Jumat, 31 Oktober 2008

Pil Pahit Bank Indover


Lin Che Wei, CFA*

Likuidasi Bank Indover menarik untuk dibicarakan hari-hari ini. Penyelamatan bank ini, dengan injeksi dana 545,6 juta euro adalah bukti bahwa Indonesia tidak mempunyai mekanisme dan prosedur yang cukup baik dalam pengelolaan krisis.

Krisis yang melanda dunia memang belum menyentuh sektor riil. Hal ini karena tingkat kemapanan finansial dan keterlibatan masyarakat Indonesia di pasar modal masih rendah. Namun krisis yang serius bisa segera melanda jika terjadi krisis kepercayaan terhadap sektor perbankan. Terutama karena Indonesia merupakan negara yang mempunyai ketergantungan yang sangat besar pada bank konvensional. Krisis yang menimpa sebuah bank dapat dengan mudah memicu risiko sistemik yang menggoyahkan kepercayaan terhadap sektor perbankan.

Belajar dari pengalaman krisis pada 1997-1998, Indonesia telah cukup banyak membenahi sektor perbankan. Tingkat permodalan bank di negeri ini salah satu yang paling tinggi di Asia. Kredit macet, non-performing loan, bank-bank saat ini juga relatif sangat rendah.

Namun krisis yang terdahulu juga telah memberikan pelajaran pahit dalam hal penanganan krisis. Pengambil keputusan tidak berani mengambil langkah penting atau darurat di tengah situasi gawat. Penanganan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang dikucurkan di zaman krisis moneter telah menyeret beberapa petinggi Bank Indonesia ke meja hijau, bahkan ada yang dipenjara. Akibatnya, muncul keengganan di antara mereka untuk mengambil langkah darurat dalam keadaan mendesak.

Kemungkinan likuidasi Bank Indover oleh pemerintah Belanda telah memicu naiknya status risiko yang dihadapi Indonesia, baik risiko pemerintah maupun risiko perbankan. Hal ini terlihat dari naiknya credit default swap ke level yang sangat tinggi begitu berita kemungkin­an likuidasi Bank Indover diumumkan.

Mengacu pada pengalaman dunia dan domestik, bailout terhadap institusi keuangan yang mempunyai risiko sistemik sangat penting. Keputusan segera harus diambil sebelum timbul kerugian yang lebih besar. Keterlambatan bailout pemerintah Amerika atas Freddie Mac, Fannie Mae, dan AIG, adalah pelajaran berharga. Dalam skala Indonesia, pada 1998, keputusan untuk tidak mem-bailout BDNI juga telah menimbulkan kepanikan nasabah yang memicu krisis keuangan yang lebih dalam.

Bank Indover berstatus cukup unik, yakni ­dimiliki Bank Indonesia, bank sentral. Di mata investor dan kreditor, tentu saja Indover dipandang lebih ”aman” ketimbang bank swasta—meskipun status bank ini masih sedikit di bawah bank-bank milik pemerintah yang memiliki jaminan implisit dari pemerintah Indonesia.

Pada masa krisis keuangan seperti ini, munculnya berita utama ”bank milik bank sentral Republik Indonesia akan dilikuidasi” tentu merisaukan. Kreditor dan perbankan internasional pasti khawatir. Jika bank milik bank sentral saja tidak diselamatkan, bagaimana nasib bank-bank swasta di Indonesia jika nanti tertimpa krisis? Pandangan seperti ini tentu tidak benar. Namun, di masa krisis seperti ini, orang cenderung bertindak ”jual dulu, pikir belakangan”. Maka kurang cepatnya pena­nganan krisis dapat berakibat signifikan.

Dampak dari keraguan akan kredibilitas bank-bank Indonesia pascakrisis Bank Indover sudah mulai terlihat. Perbankan internasional banyak mengajukan pertanya­an soal itu. Kendati kondisi fundamental bank-bank di Indonesia cukup nyaman, risiko dan persepsi negatif terhadap kredibilitas bank sentral bisa berdampak buruk.

Berita bahwa Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui bailout plan cukup menenangkan pasar. Namun kritik dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional—yang notabene bagian dari pemerintah—atas rencana bailout ini menunjukkan betapa kurangnya koordinasi internal. Ini juga menunjukkan kurangnya kesadaran atas potensi krisis kepercayaan apabila Indover dilikuidasi. Kontroversi perlu atau tidaknya bailout mestinya dilakukan secara internal, bukan melalui debat terbuka yang hanya memicu ketidakpastian dan meningkatkan risiko.

Pada keadaan seperti ini, bailout perlu dilakukan untuk mencegah risiko sistemik. Langkah darurat peme­rintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat sudah tepat. Dengan catatan, mereka yang membuat Indover runtuh harus dikejar. Jumlah yang harus dikeluarkan pemerintah untuk bailout sangat kecil dibandingkan risikonya. Tentu saja langkah ini sangat mudah menimbulkan kritik dari politikus yang cenderung hanya mencari kesalah­an dari apa pun yang dilakukan pemerintah.

Saat ini para pengambil keputusan sedang menghadapi dilema atas dua pilihan sulit. Pilihan pertama, melakukan tindakan darurat yang perlu untuk membatasi kerugian meskipun langkah ini tidak seratus persen sesuai dengan koridor aturan. Pilihan kedua, tidak bertindak apa pun, mengambil posisi aman dan tidak bisa disalahkan secara administratif. Pilihan kedua ini sangat berpotensi menimbulkan kerugian yang lebih besar dan sistemik.

John F. Kennedy pernah menyatakan, ”Neraka yang paling dalam disediakan bagi mereka yang dalam keadaan krisis (moral) tapi memilih tetap ­mempertahankan sikap netral.” Pengambil keputusan yang hanya ingin mencari jalan aman dalam situasi krisis menunjukkan kualitas dan karakter mereka. Dalam era pemberantas­an korupsi, maka meminimasi potensi kerugian bagi pengambil keputusan menjadi lebih penting ketimbang menekan potensi kerugian dari negara dan bangsa.

Contoh pahlawan yang tidak dihargai dan masuk penjara karena mengambil tindakan darurat di masa krisis sudah banyak. Kita benar-benar membutuhkan suatu mekanisme penanganan krisis yang baik. Perlu ada jamin­an dan perlindungan bagi pengambil keputusan darurat yang mengedepankan kepentingan bangsa di atas risiko pribadi. Pucuk pimpinan tertinggi negara ini dan Dewan harus dapat membuat mekanisme untuk melindungi Indonesia dari krisis.

