Jumat, 08 Agustus 2008

Perang Global Melawan Stagflasi

Jumat, 8 Agustus 2008 | 01:53 WIB 

Lonjakan harga minyak mentah dan komoditas pangan yang memicu inflasi telah menyeret perekonomian negara-negara maju di ambang stagflasi (stagnasi ekonomi yang dibarengi dengan inflasi tinggi), seperti terjadi pada dekade 1970-an dan 1980-an. Kondisi ini juga menempatkan perekonomian global dalam situasi penuh ketidakpastian. Sejumlah ekonom bahkan sudah mengingatkan kemungkinan terjadinya crash atau kejatuhan pasar saham dalam tiga bulan ke depan.

AS sebagai perekonomian terbesar dunia sekarang ini bisa dikatakan tidak tumbuh sama sekali, sementara di negara-negara zona euro (Uni Eropa) dan Inggris, perlambatan ekonomi sudah terjadi. Jerman yang merupakan perekonomian terbesar di Eropa diperkirakan tumbuh 1 persen tahun ini.

Seperti tahun 1970-an dan 1980-an, stagflasi ini memunculkan dilema rumit bagi pengambil kebijakan. Di satu sisi, resesi atau stagnasi ekonomi hanya bisa diatasi dengan menurunkan suku bunga, sebaliknya untuk menekan inflasi yang diperlukan justru kenaikan suku bunga. Tak mungkin kedua hal itu dilakukan secara berbarengan.

Oleh karena itu, harus dipilih mana yang menjadi prioritas. Biasanya, inflasi didahulukan karena dampak jangka panjang pada ekonomi yang lebih serius. Strategi ini, menurut Senior Market Strategist for Euro Pacific Capital, John Browne, sukses ditempuh oleh AS tahun 1980-an pada era Presiden Ronald Reagan dan Gubernur Bank Sentral AS (Fed) Paul Volcker.

Dengan dukungan politik presiden, Volcker bisa meredam stagflasi dengan formula obat kuat dosis besar, tetapi singkat, yakni lewat kenaikan suku bunga dua digit. Langkah ini berhasil mengembalikan pertumbuhan ekonomi yang sehat dan berkelanjutan dengan nilai tukar mata uang stabil dan inflasi rendah.

Bedanya, Gubernur Bank Sentral AS yang sekarang, Ben Bernanke, menyadari adanya ancaman stagflasi sejak awal. Namun, ia terkesan enggan menaikkan suku bunga karena tak ingin langkah menaikkan suku bunga yang terlalu reaktif justru akan menyeret perekonomian ke bahaya yang lebih besar, seperti yang terjadi pada tahun 1930, yakni depresi besar.

Bernanke, menurut Browne, mengabaikan pelajaran pahit dari stagflasi tahun 1970-an, yakni inflasi membubung tak terkendali karena Fed tidak berbuat apa-apa. Bernanke mengabaikan desakan sejumlah kalangan, seperti Warren Buffet dan pengusaha lain, untuk menurunkan suku bunga guna meredam inflasi, sementara di sisi lain pemerintahan Bush sendiri menghendaki suku bunga justru diturunkan dan belanja pemerintah digenjot.

Dilema serupa juga dihadapi berbagai negara lain yang prioritas dalam negerinya juga berbeda-beda. Di Eropa, Bank Sentral Eropa (ECB) awalnya memilih tetap mempertahankan suku bunga kendati Fed sudah menurunkan suku bunga hingga 2 persen beberapa tahun terakhir, meskipun akhirnya karena tekanan, Fed menaikkan suku bunganya dari 4 ke 4,25 persen.

Ketidakjelasan langkah yang akan ditempuh Fed dan ECB serta Bank Sentral Inggris (Bank of England) dan tidak adanya kepemimpinan global dalam mengatasi fenomena inflasi global ini semakin membuat pelaku pasar senewen dan prospek perekonomian global ke depan juga sangat tidak pasti. Akibatnya, nilai tukar dollar AS terpuruk hingga level yang membuat kelayakan statusnya sebagai reserve currency (mata uang yang paling banyak digunakan sebagai cadangan devisa) pun dipertanyakan.

Sebaliknya, euro terus menguat sehingga justru tidak menguntungkan bagi daya saing ekspor UE dan memunculkan ketegangan politik di antara negara anggota UE sendiri. Bagi masyarakat awam, stagnasi dan inflasi juga membuat kesejahteraan mereka tergerus dengan cepat karena uang semakin tidak ada harganya. Kondisi menjadi lebih pelik lagi karena negara-negara Eropa akan segera menghadapi pemilu tahun ini.

Sudah terjadi

Ekonom AS, Jeffrey D Sachs, dan pengusaha Warren Buffet berpendapat, stagflasi sebenarnya sudah terjadi di AS kendati dalam skala mild (sedang). Tanda-tanda kontraksi ekonomi terlihat di AS, Inggris, Spanyol, Irlandia, Italia, Portugal, dan Jepang. Di banyak negara, inflasi juga sudah menjadi fenomena global meski di emerging market, lonjakan inflasi masih dibarengi dengan pertumbuhan.

Sachs melihat adanya beberapa kesamaan antara kondisi sekarang ini dan kondisi paruh pertama dekade 1970-an. Pada saat itu, perekonomian dunia juga tumbuh sangat pesat, sekitar 5 persen per tahun, menuntun ke lonjakan harga komoditas. Waktu itu, AS juga terlibat dalam perang yang sangat menguras anggaran (dulu Perang Vietnam, kini Irak). Dunia membutuhkan 15 tahun untuk benar- benar keluar dari stagflasi 1970-an. Selama itu pula, pertumbuhan ekonomi rendah, 3,2 persen tahun (1973-1989), lebih rendah daripada rata-rata 1960-1973 yang 5,1 persen.

Bedanya, perekonomian dunia sekarang ini jauh lebih besar sehingga kendala sumber daya juga lebih besar dan lebih sulit mencari solusi cepat terhadap persoalan. Tahun 1974, jumlah penduduk dunia baru 4 miliar orang dan pendapatan dunia sekitar 23 triliun dollar AS. Dewasa ini, jumlah penduduk mencapai 6,7 miliar orang dan pendapatan mencapai 65 triliun dollar AS. Untuk bisa kembali ke pertumbuhan ekonomi 4 persen, akan dibutuhkan lebih banyak sumber daya alam, seperti energi, air, dan tanah yang bisa digarap, ketimbang tahun 1970-an dan itu berarti risiko yang lebih besar juga terhadap iklim dan ekosistem global.

Sifat perekonomian yang terbuka akan membuat Indonesia sulit menghindar dari dampak stagflasi global, yang akan ditransmisikan lewat berbagai saluran, termasuk perdagangan, pasar uang, nilai tukar, dan investasi. (sri hartati samhadi)

Tidak ada komentar: