Minggu, 12 Oktober 2008

Sektor Keuangan Kini Terancam


Sigit Pramono
Reni Herawati
Sigit Pramono

INILAH.COM, Jakarta – Krisis finansial yang dialami Indonesia 10 tahun silam, berpotensi meluluhlantakkan sektor keuangan saat ini. Pemerintah pun harus cepat tanggap merealisasikan teori-teorinya menjadi sebuah langkah positif antisipatif.

Hal itu diungkapkan Ketua Umum Perhimpunan Bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono. Menurutnya, selain kredit bermasalah, persoalan likuiditas adalah penyakit kronis yang bisa menyebabkan perbankan bangkrut.

Bahkan, likuiditas lebih mematikan ketimbang masalah kredit macet (non performing loan/NPL). Ini berarti, jika pemerintah tidak mampu mengendalikan masalah NPL dan likuiditas tersebut, besar kemungkinan bisa mengancam negara ini menjadi bangkrut .

“Di tengah situasi krisis saat ini, kondisi perbankan seperti ini harus dijaga agar perekenomian Indonesia tidak runtuh. Pasalnya, Ini yang menjadi pembeda paling pokok dengan krisis ekonomi yang menerpa Indonesia sepuluh tahun silam,” ujar Sigit dalam diskusi bertajuk Persiapan RI terhadap krisis keuangan dunia, Jakarta, Sabtu (11/10) kemarin.

Berikut wawancara lengkapnya.

Bagaimana penyaluran kredit perbankan di tengah krisis finansial saat ini?

Dalam situasi seperti sekarang, perbankan amat berhati-hati dalam menyalurkan kredit. Perbankan juga melakukan klasifikasi tingkat risiko debitor valas yang mengekspor produknya ke AS atau negara lain yang berpotensi terpengaruh penurunan ekonomi AS.

Seberapa besar perbankan ikut terimbas krisis likuiditas AS?

Dalam dua bulan terakhir, perbankan domestik memang mengalami likuiditas dolar yang ketat. Salah satu faktor penyebabnya ialah krisis keuangan di AS. Kalau kita tidak bisa kendalikan krisis ini dan terlalu panik, maka akan ada penyebab kedua bangkrutnya sebuah bank, yakni kering likuiditas. Dalam sejarah dunia, banyak bank yang bankrut karena likuiditas bukan NPL.

Institusi keuangan global yang merugi menarik dana mereka di negara berkembang dan menukarnya ke dollar AS. Bank-bank internasional juga enggan meminjamkan dolarnya ke pihak lain karena khawatir pinjamannya macet. Akibatnya, likuiditas dollar di pasar amat ketat.

Apa kita akan mengalami krisis seperti tahun 1997?

Krisis global yang terjadi sekarang berbeda dengan krisis 1997. Krisis ekonomi global 2008, masalahnya bersumber dari luar, sehingga pemerintah tidak bisa mengontrolnya. Sementara krisis tahun 1997 berasal dari dalam negeri karena krisis perbankan nasional.

Bagiamana kondisi NPL perbankan saat ini?

Sampai Agustus 2008, tingkat kredit macet perbankan nasional sekitar 3,9%. Itu sudah bagus sekali dari batasan normal yang ditetapkan Bank Indonesia (BI) sekitar 5%. Namun, jika pemerintah tidak mampu mengendalikan masalah NPL dan likuiditas tersebut, besar kemungkinan bisa mengancam negara ini menjadi bangkrut . Di tengah situasi krisis saat ini, kondisi perbankan seperti ini harus dijaga agar perekenomian Indonesia tidak runtuh. Pasalnya, Ini yang menjadi pembeda paling pokok dengan krisis ekonomi yang menerpa Indonesia sepuluh tahun silam.

Apa langkah ideal yang seharusnya dilakukan?

Perbankan adalah jantung perekonomian kita. Dan kondisinya semakin membaik, dibuktikan dari perbandingan tingkat rasio pinjaman terhadap dana simpanan (loan to deposit ratio/LDR).

Pada saat krisis ekonomi 1998, LDR perbankan mencapai 83%, namun itu jauh berkurang jika dibandingkan dengan LDR per Juli 2008 yang 70%. Untuk itu kendalikan isu-isu yang tidak perlu. Salah satu kunci untuk menghadapi situasi ini adalah dengan bergerak cepat. Sudah tidak saatnya lagi membahas teori, tapi siapkan langkah. (E2)

Tidak ada komentar: