperbuat? "Ayo berani bermimpi!" Begitu Marwah menjawab keraguan itu. "Kelemahan kita sebagai bangsa adalah tidak berani bermimpi."

Marwah sudah menunjuk satu persoalan paling mendasar bangsa ini. Tak berani bermimpi. Padahal, 'mimpi' atau cita-cita adalah tujuan ke mana harus melangkah. Tanpa tujuan, langkah tak akan sampai ke mana-mana. Bila tak sampai ke mana-mana, yang muncul hanya akan saling menyalahkan. Itu yang sering terjadi di negeri ini. Maka, mari bermimpi. Mari bercita-cita. "Tibalah sebelum berangkat," begitu ungkapan Bugis yang dikutip Marwah. Punyailah tujuan sejelas-jelasnya sebelum melangkah. Bangsa ini harus merancang hidup, dan merancang masa depannya. Itu yang telah diserukan Marwah. Itu pula yang semestinya diserukan seluruh anak bangsa ini pada dirinya sendiri.

(-)

Indonesia; Next Giant?


Oleh Azyumardi Azra

Krisis keuangan dunia belakangan ini sedikit banyak menimbulkan dampak-dampak tertentu pada keuangan dan ekonomi Indonesia. Tetapi, juga segera jelas, dampak politiknya hampir tidak ada. Kondisi keuangan, ekonomi, dan politik Indonesia kini berbeda banyak dengan krisis keuangan dan ekonomi dunia pada 1997-1998 yang dengan segera pula menimbulkan krisis moneter, ekonomi, dan politik di Tanah Air, yang berujung dengan mundurnya presiden Soeharto pada Mei 1998 dari kekuasaannya lebih dari tiga dasawarsa. Seperti kita ketahui, sejak masa itu, Indonesia mengalami transformasi politik dan sekaligus ekonomi yang membuat negeri ini tampaknya menjadi lebih tahan dan lebih alot (resilient) terhadap berbagai guncangan baik internal maupun eksternal seperti gelombang krisis keuangan global sekarang ini.

Penilaian dan apresiasi positif terhadap situasi Indonesia terkini, misalnya, muncul kembali dalam laporan majalah Newsweek, 20 Oktober 2008 lalu. Dengan tajuk ''Indonesia as the New India: This Stable Democracy with a Hot Market Economy Resembles Another Asian Giant in the 1990s'', wartawan Newsweek, George Wehrfritz menggambarkan perkembangan ekonomi dan dinamika politik Indonesia dalam perspektif perbandingan dengan India. Jika India pernah mengalami pertumbuhan ekonomi secara diam-diam pada 1990-an yang menghasilkan kemajuan ekonomi India sekarang ini, Indonesia pada masa pasca-Soeharto menunjukkan tendensi ekonomi yang hampir sama.

Karena, kondisi ekonomi Indonesia yang menjanjikan itu, Wehrfritz membuat perbandingan lebih jauh antara Indonesia dan ''raksasa Asia'' lainnya, India. Bahkan, menurut diaseperti juga banyak pendapat kalangan lain Indonesia lebih baik daripada India, setidak-tidaknya dalam dua hal: pertama, income per kapita Indonesia 3,343 dolar AS sepertiga lebih tinggi daripada India; dan kedua, Indonesia kini merupakan salah satu negara yang memiliki rasio utang terendah di Asia [33 persen dari GDP].

Apakah Indonesia dapat menjadi ''raksasa Asia'' (Asian giant) selanjutnya? Hemat saya, ini tentu saja banyak tergantung tidak hanya pada kemampuan mencegah dampak luas krisis moneter dan ekonomi global sekarang terhadap Indonesia; dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada keberhasilan mempertahankan kestabilan politik dengan penguatan dan konsolidasi demokrasi selanjutnya, khususnya dalam masa-masa pemilu legislatif dan presiden 2009 nanti.

Dalam pengamatan Wehrfritzseperti yang juga kita amati dan alami sehari-hariJakarta dewasa ini sama dengan banyak kota-kota Asia abad ke-21 lainnya yang tengah booming; ada mal di mana-mana, kemacetan kendaraan yang mengular, dan gedung-gedung pencakar langit yang mendominasi lanskap cakrawala Jakarta. Sayang, dia tidak mengungkapkan gejala yang sama di banyak kota besar Indonesia lainnya seperti Surabaya, Medan, Makasar, dan seterusnya. Tapi, bagaimanapun, Wehrfritz secara implisit mengakui, Indonesia lebih daripada sekadar Jakarta. Karena GDP Jakarta (persisnya Jabotabek) hanya sekitar 15 persen daripada GDP Indonesia; persentase saham Jakarta ini relatif lebih kecil jika dibandingkan saham ibu kota-ibu kota lainnya terhadap wilayah-wilayah di luar kota di Asia.

Kemajuan ekonomi Indonesia jelas tidak terlepas dari kestabilan politik Indonesia, setelah penerapan demokrasi. Meski kita sendiri mengakui demokrasi belum sepenuhnya terkonsolidasi dan bahkan sering muncul ekses-ekses yang tidak diharapkan, jelas demokrasi telah memberikan peluang sangat besar bagi kehidupan politik dan sosial yang lebih partisipatoris. Walaupun sekali lagipartisipasi rakyat yang begitu aktif, juga menimbulkan ekses-ekses yang pada gilirannya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Wehrfreitz mengutip contoh rencana pembangunan jalan tol trans-Jawa yang menghubungkan Jakarta dengan Surabaya. Proyek jalan tol yang digiatkan kembali sejak 2005 dan selesai pada 2009 baru 10 persen saja kini yang terlaksana; hambatannya terutama adalah oposisi masyarakat lokal tertentu terhadap pembebasan tanah, atau melonjaknya harga tanah yang dituntut warga.

Tidak kurang pentingnya dalam hal ini adalah program otonomi daerah, yang meski juga memunculkan berbagai ekses, tetapi memberikan peluang lebih besar bagi daerah untuk bangkit. World Bank tidak luput mencatat ini; daerah-daerah di Indonesia mendapat bagian cukup besar dari anggaran pembangunan; anggaran untuk daerah mencapai 36 persen dari seluruh pengeluaran negara, berbanding hanya 14 persen di banyak negara berkembang lainnya.

Berbagai gejala yang menjanjikan ini, tentu saja tidak menutup fakta masih banyaknya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah, lembaga-lembaga publik, dan bahkan masyarakat umumnya. Ini mencakup hal-hal seperti masih merajalelanya korupsi, masih rendahnya respek dan kepatuhan warga negara kepada tatanan hukum, masih tingginya kemiskinan dan pengangguran di kalangan penduduk, dan seterusnya. Jelas, jika masalah-masalah ini bisa dikurangi dan diperbaiki, perjalanan Indonesia menjadi ''raksasa Asia'' kian menjadi lebih mungkin dan menjanjikan.

(-)

Perbankan Antara Optimisme dan Kewaspadaan


Oleh: Mirza Adityaswara

Banyak ekonom mengatakan bahwa krisis keuangan yang saat ini melanda ekonomi Amerika dan merembet ke seluruh dunia disebabkan oleh kebijakan suku bunga rendah (satu persen) yang terlalu lama di Amerika pada periode 2003-2004. Suku bunga yang terlalu rendah sering kali memanjakan para bankir sehingga mereka terlena, memberikan kredit kepada debitur atau proyek yang sebenarnya tidak layak. Artinya, debitur atau proyek tersebut sebenarnya tidak akan mampu membayar pinjaman bank jika suku bunga kredit dinaikkan.

Perbankan Indonesia di periode 2007 sampai dengan semester I/2008 mengalami kinerja yang menggembirakan. Pada semester I/2008, dengan suku bunga BI Rate yang hanya 8 persen dan suku bunga dana deposito di bawah BI Rate, jumlah kredit per Agustus 2008 menunjukkan pertumbuhan 33 persen dibandingkan Agustus 2007. Angka kredit bermasalah juga terus menunjukkan penurunan di semester I/2008. Di satu sisi, hal ini menunjukkan hal positif, yaitu peningkatan kegiatan investasi dan konsumsi masyarakat yang kemudian memacu pertumbuhan ekonomi nasional menjadi 6.3 persen pada semester I/2008.

Tetapi, di lain pihak pertumbuhan kredit setinggi itu telah menyumbang laju pertumbuhan impor yang menyalip pertumbuhan ekspor. Artinya, memang ada gejala overheating di perekonomian Indonesia pada semester I/2008. Kenaikan harga komoditas tambang dan pertanian plus kenaikan harga BBM memang faktor utama penyebab inflasi di tahun 2008. Tetapi, pertumbuhan permintaan aggregat yang melebihi pertumbuhan sisi penawaran ikut menyumbang terhadap tingginya inflasi pada tahun ini, yang diperkirakan mencapai 11,5-12,5 persen.

Demi menghilangkan gejala overheating perekonomian, Bank Indonesia mengetatkan kebijakan moneter pada 2008. Perbedaan pengetatan moneter di kuartal II/2008 dengan kuartal III/2008 adalah kenaikan BI Rate sejak awal kuartal III/2008 disertai dengan penyerapan ekses likuiditas di pasar uang antarbank. Sebelumnya, suku bunga overnite (pinjaman satu malam) di pasar uang antarbank selalu berada di bawah BI Rate sekitar 300 bp (atau tiga persen) sehingga banyak bank yang memanfaatkan dana overnite untuk dipakai membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Hal ini telah menambah beban biaya kepada Bank Indonesia karena harus membayar bunga SBI untuk sesuatu yang tidak perlu. Bahkan, mungkin sebelum ini ada bank yang memberikan kredit mingguan kepada korporasi dengan sumber dana pasar uang overnite. Tentu saja ini adalah praktik perbankan yang tidak berhati-hati.

Pertumbuhan kredit yang 33 persen tersebut tidak dibarengi dengan pertumbuhan dana pihak ketiga, yang hanya tumbuh 15 persen. Tampaknya beberapa bank berpendapat bahwa mereka pasti mampu menjaring dana dari pasar obligasi, pasar uang antarbank, atau dari penerbitan surat utang di luar negeri. Tetapi, ternyata pasar uang internasional dan pasar obligasi sejak awal 2008 tidak bersahabat, berhubung perbankan internasional sedang dilanda kerugian akibat macetnya portofolio subprime credit.

Dengan dinaikkannya suku bunga overnite menjadi sedikit lebih tinggi daripada BI Rate, beberapa bank harus menjaring dana dari pasar deposito dengan menaikkan bunga deposito. Semakin tinggi loans to deposit ratio (LDR) suatu bank maka semakin tinggi ketergantungan bank tersebut akan deposito berjangka. Berhubung giro wajib minimum (GWM) bank-bank menengah di Indonesia saat ini 8-9 persen (dari jumlah dana pihak ketiga) maka bagi bank-bank dengan rasio LDR yang sudah di atas 90 persen, mereka harus menjaring dana dengan memberikan bunga deposito yang menarik. Menurut saya, bank dengan LDR di atas 90 persen sudah merupakan rasio yang terlalu tinggi. Rasio LDR di atas 90 persen hanya bisa ditoleransi apabila bank tersebut memperoleh pendanaan jangka panjang dari pasar surat utang atau kredit jangka panjang.

Bank-bank asing juga termasuk dalam kategori yang harus menjaring dana mahal dari deposito karena mereka tidak punya banyak cabang di Indonesia. Hal itulah yang tiba-tiba menyebabkan suku bunga deposito beberapa bank menengah dan kecil naik drastis pada Agustus dan September menjadi 13-14 persen, jauh di atas BI Rate yang saat ini 9,25 persen.

Bagi bank-bank dengan portofolio kredit berbunga tinggi seperti portofolio kredit mikro, menaikkan biaya bunga deposito tidak berpengaruh banyak kepada tingkat keuntungan. Tetapi, bagi bank dengan portofolio kredit berbunga rendah seperti kredit kepemilikan rumah (KPR) atau kredit korporasi maka kenaikan biaya bunga deposito akan menurunkan margin bunga cukup signifikan.

Untunglah Bank Indonesia cukup tanggap. Guncangnya pasar keuangan dunia minggu lalu dan pengucuran likuiditas oleh bank sentral Amerika dan Eropa telah memberikan kepercayaan kepada Bank Indonesia untuk membuka keran likuiditas kepada perbankan Indonesia. Jika perang suku bunga dibiarkan, suku bunga deposito bank bank besar akan ikut naik sehingga bunga kredit di Indonesia akan melonjak dari sebelumnya di semester I/2008 hanya 11-12 persen, bisa menjadi 16-18 persen. Jika ini terjadi, pasti angka kredit bermasalah akan meningkat.

Dilema yang dihadapi oleh Bank Indonesia saat ini adalah tidak mungkin melonggarkan kebijakan moneter jika inflasi masih tinggi. Investor asing pemegang Surat Utang Negara tidak akan suka melihat BI menurunkan bunga jika inflasi masih tinggi. Selain itu, likuiditas yang berlebihan bisa lari dipakai spekulasi di pasar valuta asing. Maka itu, perbankan jangan terburu-buru bersenang hati bahwa minggu lalu BI mengucurkan likuiditas melalui fasilitas Repo. Fasilitas Repo hanyalah bantuan likuiditas ke pasar. Obat yang permanen, bank-bank dengan LDR tinggi harus menurunkan pertumbuhan kreditnya dan menjaring dana pihak ketiga yang permanen.

Marilah kita berharap bahwa penurunan harga komoditas tambang dan pertanian yang saat ini sedang terjadi akan bisa menurunkan inflasi di bulan Oktober-Desember sehingga BI tidak perlu menaikkan suku bunga BI Rate lebih tinggi lagi.

(-)

Dampak Krisis Terhadap Sektor Riil


Oleh: Iman Sugema

Ada persepsi yang kuat di kalangan pemerintahan bahwa krisis finansial global tidak akan terlalu berpengaruh terhadap perekonomian nasional. Alasannya adalah fundamental ekonomi kita kuat dan sektor perbankan tidaklah serentan 10 tahun yang lalu. Selain itu, episentrum krisis berada jauh dari kita.

Saya agak kurang paham mengenai landasan teoretis argumen tersebut. Pengalaman menunjukkan bahwa kita sering gagal untuk mendefinisikan fundamental ekonomi yang relevan untuk menangkis krisis. Krisis finansial global tak bisa ditangkis dengan pertumbuhan ekonomi, suku bunga, ataupun inflasi. Negara-negara yang memiliki kinerja ekonomi yang baik, seperti Korea dan Cina juga mengalami imbas yang lebih parah dibandingkan kita.

Selain itu, kerentanan juga bisa timbul oleh kenyataan bahwa sektor perbankan, asuransi, dan pasar modal didominasi oleh pelaku asing. Mereka sekarang sedang mengalami kesulitan di negaranya masing-masing dan tidak ada jaminan bahwa masalah mereka sebagian dialihkan ke Indonesia. Caranya, yaitu dengan menyedot likuiditas dari Indonesia untuk menutupi cash flow perusahaan induk.

Yang menjadi perhatian kita sekarang ini seharusnya tidak hanya sebatas kebijakan di sektor keuangan. Sektor riil juga harus kita amankan karena dampak negatifnya sudah mulai terasa. Antisipasi dampak di sektor riil menjadi sangat penting karena sebagian besar negara maju telah betul-betul merasakannya dengan cukup jelas.

Dampak terhadap sektor riil domestik dapat diidentifikasi melalui dua saluran. Saluran yang pertama adalah kenyataan bahwa sektor riil domestik terhubung secara langsung dengan sektor riil internasional. Kedua, sektor riil domestik juga terhubung dengan sektor finansial domestik dan internasional. Kita lihat satu per satu.

Sektor riil domestik dan internasional terhubung secara langsung melalui aktivitas ekspor dan impor. Karena sebagian besar negara maju mulai mengalami resesi, otomatis permintaan ekspor komoditas Indonesia akan berkurang. Negara-negara OECD memiliki pangsa sekitar 60 persen terhadap GDP dunia. Adalah sulit untuk membayangkan bahwa resesi yang mereka alami tidak akan mengganggu kita. Memang bisa dicari alternatif pasar. Tetapi, jelas tidak ada pasar yang mampu menggantikan peran mereka. Mereka terlalu besar untuk digantikan. Bahkan, semua negara tentunya akan melakukan hal yang sama, yaitu semaksimal mungkin mengalihkan ekspor ke negara mana pun yang mungkin. Karena itu, kita mungkin akan menghadapi persaingan yang lebih keras di pasar ekspor nontradisional. Bahkan, pasar domestik akan dibanjiri oleh produk-produk impor dari Cina dan Vietnam.

Masalahnya adalah kita telah memberlakukan pasar bebas dengan Cina sehingga tidak lagi bisa dengan mudah memberikan proteksi terhadap produk nasional. Inilah buah dari liberalisasi yang ugal-ugalan.

Dalam kenyataannya, perusahaan eksportir kita telah merasakan sebagian dampak negatif krisis sejak beberapa bulan yang lalu. Sebagian besar order ekspor telah mengalami pengurangan. Beberapa produsen tekstil belum menerima order untuk delivery tahun depan. Pembatalan order juga semakin sering terjadi.

Dampak negatif berikutnya bisa diidentifikasi melalui saluran finansial dan tampaknya justru akan membawa implikasi yang jauh lebih serius. Memang, mereka yang hanya percaya terhadap teori real business cycle tentunya tidak akan menganggap saluran ini begitu penting.

Mereka hanya percaya pada doktrin Modigliani, yakni finance is a veil yang berarti bahwa yang paling penting adalah sektor riil dan kejadian apa pun di sektor finansial tidak akan memiliki implikasi apa-apa terhadap sektor riil. Sebaliknya, aliran New-Keynesian justru percaya bahwa krisis di sektor riil bisa dipicu oleh situasi yang buruk di sektor finansial. Perkembangan yang terjadi belakangan ini menunjukkan bahwa hipotesis New-Keynesian lebih mendekati kenyataan dan diindikasikan dengan hal-hal berikut ini.

Pertama, sebagaimana telah terjadi terhadap Grup Bakrie dan beberapa grup bisnis lainnya, ternyata anjloknya harga saham telah ikut menurunkan akses mereka terhadap kredit dan pasar modal. Ketika harga saham turun, net worth mereka otomatis juga turun sehingga credit-worthiness perusahaan-perusahaan mereka juga melemah. Pada gilirannya, mereka akan mengalami kesulitan untuk melakukan roll over dan refinancing untuk kredit yang telah jatuh tempo. Beberapa kreditor bahkan memutuskan untuk tidak melanjutkan pembiayaan berbagai proyek yang sudah berlangsung selama setahun terakhir ini. Kita akan menyaksikan banyak proyek yang tidak diselesaikan di tengah jalan karena kesulitan pembiayaan.

Kedua, volatilitas di pasar keuangan juga akan meningkatkan persepsi risiko. Akibatnya, perusahaan mejadi lebih sulit untuk mencari dana atau kalaupun ada dana harganya lebih mahal. Bahkan, JP Morgan Chase merekomendasikan bahwa obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia sebaiknya dihindari. Penilaian ini jelas membuktikan bahwa pemerintah sekalipun akan mengalami kesulitan dalam pembiayaan defisit. Dunia usaha tentunya akan menghadapi kesulitan yang jauh lebih parah.

Ketiga, kesulitan likuiditas perbankan dalam beberapa minggu terakhir ini mulai terasa oleh sektor riil. Kredit menjadi lebih sulit untuk diperoleh. Dunia usaha mulai mengeluhkan bahwa kredit yang telah disetujui oleh bank, tiba-tiba dibatalkan secara sepihak. Hal itu kini lebih sering terjadi, terutama terhadap UKM yang memang bukan prime customer bagi perbankan. Dengan lebih seretnya kredit, ekspansi dunia usaha pada tahun 2009 mungkin akan terhambat. Pertumbuhan investasi akan mengalami koreksi habis-habisan.

Sebagai penutup, mungkin sudah saatnya bagi kita untuk menyadari bahwa sangat sulit untuk menghindar dari krisis finansial global. Kita sebaiknya mulai mengatur strategi agar pengaruhnya terhadap sektor riil bisa diminimalisasi.

(-)

Adakah Obamanomics?


Iman Sugema
(InterCAFE, Institut Pertanian Bogor)

Terpilihnya Barack Hussein Obama menjadi Presiden Amerika Serikat menimbulkan sebuah harapan baru. Tidak hanya bagi masyarakat di negara adikuasa tersebut, tapi juga bagi masyarakat di seluruh dunia. Obama kini telah diberi embel-embel sebagai pemimpin transformasional yang diharapkan akan membawa perubahan-perubahan yang sangat mendasar. Ada dua masalah pelik yang diwariskan oleh pemerintahan Presiden Bush, yakni perang Irak dan krisis keuangan.

Sebagaimana diulas di berbagai media internasional, persoalan ekonomi tampaknya merupakan salah satu faktor yang menentukan kemenangan Obama. Tetapi, sejatinya yang diungkapkan oleh Obama barulah janji-janji yang bersifat umum saja. Kita belum tahu persis langkah spesifik apa yang akan dilakukannya nanti. Mungkin, itu pula yang mendorongnya mengumpulkan para penasihat ekonomi untuk segera merumuskan detailed plan mengenai jalan keluar dari krisis.

Sejauh ini, yang dilakukan oleh The Fed dan Pemerintah Amerika hanya mencakup empat hal, yakni pengenduran likuiditas, peningkatan penjaminan simpanan, bail out lembaga keuangan yang bermasalah, serta pembelian dan restrukturisasi toxic assets (aset beracun). Keempat langkah ini merupakan resep generik yang juga dilakukan oleh negara-negara maju lainnya.

Ternyata, krisis terus berlanjut dan semakin menjalar ke berbagai belahan dunia dan secara tidak langsung mengindikasikan bahwa keempat resep tersebut kurang efektif. Implikasinya, Obama harus menemukan 'jalan baru' untuk menyelamatkan perekonomian dari keterpurukan lebih lanjut. Kalau ternyata dia berhasil menemukan jalan tersebut, suatu saat pasti dikenal dengan Obamanomics.