*) ­Pendiri Independent Research & Advisory Indonesia

Kamis, 30 Oktober 2008

Bakrie Dari Krisis ke Krisis

1971
Bakrie & Brothers menjadi perseroan terbatas.

1986
Mengakuisisi Uniroyal Sumatera Plantation. Namanya diubah menjadi Bakrie Sumatera Plantation.

1989
Bakrie & Brothers masuk bursa. Mulai merambah sektor telekomunikasi.

1993
Unit usaha telekomunikasi mendapatkan lisensi tetap nirkabel. Meluncurkan stasiun televisi ANTV.

1997-1998
Krisis moneter menghantam Indonesia. Nilai tukar rupiah 17 ribu per dolar. Gara-gara itu, utang Bakrie & Brothers melar dari Rp 2,7 triliun menjadi Rp 9,7 triliun.

1999

Maret
Bank Nusa Nasional milik keluarga Bakrie terimbas krisis. Bank ini harus ikut program rekapitalisasi senilai Rp 3,6 triliun dan mendapat suntikan modal dari pemerintah. Keluarga Bakrie menyuntik Rp 700 miliar.

Desember
Bank Nusa Nasional ditutup. Keluarga Bakrie harus mengembalikan utang rekapitalisasi Rp 3 triliun ke negara. Keluarga Bakrie menyerahkan aset-asetnya ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

2000
Memulai program restrukturisasi utang dengan kreditor dalam dan luar negeri. Keluarga Bakrie menjual Bakrie Kasei.

2001

November
Kesepakatan restrukturisasi utang diteken lewat pola pengalihan utang jadi saham dan pembayaran utang dengan aset. Bakrie Sumatera dan Bakrie Electronic dijual. Saham keluarga di Bakrie & Brothers tinggal 2,92 persen. Bakrie melalui Bumi Recourses mengembangkan bisnis batu bara dengan mengakuisisi Arutmin US$ 185 juta dari BHP Billiton.

2003
Bumi Resources membeli Kaltim Prima Coal (KPC) US$ 500 juta dari Rio Tinto dan BP Plc.

2004
Mengambil alih kembali Bakrie Sumatera Plantation. Meluncurkan layanan tetap nirkabel bernama Esia.

2005
Menerbitkan saham baru (rights issue) Rp 1,9 triliun untuk merestrukturisasi utang perusahaan pipa, ekspansi telekomunikasi, dan akuisisi perkebunan.

2006

Februari
Menjual saham Bakrie Telecom ke publik.

Mei
Lumpur menyembur di Blok Brantas milik Lapindo, unit usaha Energi Mega Persada milik keluarga Bakrie.

Agustus
Bumi berencana melepas Arutmin dan KPC ke Renaissance Capital lewat PT Borneo Lumbung Energi, US$ 3,2 miliar (Rp 29 triliun). Tapi Renaissance Capital, milik pengusaha Malaysia, Samin Tan, mundur dan transaksi batal.

September
Energi Mega Persada melepas Kalila Energy Ltd. dan Pan Asia Enterprise Ltd. ke Lyte.

2007

April
Menurut Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, Lapindo Brantas harus membayar Rp 3,8 triliun kepada masyarakat Sidoarjo yang terkena dampak semburan lumpur.

Juni
Bumi menjual 30 persen saham KPC kepada Tata Group India senilai US$ 1,3 miliar (sekitar Rp 10 triliun). Dipakai untuk membayar utang sekitar US$ 900 juta.

2008

Januari
Bakrie and Brothers menerbitkan saham baru Rp 48,4 triliun. Dana itu untuk akuisisi internal 35 persen saham Bumi Resources, 40 persen saham Energi Persada, 40 persen saham Bakrieland Development dari keluarga Bakrie.

Juni-Agustus
Untuk mendapatkan pinjaman baru, Bakrie & Brothers menggadaikan 26,4 persen saham Bumi Resources, 31 persen saham Energi Mega Persada, 19,4 persen saham Bakrieland, Bakrie Plantations, dan Bakrie Telecom.

7 Oktober
Bursa Efek Indonesia menghentikan sementara perdagangan saham Bakrie & Brothers, Bakrieland, Bumi Resources, Energi Mega Persada, Bakrie Sumatera Plantations, dan Bakrie Telecom, karena harga saham ambruk 30 persen. Rumor gadai saham menjadi pemicunya.

12 Oktober
Saham kelompok Bakrie terus terjun bebas. Bakrie & Brothers kesulitan menebus saham unit usahanya yang digadaikan ke kreditor. Rasionalisasi dilakukan dengan menjual sebagian saham di anak-anak usahanya untuk menutup utang Bakrie & Brothers senilai US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 11 triliun) yang terkait gadai saham itu.

13 Oktober
Keluarga Bakrie dikabarkan meminta bantuan para pengusaha dan investor untuk menutup utang triliunan rupiah. Beberapa investor, seperti Avenue Capital, Putera Sampoerna, Tomy Winata, dan Ancora, dikabarkan ditawari saham Bumi Resources. Konsorsium perusahaan negara Aneka Tambang, Bukit Asam, dan PT Timah dikabarkan juga akan ”membantu” membeli saham Bumi.

16 Oktober
Bakrie & Brothers menjual 15,3 persen saham Bakrieland kepada Avenue Luxembourg SARL senilai US$ 46 juta dan 5,6 persen saham Bakrie Sumatera kepada Longines Offshore melalui The Royal Bank of Scotland senilai US$ 10 juta. Saham Bakrie Telecom, Bakrie Sumatera, dan Bakrieland diperdagangkan lagi. Saham Bumi dan dua lainnya masih di-suspend.

Hikayat Keluarga Pedagang Kopi


Anatomi Bakrie Brathers

Dua kali krisis menghantam Indonesia, dua kali pula keluarga Bakrie tergerus. Setelah ”habis-habisan” akibat krisis moneter yang melanda Asia pada 1997, Bakrie bangkit lagi. Sepuluh tahun setelah itu, majalah Forbes menobatkan Aburizal Ba­krie, mantan pengendali Grup Bakrie, menjadi orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan US$ 5,4 miliar. Bisnis baru Bakrie di batu bara menjadi salah satu penyokong melejitnya kekayaan keluarga ini.

Namun, hanya setahun setelah itu, krisis kembali menerpa. Kali ini dampaknya tak kalah dahsyat dibandingkan dengan 1997. Kekayaan keluarga Bakrie melorot sangat tajam. Salah satu indikasinya, kapitalisasi saham enam perusahaan Bakrie—kepemilikan keluarga Bakrie bervariasi—anjlok 76 persen dari Rp 283,7 triliun menjadi Rp 67,3 triliun. Pada saat yang sama, Bakrie & Brothers harus melunasi utangnya US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 11 triliun).