Pertanyaannya, apakah jalan tersebut akan pernah ditemukan? Sulit untuk melihatnya dari sekarang, tapi mudah-mudahan itu bisa dia lakukan. Ada beberapa alasan strategis yang membuat dunia sangat mengharapkan solusi efektif dari Obama.

Pertama, Amerika merupakan sebuah kekuatan ekonomi terbesar di dunia sehingga kecepatan pemulihan ekonomi akan sangat membantu negara-negara lainnya. Sebaliknya, kalau ternyata nantinya Obama gagal, keterpurukan ekonomi dunia akan semakin menjadi-jadi. Saat ini, Amerika, Eropa, dan Jepang sudah memasuki resesi dan kemungkinan masih akan berlangsung sampai akhir tahun depan. Tugas Obama yang paling berat adalah bagaimana resesi itu tidak menjadi lebih dalam.

Kedua, krisis keuangan global saat ini sudah merambah ke hampir semua negara. Tak ada satu pun yang bisa menghindarinya. Karena itu, dibutuhkan sebuah koordinasi antarsemua negara untuk mengatasinya. Ada dua PR berat bagi Obama, yakni memimpin koordinasi global dan memberi solusi melalui keteladanan.

Dunia saat ini membutuhkan seorang pemimpin global yang bisa diterima oleh berbagai negara untuk membawa dunia keluar dari krisis. Seorang koboi, seperti Bush, jelas tidak cocok karena hanya akan memajukan kepentingannya sendiri. Sistem keuangan dunia sekarang ini sudah sangat terintegrasi sehingga menjadi sangat sulit untuk mencari jalan keluar secara sendiri-sendiri.

Selain itu, aksi penyelamatan yang dilakukan oleh sebuah negara bisa jadi membahayakan negara lainnya. Contohnya adalah nasionalisasi cabang-cabang Fortis di Belanda telah mengakibatkan cabang-cabang di negara lainnya menghadapi kebangkrutan. Pilihan yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda adalah rasional untuk negaranya sendiri karena cabang Fortis di Belanda adalah cabang yang lebih sehat. Tapi, itu menutup kemungkinan bagi cabang Fortis yang sehat untuk melakukan penyelamatan cabang yang tidak sehat secara internal. Di sinilah peran seorang pemimpin global diharapkan.

Kepemimpinan tentunya tidak hanya sekadar dalam bentuk koordinasi global, tetapi juga memberikan teladan dalam penyelamatan ekonomi. Salah satu hal yang membuat dunia saat ini menjadi lebih terpuruk adalah Amerika Serikat sendiri yang belum memberikan 'contoh' yang efektif untuk keluar dari krisis. Tentunya, ide-ide brilian bisa saja datang dari negara lain. Tetapi, sepanjang Amerika belum pulih, dunia masih akan tertatih-tatih.

Ketiga, pusat keuangan terbesar di dunia berada di Wall Street yang oleh Soros dan kawan-kawan dituding telah menjadi kasino yang jauh lebih berbahaya dibanding Las Vegas. Lembaga-lembaga terbesar di dunia juga pada umumnya berdomisili di Amerika. Oleh karena itu, penataan kembali sistem keuangan global harus dimulai dari Amerika.

Adalah sulit untuk menciptakan sistem keuangan global yang lebih adil dan stabil tanpa melibatkan reformasi di pasar keuangan domestik Amerika. Dengan kata lain, kalau kelak dilakukan reformasi keuangan di Amerika, Obama harus mempertimbangkan dampaknya terhadap negara lain, terutama negara berkembang.

Saat ini, sistem keuangan di negara maju didesain untuk menyedot sumber daya finansial dari negara berkembang sehingga cenderung memperburuk ketimpangan antara negara maju dan negara berkembang. Sistem keuangan dunia telah terlanjur menjadi vampir bagi negara berkembang.Terakhir, kita berharap semoga ada Obamanomics yang tidak hanya terbatas untuk mengatasi krisis keuangan di Amerika, tetapi juga bagi negara-negara lainnya. Kita boleh berharap mengenai ini, tetapi mungkin realitas yang akan bercerita lain.

Kamis, 06 November 2008

Beda Krisis 2008 dengan 1998
Rabu, 5 November 2008 | 00:35 WIB

A Tony Prasetiantono

Saya setuju dengan pendapat yang menyatakan, tidak akan pernah ada krisis ekonomi yang berulang dan sama persis kejadiannya. Setiap krisis pasti memiliki karakteristik yang khas dan unik. Misalnya, depresi ekonomi dunia tahun 1930-an, pasti sulit dibandingkan dengan krisis finansial 2008, baik dari sisi kausalitas, besaran, maupun implikasinya.

Meski demikian, kita tetap bisa mempelajari (lesson learned) krisis-krisis pada masa lalu sebagai bekal untuk menghadapi krisis terkini dan antisipasi pada masa datang. Masih banyak hal yang tetap relevan meski krisis sebelumnya terjadi jauh di belakang, pada masa yang berbeda, dengan setting dan konteks berbeda. Itu tak menghalangi kita untuk mempelajari, membandingkan, dan menentukan langkah-langkah yang seyogianya ditempuh.

Ekuilibrium baru rupiah

Merosotnya rupiah yang kemarin menembus Rp 11.000 per dollar AS (4/11/ 2008), mau tak mau membangkitkan ingatan kita pada kenangan buruk krisis 1998. Kini orang mulai bertanya-tanya, akankah kita bakal mengalami deja vu alias mengulang pengalaman 1998? Apakah rupiah bakal terus terpuruk hingga level seperti dulu, misalnya Rp 15.000 per dollar AS?