Pada akhir Mei dua tahun lalu, Ba­krie juga tersandung kasus semburan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur. Sumur milik Lapindo Brantas, anak perusahaan Energi Mega Persada, menyemburkan lumpur. Pemerintah mewajibkan perusahaan ini membayar Rp 3,8 triliun kepada korban semburan lumpur. Sampai kini semburan tersebut belum juga terhenti. Tapi soal ini tak menghentikan laju kelompok usaha Bakrie.

Dimulai dari hanya berdagang kopi, perusahaan ini kini merambah hampir semua sektor. Pipa pada mulanya menjadi bisnis utama, disusul perkebunan. Tapi kini Grup Bakrie identik dengan batu bara. Tahun ini Bumi, yang memiliki Kaltim Prima Coal dan Arutmin, memproduksi 62 juta ton dan menguasai 10 persen pangsa pasar batu bara dunia. Bakrie juga masuk ke bisnis properti dan telekomunikasi. Inilah pohon Grup Bakrie dengan Bakrie & Brothers sebagai induknya.

Di Manakah Bakrie Bersaudara?

Keluarga Bakrie mengendalikan kelompok usahanya melalui Bakrie Capital Indonesia. Inilah pemegang sahamnya.

Bakrie Capital Indonesia
Nirwan Bakrie: 34,35
PT Bakrie Investindo: 21,95
Aburizal Bakrie: 17,45
Indra Usmansyah Bakrie: 17,48
Roosmania Kusmolyono: 8,74

Pemegang Saham Bakrie & Brothers (dalam %)
Masyarakat: 28,48
Marque Assets Capital: 23,14
Bakrie Capital Indonesia: 12,64
Credit Suisse Singapura: 11,89
Energy Resources Holdings: 4,76
Asian Energy Holdings: 4,76
Sun Dragon Capital: 4,39
Keluarga Bakrie: 0,08

Terempas dalam Sekejap

BENCANA ini mungkin tak terpikir para investor empat bulan lalu. Saham terus menjulang. Para analis mengatakan, harga komo­ditaslah yang mendorong bursa terbang. Pemicunya, minyak mentah dunia yang makin menggila hingga US$ 147 per barel. Harga komoditas pun ikut terbang. Investor pun berburu saham komoditas dan energi.

Tak ayal, saham Grup Bakrie yang bermain di dua sektor itu di­serbu. Harganya melesat dengan cepat. Nilai saham Bumi Re­sources, misalnya, sempat menyentuh Rp 8.550 per lembar. Perusahaan-perusahaan Bakrie yang menguasai sepertiga kapitalisasi bursa mengerek indeks dengan cepat. Tapi siapa sangka awal bulan ini semua jungkir balik.

Krisis keuangan Amerika me­rembet dengan cepat ke Bursa Efek Indonesia. Kepanikan investor makin menjerumuskan bursa modal. Indeks harga saham gabungan terpelanting dari posisi 2.800-an pada Januari lalu ke level sekitar 1.400. Kapitalisasi pasar Bursa Indonesia pada pekan lalu tinggal sekitar Rp 1.100 triliun. Artinya, dari posisi tertinggi pada Januari lalu, ”uang hilang” di Bursa Indonesia mencapai Rp 890 triliun atau turun sekitar 40 persen.

Saham-saham Bakrie pun ikut terperosok, bahkan lebih dalam. Nilai kapitalisasi pasarnya ambles dari sekitar Rp 283,72 triliun menjadi Rp 67,33 triliun atau turun hampir 80 persen.

Bakrie & Brothers

PT.Energi Mega Persada TBK
40 %
Penghasilan: US$ 123,6 juta
EBITDA: US$ 38 juta

Bakrie Telecom
52,6 %
Penghasilan: US$ 140,2 juta
EBITDA: US$ 59 juta

PT Bumi Resources
35%
Penghasilan: US$ 2,265 miliar
EBITDA: US$ 480 juta

Bakrie Sumatera Plantations
54,59 %
Penghasilan: US$ 211,8 juta
EBITDA: US$ 63,4 juta

Bakrieland Development
40%
Penghasilan: US$ 85 juta
EBITDA: US$ 21 juta

Bakrie Corrugated Metal Industries
99,99%
Penghasilan: US$ 336 juta
EBITDA: US$ 31 juta

Bakrie Infrastructure
99,99 %

Direktur Utama

  • Bambang Hendradi
  • Omar Luthfi Anwar

    Komisaris

  • Nirwan Bakrie
  • Try Sjamun

    Kinerja Bakrie & Brothers? (dalam triliun rupiah)

    2002
    1. 1,513
    2. 0,505
    3. 5,210
    4. 0,915

    2003
    1. 1,042
    2. 0,287
    3. 5,128
    4. 0,480

    2004
    1. 1,229
    2. 0,315
    3. 5,220
    4. 0,824

    2005
    1. 2,738
    2. 0,799
    3. 7,013
    4. 0,477

    2006
    1. 4,322
    2. 1,402
    3. 8,667
    4. 0,479

    2007
    1. 5,289
    2. 2,207
    3. 14,137
    4. 0,768

    Ket:
    1. Penghasilan
    2. Laba
    3. Aset
    4. Investasi

  • Akibat Ekspansi Terlalu Kencang


    Keluarga Bakrie terdesak untuk menyelesaikan pembayaran utang. Aset-aset utama akan dijual. Kekayaan merosot.

    Utang kembali menjadi batu sandungan kelompok usaha Bakrie. Ketika krisis finansial menghumbalangkan Amerika dan Eropa, kelompok usaha yang dibangun Achmad Bakrie pada 1942 ini ikut terkena dampak. Kekayaan ­Ba­krie menyusut dan bahkan kini Bakrie terlilit utang US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 11 triliun. Utang tersebut akan jatuh tempo mulai Oktober ini sampai April 2009.

    Tak punya pilihan yang lebih baik, keluarga Bakrie terpaksa melego sahamnya. Hingga akhir pekan lalu, baru 15,3 persen saham Bakrieland dan 5,6 persen saham Bakrie Sumatera yang terjual, masing-masing US$ 46 juta kepada Avenue Luxembourg SARL dan US$ 10 juta kepada Longines Offshore Co. Ltd. Menurut Direktur Ba­krie & Brothers Dileep Srivastava, perseroan sedang dalam proses menjual saham Bumi Resources.

    Terjebaknya Bakrie & Brothers ke dalam persoalan utang itu akibat terlalu ekspansif. Keluarga Bakrie, kata seorang petinggi perusahaan investasi, sangat agresif memperluas usaha ke sektor infrastruktur, energi, telekomunikasi, dan perkebunan. ”Sumber dana umumnya berasal dari pembiaya­an eksternal, seperti pinjaman bank atau lembaga keuangan.”