Hal paling utama yang membedakan krisis ekonomi 2008 dengan 1998 adalah faktor politik. Pada tahun 1998 krisis ekonomi bercampur kepanikan politik luar biasa saat rezim Soeharto hendak tumbang. Begitu sulitnya merobohkan bangunan rezim Soeharto sehingga harus disertai pengorbanan besar berupa kekacauan (chaos), yang mengakibatkan pemilik modal dan investor kabur dari Indonesia.

Pelarian modal besar-besaran (flight for safety) karena kepanikan politik ini praktis lebih dahsyat daripada pelarian modal yang dipicu oleh pertimbangan ekonomi semata (flight for quality).

Karena itu, rupiah merosot amat drastis dari level semula Rp 2.300 per dollar AS (pertengahan 1997) menjadi level terburuk Rp 17.000 per dollar AS (Januari 1998). Dari perspektif ekonomi, cukup sulit untuk dijelaskan mengapa rupiah bisa terpuruk sedemikian besar. Kalaupun nilai rupiah sebelumnya dianggap terlalu mahal (overvalued), koreksi itu terlampau besar. Satu-satunya penjelasan hanyalah: dalam situasi kekacauan politik, rupiah bisa merosot berapa saja. Ini soal politik!

Kini, situasinya berbeda. Memang ada kecemasan terhadap kondisi ekonomi global dan nasional, tetapi sejauh ini tidak terkontaminasi dengan faktor politik. Akibatnya, koreksi kurs rupiah, dari level Rp 9.200 per dollar AS (sebelum bangkrutnya Lehman Brothers, 15 September 2008) menjadi kini Rp 11.000 per dollar AS, relatif bisa dijelaskan.

Sebelum ini, rupiah sebenarnya sudah overvalued. Setidaknya ada dua indikasinya.

Pertama, neraca perdagangan (selisih antara ekspor dan impor) terus melemah. Impor terus meningkat cepat, menjadi rata-rata 11 miliar dollar AS per bulan. Pada periode Januari-September 2008, surplus ekspor kita hanya sembilan miliar AS (ekspor 107 miliar dollar AS, dan impor 98 milar dollar AS). Ini kemunduran besar karena surplus ekspor pada 2007 dan 2006 masing-masing 40 miliar dollar AS.

Terlalu kuatnya rupiah (dan sebaliknya terlalu lemahnya dollar AS) menyebabkan masyarakat kita menjadi terlalu konsumtif terhadap produk-produk impor. Dalam rupiah, barang-barang impor menjadi terasa murah. Akibatnya, impor ”meledak”. Untuk menghambat melonjaknya impor, rupiah perlu dikoreksi, berupa depresiasi.

Kedua, Indonesia ternyata merupakan salah satu emerging countries yang tidak kebal dalam hal inflasi. Negara emerging market yang paling tinggi inflasinya adalah Vietnam, dengan 25 persen. Inflasi Indonesia kini sekitar 12 persen. Padahal, inflasi AS, meski tertekan berat harga minyak dunia, ”hanya” lima persen (level ini termasuk tinggi untuk ukuran AS, yang inflasi normalnya dua persen).

Dengan asumsi ceteris paribus (faktor- faktor lain yang bisa berpengaruh tidak mengalami perubahan), mestinya rupiah harus didepresiasi, misalnya dengan tujuh persen. Jika sebelumnya kurs rupiah Rp 9.300 per dollar AS, kurs baru yang wajar sekitar Rp 10.000 per dollar AS.

Kejadian ini juga menimpa banyak mata uang lain, khususnya mata uang kuat (hard currencies). Contohnya, poundsterling yang pernah sedemikian kuat kursnya (hampir dua dollar AS per sterling) kini terkoreksi menjadi 1,5 dollar AS. Euro yang pernah amat kuat hingga 1,6 dollar AS per euro juga terkoreksi menjadi 1,25 dollar AS per euro. Begitu pula dollar Australia, yang kursnya nyaris sama dengan dollar AS, kini tinggal 0,6 dollar AS per dollar Aussie. Rata-rata berbagai mata uang itu terdepresiasi sekitar 25 persen.

Semua negara itu, ketika mata uangnya overvalued (sebaliknya dollar AS undervalued) mengalami masalah dalam neraca perdagangannya. Inggris, Zona Euro, dan Australia mengalami defisit perdagangan. Inggris menjadi yang terburuk, dengan defisit 189 miliar dollar AS.

Berdasarkan analisis ini, secara alamiah, sekarang ini sedang terjadi proses koreksi, atau mencari ekuilibrium baru mata uang berbagai negara. Mata uang yang semula overvalued (misalnya poundsterling, euro, dollar Aussie, dan rupiah) harus terdepresiasi. Sebaliknya, dollar AS yang semula tertekan dan undervalued kini mengalami rebound atau terapresiasi. Proses ini akan terus berlangsung hingga suatu saat menemukan titik keseimbangan baru.

”Blanket guarantee”

Selain faktor koreksi kurs, depresiasi rupiah juga disebabkan dua hal.

Pertama, euforia pemilihan presiden AS pada 4 November 2008 telah menimbulkan tumbuhnya harapan-harapan baru terhadap masa depan perekonomian AS. Untuk sementara, banyak orang memindah kekayaannya menjadi dollar AS.

Kedua, penjaminan simpanan di bank hanya sampai Rp 2 miliar per rekening. Menurut data Lembaga Penjaminan Simpanan, sebanyak 99,02 persen penabung kita rekeningnya di bank senilai di bawah Rp 2 miliar. Jadi, jika pemerintah menjamin simpanan hingga Rp 2 miliar, itu berarti melindungi mayoritas nasabah.