    Menurut Kepala Riset PT BNI Securities Norico Gaman, kelompok usaha Bakrie terlalu mengandalkan utang yang melebihi kemampuan modalnya. Total utang bisa mencapai 70-80 persen dari kebutuhan dana. ”Itu akan menyulitkan,” ujarnya. Sampai paruh pertama 2008, pinjaman Ba­krie & Brothers melambung 2,5 kali lipat menjadi Rp 18,4 triliun, sedangkan modalnya hanya Rp 3,8 triliun.

    Bukan kali ini saja keluarga Ba­krie terjatuh lantaran utang. Saat krisis moneter menerjang Indonesia pada 1997, Bakrie juga ambruk gara-gara utangnya melar. Sebelum krisis, pinjaman Bakrie sebesar US$ 1,086 miliar hanya setara dengan Rp 2,7 triliun. Tapi, begitu nilai tukar rupiah tersuruk hingga Rp 10 ribu, utangnya me­lonjak sampai Rp 11 triliun.

    Ketika itu, Bakrie menghadapi pelbagai soal. Bank Nusa Nasional miliknya mesti direkapitalisasi dengan dana Rp 3,8 triliun. Dari jumlah itu, Bakrie harus membayar Rp 700-an miliar. Akhirnya, Bank Nusa Nasional ditutup dan persoalan ini diselesaikan Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Pada saat yang sama, Bakrie juga punya utang macet di sejumlah bank, termasuk di bank-bank pemerintah—nilainya sekitar Rp 4,2 triliun.

    Utang macet Bakrie itu akhirnya selesai pada akhir 2001 dengan cara ditukar dengan saham dan aset. Saham keluarga Bakrie yang semula 58,2 persen terpangkas menjadi hanya 2,92 persen. Tapi bos Bakrie ketika itu, Aburizal Bakrie, tak mau menyerah. ”Dalam lima tahun, kami akan membeli kembali hingga 25 persen,” katanya.

    Kata-kata Aburizal terbukti di kemudian hari. Setahun setelah restrukturisasi, Bumi Resources mengakuisisi PT Arutmin Indonesia, perusahaan batu bara milik BHP Billiton, senilai US$ 180 juta. Pada 2003, Bumi ­mengakuisisi Kaltim Prima Coal, produsen batu bara milik Rio Tinto dan BP Plc., senilai US$ 500 juta. Keluarga Bakrie juga sukses mengambil kembali Bakrie Sumatera dari kreditor.

    Semburan lumpur di ladang gas milik PT Lapindo Brantas, unit usaha Energi Mega Persada, pada akhir Mei 2006 juga tak membuat goyah. Padahal Grup Bakrie harus membayar ganti rugi Rp 3,8 triliun kepada masyarakat Sidoarjo. Bukannya bangkrut, keka­yaan malah bertambah. Pada 2007, majalah Forbes Asia menobatkan keluarga Bakrie sebagai orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan US$ 5,4 miliar (hampir Rp 50 triliun).

    Tapi keluarga Bakrie tak mampu menghentikan dampak krisis finansial global. Bursa Efek Indonesia ambruk. Indeks harga saham terpuruk tinggal 1.244. Padahal, pada Januari lalu, indeks sudah 2.800-an. Harga saham Bakrie pun ikut ambles. Saham Bumi, misalnya. Pada 12 Juni, saham Bumi masih Rp 8.550 per lembar, tapi pada 6 Oktober lalu tinggal Rp 2.175. Kapitalisasi saham perusahaan Bakrie pun jatuh dari Rp 283 triliun (harga tertinggi) menjadi Rp 67 triliun pada 22 Oktober lalu.

    Keluarga Bakrie kini menghadapi dua kemungkinan: terjatuh untuk kedua kalinya atau lolos lagi. Sayangnya, keluarga Bakrie belum mau berkomentar banyak atas isu yang berkembang. Anindya Bakrie, anak sulung Aburizal Bakrie, bolak-balik hanya meminta dikirimi daftar pertanyaan, tapi tak berbalas. Sang paman, Nirwan Ba­krie, juga memilih diam.

    Memang tak mudah menghitu pe­luan Bakrie. Yang jelas, kekayaannya sudah tergerus. ”Kalau bangkrut sih tidak. Mereka masih kaya,” kata seorang pengusaha. Ketua Asosiasi ­Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi menambahkan, ”Ilmu kungfu mereka tinggi. Tingkat survival-nya hebat.”

    Padjar Iswara, Ismi Wahid

    Kapal Bakrie Menahan Badai


    Dibelit utang, beragam lobi—dari menjual saham hingga mencari pinjaman—dijajaki Bakrie agar kapal tidak karam. Menteri Keuangan Sri Mulyani bilang itu risiko bisnis.


    AKHIR pekan-pekan belakangan ini bukan waktu berleha-leha buat para broker di bursa saham. Sudah tiga pekan mereka dihantui rasa waswas karena nilai saham yang digadaikan oleh PT Bakrie & Brothers Tbk. untuk memperoleh pinjaman tergelincir di pasar modal. Sedangkan niat Bakrie menjual sahamnya di PT Bumi Resources untuk menutup utang masih diragukan.

    Itu sebabnya, Ahad sore dua pekan lalu, belasan perusahaan broker—dimediasi oleh manajemen Bursa Efek Indonesia—bertemu dengan Nirwan Dermawan Bakrie di private dining room lantai enam Hotel Ritz-Carlton, Pacific Place, Jakarta.

    Inilah tatap muka pertama para broker dengan nakhoda kapal bisnis Bakrie sejak keluarga itu kelimpung­an dibelit utang. Nirwan datang ditemani eksekutif kepercayaannya, Ari S. Hudaya, Direktur Utama Bumi Resources. Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Erry Firmansyah dan Direktur Pencatatan Eddy Sugito ikut mendampingi.

    Pertemuan itu dilakukan, kata Eddy, agar para broker mengetahui langkah yang akan diambil Grup Bakrie untuk menyelesaikan seluruh utangnya. ”Ini sekaligus untuk meminimalisasi tekanan dan kepanikan di pasar,” katanya.

    Kesempatan itu tentu saja digunakan para broker untuk bertanya tentang kepastian pengembalian pinjam­an yang mereka berikan, yang jumlahnya ditaksir sekitar Rp 4 triliun. Mereka juga mempertanyakan keseriusan Bakrie melepas saham Bumi.

    Berbincang selama 45 menit, adik kandung Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie itu berjanji mengembalikan dana mulai Kamis dan Jumat pekan lalu. Bahkan penjualan 35 persen saham Bumi direncanakan tuntas pada Rabu.