Cara pandang ini sepintas tampaknya sudah benar. Namun, tunggu dulu. Ternyata dari hanya 0,08 persen nasabah penabung—yang terdiri dari 61.000 rekening (baik institusi maupun perorangan)—nilai tabungannya mencapai Rp 600 triliun. Jumlah ini amat signifikan dan amat berpotensi untuk dilarikan ke luar negeri (capital flight).

Terlebih pada saat sekarang, dua tetangga terdekat sekaligus kompetitor terberat dalam menarik dana asing jangka pendek, yakni Singapura dan Malaysia, sudah menjamin 100 persen simpanan di bank (blanket guarantee), hingga tahun 2010. Kendati kita menyadari skema itu rawan moral hazard (bankir bisa berkurang kehati-hatiannya), tetapi kita tak bisa menundanya karena kompetitor sudah melakukannya.

Dugaan saya, skema blanket guarantee akan banyak membantu upaya memperkuat kurs rupiah karena tekanan pull out (penarikan dana dari bank-bank kita untuk ditempatkan di luar negeri) akan berkurang. Jika rupiah menguat, misalnya stabil di ekuilibrium baru Rp 10.000 per dollar AS, maka ”operasi” penurunan suku bunga pun bisa mulai dilakukan.

Kita berharap BI rate tahun depan kembali ke level 8 persen. Inilah momentum yang harus segera diciptakan bersama oleh pemerintah dan Bank Indonesia sehingga rupiah tidak akan deja vu ke era 1998.

A Tony Prasetiantono Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM; Chief Economist BNI

Sabtu, 01 November 2008

Pemerintah Serba Salah Soal BUMI




Foto: Angga/detikFinance
Jakarta - Rencana pembelian saham milik PT Bumi Resources Tbk (BUMI) oleh beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membuat Kementerian BUMN serba salah.

Pemerintah tidak bisa melakukan intervensi karena bisa dianggap memihak Grup Bakrie, namun jika tidak diintervensi, maka BUMI bisa diambil oleh asing. Padahal BUMI dianggap sebagai perusahaan yang bagus dan bisa mengamankan pasokan batubara dalam negeri.

"Kalau harga saham Bumi bagus dan cocok lalu BUMN masuk, itu bagus sekali. Kalau bisa dapat saya senang sekali," kata Menneg BUMN Sofyan Djalil usai salat Jumat di Gedung Garuda, Jakarta, Jumat (31/10/2008).

Sofyan mengaku dirinya merasa sayang karena pemerintah sama sekali tak bisa melakukan intervensi, sementara sejumlah perusahaan asing dikabarkan berminat untuk membeli saham BUMI.

"Secara hukum tidak bisa melarang asing beli, jadi kita tidak bisa larang beli. Tapi ada DMO penjualan batubara," jelasnya.

Namun jika pemerintah melakukan intervensi, kata Sofyan, maka nanti pemerintah bisa dicap telah ikut membantu Grup Bakrie.

"Kami tidak bisa intervensi, karena sensitif nanti disangka mihak Bakrie, kalau untuk BUMN terserah saja," katanya.

Namun menurutnya, hingga saat ini belum ada laporan dari BUMN yang tertarik untuk membeli saham Bumi. Menurutnya, pembelian saham Bumi harus dilakukan dengan mengacu kepada harga yang tepat juga kemungkinan risiko yang bisa terjadi.

"Mereka juga harus bisa beri tanggung jawab kepada publik dan pemegang saham minoritas," ujarnya.

Bakrie Jual Murah BUMI





Paparab Publik Bakrie Grup (Indro)
Jakarta - PT Bakrie and Brothers Tbk melepas 35% sahamnya di PT Bumi Resources Tbk senilai US$ 1,3 miliar kepada Northstar Pacific, yang merupakan afiliasi dari Texas Pacific Group, sebuah private equity fund kelas dunia.

Sayangnya, Presiden Director BUMI Ari S Hudaya enggan mengungkapkan berapa harga pembelian saham BUMI per lembarnya. Ia hanya mengungkapkan, saat ini jumlah saham yang beredar adalah 19,404 miliar lembar saham.

"Kalian tinggal bagi saja, tinggal hitung. Itu kan 35%, nah jumlah saham yang diterbitkan BUMI 19,404 miliar, dikali 35 persen. Kan dapat jumlah sahamnya, tinggal US$ 1,3 miliar dibagi angkanya," jelas Ari dalam konferensi pers di lobi Wisma Bakrie II, Jakarta, Sabtu (1/11/2008).

Berdasarkan hitungan detikFinance, dengan angka tersebut, maka harga BUMI berarti 0,1914 dolar AS per lembar sahamnya. Jika menggunakan kurs sesuai dengan laporan keuangan semester I-2008 BUMI sebesar Rp 9.225 per dolar AS, maka harga saham BUMI hanya Rp 1.816 per lembar. Sementara jika menggunakan kurs penutupan Jumat (30/10/2008) Rp 10.800 per dolar AS, maka harga saham yang dijual sebesar Rp 2.067 per lembarnya.

Kedua asumsi kurs tersebut masih menggambarkan bahwa harga saham BUMI yang dijual ke Northstar Pacific masih lebih rendah dari harga pasar. Pada penutupan perdagangan Senin, 6 Oktober 2008, harga saham BUMI adalah Rp 2.175. Itu adalah harga terakhir, karena pada perdagangan Selasa, 7 Oktober, saham BUMI disuspensi oleh Bursa Efek Indonesia hingga Jumat, 30 Oktober lalu.