    Bakrie berlomba dengan waktu karena pinjaman dari sumber lokal dan luar negeri yang belum dilunasi menyentuh US$ 1,192 miliar dan Rp 510,81 miliar, dengan tingkat suku bunga 8,5 persen sampai 20,75 persen.

    Seluruh pinjaman itu didapat dari serangkaian aksi gadai saham anak usaha Bakrie sepanjang April hingga September. Mengacu pada kapitalisasi pasar lima bulan lalu, nilai kolateral saham yang dijaminkan menembus US$ 6 miliar. Tapi kini nilainya susut tinggal US$ 1,35 miliar. Nilai saham yang merosot hingga di bawah perjanjian gadai membuat Bakrie harus menutup kekurangannya.

    Tapi Bakrie & Brothers lagi bokek. Rasionalisasi terhadap portofolio perusahaan mau tidak mau harus dilakukan. Karena itu, Nirwan menegaskan, keluarga Bakrie siap kehilang­an Bumi. ”Dalam kondisi seperti sekarang, tidak ada pilihan buat keluarga Bakrie selain menjual aset terbaiknya,” kata sumber Tempo di perusahaan broker menirukan ucapan Nirwan.

    Ternyata janji Nirwan masih sekadar janji. Hingga Jumat malam, para broker belum menerima pembayaran. Kepastian penjualan saham Bumi pun kembali mengambang.

    Sumber Tempo di Kementerian Badan Usaha Milik Negara mengatakan penjualan saham Bumi belum ada titik temu karena konsorsium Texas Pacific Group, Northstar Pacific-Farallon, dan tiga perusahaan tambang milik negara mengajukan penawaran US$ 1,28 miliar (Rp 12,8 triliun dengan kurs Rp 10.005 per dolar), atau setara dengan Rp 1.846 per lembar saham. ”Harga itu di bawah ekspektasi Bakrie,” katanya. Nilai itu jauh di bawah posisi terakhir saham Bumi saat disuspensi 7 Oktober lalu, yakni Rp 2.175 per lembar.

    Sedangkan keluarga Bakrie mematok harga US$ 2 miliar (Rp 20,1 triliun), atau Rp 2.916 per lembar saham. Tak cuma itu. Grup Bakrie ingin memasukkan opsi bisa membeli kembali (buy back) 20 persen saham Bumi dalam waktu tiga tahun. Konglomerasi yang dibangun Achmad Bakrie sejak 1942 itu, kata sumber tadi, juga meminta posisi Ari S. Hudaya sebagai Direktur Utama dan Nalinkant A. ­Rathod sebagai Komisaris Bumi tidak diganggu gugat.

    Di pihak lain, pembicaraan di antara para anggota konsorsium itu juga tidak mudah. ”Perkawinan di antara mereka terkesan dipaksakan,” katanya. Akibatnya, niat konsorsium membeli saham Bumi bercampur-baur antara pertimbangan bisnis dan politik. Tiga perusahaan pelat merah yang disebut-sebut masuk konsorsium adalah PT Tambang Batubara Bukit Asam, PT Aneka Tambang, dan PT Timah.

    Masalahnya, kemampuan finansial dan pengalaman Bukit Asam mengelola bisnis batu bara diragukan. ”Dari dulu perusahaan itu cuma memproduksi 10 juta ton batu bara per tahun,” kata salah seorang pengusaha papan atas. Padahal, melihat cadangannya, mestinya produksi Bukit Asam bisa digenjot.

    Bekas salah satu anggota direksi emiten tambang mengatakan keterlibatan Aneka Tambang dalam konsorsium juga mengandung risiko. ”Bukan kompetensi Aneka Tambang terjun di batu bara,” katanya. Ia khawatir ke­ikutsertaan perusahaan itu bisa mengurangi perhatiannya ke bisnis inti. Padahal perseroan lagi punya pekerjaan rumah seabrek.

    Bantahan datang dari Direktur Utama Bukit Asam Sukrisno. Menurut dia, konsorsium sama sekali belum menyampaikan penawaran. ”Kami masih mempelajari aspek keuangan dan hukum,” ucapnya. Kalaupun nanti­nya memutuskan bergabung, perseroan akan tetap meminta persetujuan rapat umum pemegang saham luar biasa.

    Lagi pula, kata Direktur Keuangan PT Bukit Asam Dono Boestami, Ba­krie belum tentu menjual saham Bumi. ”Kami tunggu saja penawaran resmi dari mereka, baru mengajukan harga,” katanya. Anggota konsorsium pun, kata Sukrisno, masih bisa berubah.

    Kalaupun ada pembicaraan antara Bukit Asam dan Aneka Tambang, sifatnya masih prematur. ”Semuanya masih wacana,” kata Direktur Utama Aneka Tambang Alwin Syah Loebis kepada Ari Astri Yunita dari Tempo. Soal bergabung-tidaknya perusahaan ini ke dalam konsorsium, Sekretaris Perusahaan Aneka Tambang Bimo Budi Satriyo belum bisa memastikan.

    Dari luar negeri, Bakrie mengaku telah diincar investor Australia, India, Malaysia, dan Filipina. Penawaran itu tidak hanya menyangkut harga dan struktur transaksi, tapi juga perjanjian pasokan batu bara. ”Proses negosiasinya memerlukan pertemuan intensif, yang diadakan di Indonesia dan di luar negeri, sehingga memerlukan waktu,” kata Direktur Bakrie & Brothers Dileep Srivastava dalam rilisnya.

    Investor Malaysia yang dimaksud, kata Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia M.S. Hidayat, adalah Khazanah Berhad—perusahaan investasi pelat merah milik negeri jiran itu. Sedangkan investor India tak lain Tata Group.

    Bila benar peminatnya kian banyak, boleh jadi transaksi tidak bisa dieksekusi dalam waktu dekat. Suspensi terhadap saham Bumi, Energi Mega Persada, dan Bakrie & Brothers pun bisa berlanjut. Padahal Bakrie meminta suspensi diperpanjang sampai Selasa pekan ini. Janjinya, penjualan Bumi dituntaskan pekan lalu.

    Namun seorang analis menengarai Nirwan sengaja mengulur-ulur waktu. ”Dia bilang ada negosiasi, tapi belum tentu serius,” katanya. Apalagi, pekan lalu terbetik kabar, Bakrie juga bergerilya mencari pinjaman. Salah satunya, kata sumber Tempo, menunjuk Cre­dit Suisse First Boston untuk mengatur pencarian pinjaman US$ 1,1 miliar. Caranya lewat penerbitan surat utang yang bisa ditukar dengan saham.

    Seorang pengusaha menambahkan, berlarut-larutnya soal ini juga karena Bakrie agaknya berharap ada sentimen positif baik di Bursa maupun terhadap saham Bakrie sendiri, sehingga ketika suspensi dibuka, harganya tidak akan jatuh. Dengan begitu, ada harapan harga jual Bumi akan lebih baik.

    Berkali-kali ditanyai soal itu semua, Nirwan enggan berkomentar. ”Saya masih di luar negeri,” katanya kepada Ismi Wahid dari Tempo.

    lll

    KISRUH ini bermula ketika Ba­krie & Brothers berniat memompa pe­nyertaan sahamnya di tiga anak usaha keluarga Bakrie (lihat ”Dari Krisis ke Krisis”). Ketiganya adalah Bumi Resources (35 persen), Energi Mega Persada (40 persen), dan Bakrie Deve­lopment (40 persen). Akuisisi internal tiga anak usaha itu menelan fulus Rp 48,44 triliun. Ditambah aksi korporasi lain, total dana yang dibutuhkan jadi Rp 51,3 triliun.

    Sebagian dana aksi itu diperoleh melalui penerbitan saham terbatas Rp 40,118 triliun pada April 2008. Sisanya ditutup melalui pinjaman dari Odickson Finance US$ 1,086 miliar, yang diperoleh dengan menggadaikan saham Bumi, Energi Mega, dan Bakrieland. Padahal yang digadaikan adalah saham yang akan diakuisisi.

    Sepanjang Juli hingga Oktober, Bakrie kembali menggadaikan saham Bumi dan Bakrie Sumatera Plantation untuk mendapatkan tambahan pinjam­an. Total pinjaman US$ 1,386 miliar dan Rp 560,81 miliar.

    Para kreditor, kata Eddy Sugito, mau menerima jaminan berupa saham anak usaha Bakrie karena kinerjanya bagus. Saham Bumi, misalnya, pernah menembus Rp 8.550 pada 12 Juni 2008.

    Siapa sangka, nilai kapitalisasi pasar saham Grup Bakrie menyusut 75 persen hanya dalam waktu sembilan bulan. Sementara awal tahun nilainya Rp 283,83 triliun, per 6 Oktober susut tinggal Rp 70,83 triliun. Saham Bumi mencatat penurunan terendah, dari Rp 165,9 triliun tinggal Rp 42,2 triliun.

    Keluarga Bakrie panik. Mereka harus menyetor uang muka kepada kreditor US$ 500 juta untuk menutup selisih harga saham yang anjlok dari batas minimum seperti disyaratkan dalam perjanjian gadai saham. Bumi pun masih terbebani kewajiban me­nyetorkan tunggakan royalti batu bara dua unit usahanya: Kaltim Prima Coal (US$ 349 juta) dan Arutmin (US$ 161 juta) ke kas negara.

    Bakrie juga harus melunasi pembayaran PT Danatama Makmur kepada investor setelah memerintahkan perusahaan itu membeli kembali saham Bumi pada 26 dan 29 September 2008. Transaksi itu tercatat Rp 423,262 miliar. Jatuh temponya tanggal 6 dan 7 Oktober, dan ditalangi dulu oleh PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia.

    Berbagai kiat dikeluarkan. Sumber Tempo mengatakan, tiga pekan lalu, Bakrie sempat mendekati para ­taipan, seperti Putera Sampoerna, bos Grup Artha Graha Tomy Winata, Grup Djarum, dan Indika kepunyaan Su­dwikatmono. Mereka ditawari saham Bumi.

    Namun Tomy Winata menepis kabar itu. ”Saya tidak ditawari dan tidak menawar,” katanya. Tapi sumber tadi mengatakan Tomy sejak awal tak tertarik karena Bakrie tidak langsung melakukan deal khusus dengannya, melainkan mempertandingkannya dengan calon investor lain (Koran Tempo, 13 Oktober 2008). Hal itu jugalah yang mengganjal Djarum dan Putera Sampoerna. ”Ini sulit diterima,” kata sumber itu, ”karena, buat bos-bos, pi­lihannya adalah ikuti sepenuhnya cara mereka atau tidak sama sekali.”

    Yang pasti, siasat yang ditempuh Bakrie kali ini berbeda. Sementara pada krisis 1997 dulu Bakrie berani menukar utangnya dengan kepemilikan saham, kali ini lebih mengedepankan jejaring koneksi politik. Sumber Tempo mengatakan Nirwan dan Aburizal kedapatan menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di kantor Wakil Presiden, Selasa tiga pekan lalu

    Entah kebetulan entah tidak, sepekan setelah itu, mencuat wacana agar pemerintah membantu Grup ­Bakrie mengumpulkan dana US$ 1,2 miliar. Usul itu dilontarkan Kamar Dagang dan Industri saat rapat paripurna kabinet terbatas di Gedung Utama Sekretariat Negara. Namun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menolaknya. ”Itu adalah risiko bisnis yang harus ditanggung perusahaan,” kata­nya di tempat yang sama. Akhirnya Presiden, kata M.S. Hidayat, ­mengisyaratkan agar Bakrie dibantu oleh perusahaan dalam negeri.

    Tak aneh bila di pekan yang sama mengemuka rencana konsorsium BUMN bersama swasta membeli 35 persen saham Bumi. Salah satu anggota konsorsium itu Northstar Pacific, yang dimotori Patrick Walujo, anggota Sekoci—tim sukses SBY dalam pemilihan presiden 2004.

    Tapi juru bicara Presiden, Andi Mallarangeng, membantah bila Yudhoyono dikatakan sampai mengadakan pertemuan khusus untuk membahas penyelamatan Grup Bakrie. Niat konsorsium BUMN membeli saham Bumi, kata Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil, juga bukan atas saran pemerintah. ”Tapi pemerintah tidak melarangnya.”

    Sanggahan juga datang dari Jusuf Kalla. Ditutupnya tiga emiten Ba­krie berlama-lama, kata dia, bukan untuk melindungi kelompok usaha Ba­krie. ”Suspensinya sesuai aturan, bukan perintah,” katanya kepada Anton Aprianto dari Tempo. Ini karena Ba­krie butuh waktu untuk menyelesaikan aksi korporasinya.

    Sri Mulyani sendiri sudah memberi sinyal, pemerintah tidak akan memberikan perlakuan khusus kepada emiten di pasar modal yang sedang bermasalah. Jika ada perusahaan yang mengalami situasi khusus terkait dengan anjloknya pasar modal, harus mengacu pada aturan pasar modal.

    Ketua Badan Pengawas Pasar Mo­dal dan Lembaga Keuangan Fuad Rahmany meminta Grup Bakrie terbuka menjelaskan rencana divestasinya. Ia khawatir beredar rumor negatif dari rencana bisnis Bakrie yang tidak kunjung jelas.