Harga ini juga berarti jauh dibandingkan dengan harga tertinggi saham BUMI yang pernah mencapai Rp 8.500 per lembar pada 9 Juni 2008. Harga itu juga lebih rendah dari harga IPO sebesar Rp 4.500.

Mengenai pemilihan Northstar, Ari mengatakan bahwa pertimbangan paling utama adalah masalah harga. Menurutnya, ada sejumlah BUMN juga yang pernah mengajukan penawaran, namun akhirnya Northstar yang dipilih karena harganya dianggap paling bagus.

"Kami dari manajemen ingin menyelesaikan lebih cepat (transaksi ini) untuk memberikan nilai bagi pemegang saham dan peruisahaan. Transaksi dokumen sudah diteken tadi malam, yang membeli adalah Nortstar Pacific," jelas Ari dalam konferensi pers singkatnya.

Ia menambahkan, Northstar Pacific masih membutuhkan waktu sekitar 21-28 hari untuk mempelajari dokumen-dokumennya.

"Masih banyak dokumen yang harus diselesaikan kita tetap bekerja terus. Ini pasti closing, mungkin yang bisa berubah itu price, ada price adjustment," jelasnya.

Lepasnya Andalan Grup Bakrie


Aktivitas di KPC (Foto: Pemkab Kutim)
Rata Penuh
Jakarta - PT Bakrie and Brothers Tbk akhirnya melepas seluruh kepemilikannya di PT Bumi Resources Tbk (BUMI) kepada konsorsium Northstar Pacific senilai US$ 1,3 miliar. Penjualan BUMI kepada konsorsium Northstar Pacific itu sekaligus menandai pelepasan andalan Grup Bakrie, demi melunasi utang-utangnya.

BNBR terpaksa melepas seluruh portofolionya di BUMI lantaran sedang dililit utang gadai saham dengan jumlah pokok sebesar Rp 11,51 triliun dan bunga pinjaman sekitar Rp 1,22 triliun. Totalnya sekitar Rp 12,73 triliun.

Rencana penjualan BUMI pun langsung mendapat sambutan hangat. Investor dari dalam dan luar negeri berebut saham BUMI, termasuk para BUMN.

Siapa pun pasti ngiler dengan BUMI. Hingga semester I-2008, BUMI berhasil membukukan laba bersih hingga US$ 436,8 juta atau sekitar Rp 4,5 triliun. Perolehan laba tersebut berarti naik hingga 150% dibandingkan semester I-2007, terutama berkat naiknya harga batubara.

Namun kilauan kinerja BUMI tersebut tidak terjadi dalam waktu sekejap dan sempat mengalami jatuh bangun hingga pergantian bisnis inti.

Sementara harga sahamnya pun terus menanjak. Jika pada tahun 2006 harganya hanya berkisar padaRp 760, maka pada tahun-tahun berikutnya harga saham BUMI terus menanjak dan mencapai titik tertingginya pada 23 Juni 2008 sebesar Rp 8.500.

Namun semenjak kabar gadai saham BUMI muncul, sahamnya terus tergerus. Pada 6 Oktober 2008, saham BUMI ditutup pada Rp 2.175, sebelum akhirnya disuspensi pada perdagangan 7 Oktober.

Berikut sepenggal kisah dari Bumi Resources yang dulunya sempat bernama PT Bumi Modern Tbk, seperti dikutip detikFinance dari situs BUMI dan sumber-sumber lain, Sabtu (1/11/2008):

Tahun 1990, mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya.

Tahun 1997, PT Bakrie Capital Indonesia mengambil alih seluruh saham yang dimiliki Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 (AJB Bumiputera) sebanyak 58,51%.

13 Agustus 1998, RUPSLB Bumi Modern menyetujui perubahan bisnis inti dari sektor perhotelan dan turisme ke bisnis migas serta pertambangan.

Tahun 2000, perseroan mengambil alik 97,5% saham Gallo Oil (Jersey) Ltd. Gallo Oil didirikan di Jersey pada 17 Desember 1997.

20 September 2000, Departemen Hukum dan HAM menyetujui perubahan nama dari PT Bumi Modern Tbk menjadi PT Bumi Resources Tbk.

November 2001, BUMI mengakuisisi 80% saham PT Arutmin Indonesia dari BHP Minerals Exploration Inc. Ketika itu, Arutmin merpakan tambang batubara terbesar keempat di Indonesia dengan 4 tambang terbuka di Senakin, Satui, Asam-asam dan Batulicin, yang semuanya berlokasi di Kalimatan Selatan.

Oktober 2003, BUMI mengakuisisi 100% saham PT Kaltim Prima Coal (KPC), sekaligus menempatkan BUMI sebagai produsen batubara terbesar di Indonesia.

April 2004, perseroan mengakuisisi 19,99% saham Arutmin yang dimiliki PT Ekakarsa Yasakarya Indonesia. Dengan demikian, kepemilikan BUMI di Arutmin mencapai 99,99%.

Desember 2005, BUMI memfinalisasi divestasi saham KPC. Hasilnya, kepemilikan BUMI di KPC baik langsung ataupun tidak langsung mencapai 95%.

21 April 2008, induk BUMI, PT Bakrie and Brothers Tbk (BNBR) menggadaikan saham BUMI untuk memperoleh pinjaman pendek dari Odickson Finance di harga Rp 6.790 per saham.

7 Oktober 2008, 6 emiten Grup Bakrie disuspensi, termasuk BUMI.

31 Oktober 2008, BNBR mencapai kesepakatan untuk pembelian 35% saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) senilai US$ 1,3 Miliar.
(qom/qom)