    Yandhrie Arvian, Setri Yasra (Beijing), Amandra Megarani, Gunanto

    Utang Bakrie & Brothers

    US$ 1.086 juta
    (Sudah dibayar US$ 70 juta)
    Kreditor: Odickson Finance
    Jaminan: 3,739 miliar saham BUMI
    4,760 miliar saham ENRG
    3,796 miliar saham ELTY
    Jatuh Tempo: April 2009

    Rp 198 miliar (Current)
    Kreditor: Recapital Securities
    Jaminan: 116,6 juta saham UNSP
    45,9 juta saham BUMI
    Jatuh Tempo: Oktober 2008-Sep 2009

    US$ 150 juta
    (Sudah dibayar US$ 78 juta)
    Kreditor: JP Morgan
    Jaminan: 581,4 juta saham BUMI
    Jatuh Tempo: Juli 2010

    US$ 150 juta
    (Sudah dibayar US$ 45,5 juta)
    Kreditor: ICICI
    Jaminan: 697,3 juta saham BUMI
    Jatuh Tempo: Juli 2010

    Rp 15 miliar (Lunas)
    Kreditor: Sucorinvest Gani
    Jaminan: 3,529 juta saham BUMI
    Jatuh Tempo: Oktober 2008
    Status: Lunas

    Rp 231,8 miliar (Current)
    Kreditor: PNM Investment Management
    Jaminan: 59,122 juta saham BUMI
    Jatuh Tempo: Januari-Februari 2008

    Rp 10 miliar (Current)
    Kreditor: Aldira
    Jaminan: 11,450 juta saham UNSP
    Jatuh Tempo: November 2008

    Rp 35 miliar (Current)
    Kreditor: Sarijaya Sekuritas
    Jaminan: 86,3 juta saham UNSP
    Jatuh Tempo: Desember 2008

    Rp 50 miliar (Current)
    Kreditor: Mandiri Sekuritas
    Jaminan: 97,402 juta saham UNSP
    Jatuh Tempo: Desember 2008

    Rp 30 miliar (Current)
    Kreditor: Dinar Sekuritas
    Jaminan: 83,143 juta saham UNSP
    Jatuh Tempo: Desember 2008

    Keterangan: BUMI: Bumi Resources, UNSP: Bakrie Sumatera Plantation, ENRG: Energi Mega Persada, ELTY: Bakrieland Development

    Rabu, 29 Oktober 2008

    Merenungkan Kembali Resep Keynes


    Getty Images/Dorothea Lange / Kompas Images
    Florence Thompson, seorang pekerja migran, ibu dari tujuh anak, merenungi nasibnya saat kemiskinan melanda Amerika Serikat akibat depresi ekonomi yang melanda negara itu tahun 1936. Karya besar fotografer dokumenter Dorothea Lange itu dikenang sebagai simbol yang mewakili sejarah pahit Amerika Serikat.
    Rabu, 29 Oktober 2008 | 03:00 WIB

    Oleh Robert Simanjuntak

    Adam Smith adalah ekonom pertama yang melontarkan frasa ”laissez faire”. Artinya, leave the market alone. Sebab, imbuhnya, mekanisme pasar itu seperti tangan gaib (invisible hand) yang bekerja untuk memastikan keseimbangan yang efisien dan kesejahteraan masyarakat.

    Namun, Bapak Ekonomi Pasar Bebas ini pun merasa bahwa terkadang perlu campur tangan pemerintah. Dalam The Wealth of Nations, ia mengingatkan bahwa perusahaan-perusahaan besar bisa berkonspirasi menentukan harga dan menekan persaingan sehat. Dia juga sadar bahwa peran pemerintah krusial untuk mengatasi soal kemiskinan.

    Ekonom sohor yang sangat menyokong intervensi pemerintah adalah John Maynard Keynes. Dia menolak ide bahwa pasar punya kemampuan self- adjustment. Menurut dia, gangguan kecil pada output atau harga malah bisa diperparah, bukannya diredam oleh ”tangan gaib” mekanisme pasar. Apalagi jika terjadi gonjang-ganjing ekonomi, maka mekanisme itu impoten.

    Depresi besar

    Sampai awal 1929, sudah delapan tahun beruntun ekonomi Amerika menikmati ekspansi. Pada era 1920-an itu, untuk pertama kalinya sejumlah besar rumah tangga memiliki mobil, radio, dan pergi ke bioskop. Pasar modal juga booming. Dalam waktu kurang dari satu dekade, jumlah rumah tangga yang meningkat kekayaannya berlipat ganda.

    Namun, pesta mendadak usai pada 24 Oktober 1929. Pada hari yang dikenal sebagai ”Black Thursday” itu, pasar modal jatuh terempas. Hanya dalam bilangan jam, nilai pasar sebagian besar perusahaan AS terjun bebas. Sampai akhir 1929, lebih dari 40 miliar dollar AS aset masyarakat tergerus. Banyak orang kaya jadi gelandangan. Keluarga-keluarga kehilangan tabungan, rumah, dan bahkan hidup mereka.

    Katastrofa itu merembet dari Wall Street ke perbankan, industri, dan sektor pertanian. Antara 1930 dan 1935, jutaan petani kehilangan ladang mereka. Produksi mobil merosot drastis. Dan, banyak bank terpaksa tutup sehingga presiden Franklin Roosevelt yang baru terpilih awal 1933 terpaksa mengumumkan ”bank holiday” untuk meredam rush oleh nasabah yang panik. Jika pada tahun 1929 jumlah penganggur hanya sedikit di atas 2 persen, setahun kemudian sudah 9 persen. Puncaknya tahun 1933, saat nyaris sepertiga angkatan kerja menganggur.

    Depresi Besar ini menjadi pukulan telak buat para ekonom klasik.

    Preskripsi Keynes

    Bagi Keynes, ketidakstabilan adalah inheren dalam pasar, apa pun kondisinya. Situasi depresi bukanlah kekecualian. Maka, intervensi pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan makroekonomi adalah keniscayaan.

    Pada galibnya, solusi yang dia tawarkan adalah regulasi pemerintah dan kebijakan fiskal untuk memengaruhi permintaan agregat, yakni menaikkan permintaan agregat lewat pemotongan pajak dan kenaikan belanja pemerintah untuk masalah pengangguran/resesi. Atau, mengurangi permintaan agregat lewat pemotongan belanja dan kenaikan pajak jika terjadi inflasi tinggi. Ketika ekonomi macet seperti saat depresi, satu-satunya cara keluar dari perangkap, katanya, adalah dengan mendorong orang mengonsumsi lebih banyak barang. Untuk itu, kenaikan belanja pemerintah akan jadi pemicu.

    Presiden Roosevelt banyak mengadopsi pemikiran Keynes itu demi membawa ekonomi AS keluar dari kubangan. Belanja pemerintah yang dibuatnya untuk proyek-proyek padat karya efektif mengurangi pengangguran. Kepemimpinannya bisa membuat rakyat, para gubernur negara bagian, wali kota, dan legislatif mendukung penuh program pemerintah. Dengan soliditas seperti ini, akhir 1930-an ekonomi AS kembali melejit.

    Konteks sekarang

    Ingar-bingar di pasar keuangan internasional dan domestik sekarang ini tentu belum separah depresi 1930-an. Namun, tak satu negara pun mau kecolongan. Dan, semua negara sejatinya menerapkan, paling tidak sebagian resep Keynes. Indonesia tak terkecuali. Berbagai keputusan pemerintah, seperti kewajiban buy back saham BUMN, kenaikan jaminan simpanan sampai Rp 2 miliar, dan Perpu Jaring Pengaman Sistem Keuangan, itu baik dan perlu. Namun, rasanya belum paripurna. Sebab, dalam konteks Indonesia yang desentralistik, pelibatan daerah masih minimal. Berkaca kepada Roosevelt, kebijakan pemerintah akan solid jika daerah, tanpa kecuali, ikut bahu-membahu.

    Maka, dalam konteks ini, pemerintah akan lebih taktis jika tidak alpa bahwa: i) sepertiga APBN adalah hak daerah; dan ii) dua pertiga APBN dibelanjakan di daerah; serta iii) APBN selalu defisit, sementara banyak APBD surplus! Kuncinya sekarang: komando imperatif dari Presiden.

    Jika itu disadari, kita mungkin akan melihat Presiden minta daerah surplus membeli SUN atau SBN untuk membiayai defisit APBN, sebelum melirik standby loan. Kita mungkin akan melihat Presiden yang memerintahkan disbursement dana APBN dan terutama APBD supaya lebih dipercepat agar roda ekonomi makin bergulir. Itu sekadar dua contoh. Semua ini tentu sah saja. Apalagi di saat krisis. Persoalannya, adakah ide-ide ini mencerahkan?

    Robert A Simanjuntak, Guru Besar FE UI

    Keadaan Bisa Berubah


    Isu Ekonomi Menjadi Topik Kampanye Terakhir

    AP photo/Stephan Savoia / Kompas Images
    Calon presiden AS dari Partai Republik, John McCain, dan istrinya, Cindy, disambut pendukungnya saat berkampanye di Dayton, Ohio, Senin (27/10). Pemilu presiden AS berlangsung 4 November.
    Rabu, 29 Oktober 2008 | 03:00 WIB

    Oleh Simon Saragih

    Boston, Kompas - Sepekan menjelang pemilu presiden AS, 4 November, perang di antara para kandidat makin panas. Aksi saling serang makin gencar. Jajak pendapat terus mengunggulkan Barack Obama. Namun, kubu Demokrat tidak mau berpuas diri dan kubu Republik berharap masih bisa mengubah keadaan.

    ”Dalam sepekan ini kita bisa berharap sejarah akan tercipta,” ujar Obama dalam kampanye di St Davids, Pennsylvania, Senin (27/10). Jika Obama menang, jelas hal itu akan menambah catatan baru bahwa seorang kulit hitam pertama kali menjadi presiden, menambah catatan yang sudah muncul bahwa seorang kulit hitam telah pernah menjadi calon presiden di AS.

    Untuk memperkuat kampanyenya, Obama mengatakan dalam 21 bulan terakhir, ”Kita tetap tidak bisa melihat John McCain yang berbeda secara total dari Presiden George W Bush.” Hal ini dia utarakan untuk menepis pesan McCain bahwa dia akan membawa perubahan dan dia bukan orangnya George W Bush.

    Persepsi bahwa McCain sama saja dengan Bush telah membuat pamor McCain tidak populer. Kecuali di kalangan kelompok sayap kanan yang mengagungkan supremasi kulit putih.

    Untuk mengatasi kelemahan, yang oleh McCain sendiri memang diakui sedang sulit, McCain menekan Obama. ”Obama adalah agen redistribusi kekayaan dan akan mengorek kantong Anda dengan rencana peningkatan pajaknya,” kata McCain.

    ”Jika dia agen redistribusi kemakmuran, maka saya berjuang untuk menjadi presiden,” kata McCain di Canton, Ohio.

    McCain mengakui, setidaknya Kongres AS diperkirakan berada dalam genggaman Demokrat.

    Menambah tekanan kepada Obama, calon wakil presiden Republik, Sarah Palin, mengatakan, ”Pajak yang dicanangkan Obama akan membebani pekerja keras. Ini terkesan sebagai sosialis.”

    Palin kembali menekankan soal siapa jati diri Obama, sesuatu yang harus dijelaskan sebelum warga memiliki informasi yang jelas soal Obama. Palin mengasosiasikan Obama dengan teroris AS tahun 1960-an, Bill Ayers.

    Isu ekonomi

    Isu ekonomi kini menjadi faktor paling menentukan dalam pemilu AS. Krisis keuangan, yang dipicu keserakahan Wall Street, telah membangkrutkan sejumlah korporasi. Para eksekutif berbisnis tanpa mengindahkan risiko. Namun, di sisi lain, para eksekutif memperkaya diri dengan program bonus besar-besaran.

    Di dalam negeri, Presiden Bush mengurangi pajak korporasi yang menurunkan penerimaan pemerintah. Defisit anggaran pemerintah sekitar 415 miliar dollar AS. Liberalisasi perdagangan telah membuat AS kemasukan impor lebih banyak daripada ekspor AS. Hal ini diperburuk dengan anggaran perang AS yang meningkatkan defisit anggaran pemerintah serta potensi utang luar negeri AS yang akan mencapai 11,8 triliun dollar AS. Kini warga AS sedang diharubirukan oleh kegagalan bayar cicilan rumah.

    Obama akan meningkatkan pajak korporasi, tetapi menurunkan pajak untuk 95 persen warga. Ini bertujuan mendorong redistribusi pendapatan, satu hal yang disetujui para ekonom AS. Ekonomi AS sepanjang dekade 2000- an ditandai dengan keadaan di mana warga kaya makin kaya dan kaum papa makin miskin. Obama juga berjanji membawa ”sebuah harapan”.

    Di sisi lain, calon wakil presiden Demokrat, Joe Biden, di Greenville, North Carolina, mengatakan, ”McCain bukanlah orang yang akan membawa perubahan. Jika McCain mengatakan dirinya sebagai pembawa perubahan, ini jelas tidak pas.”

    Secara keseluruhan, komentar media dan televisi di AS menjagokan Obama. Steve Forbes, pebisnis dan pemilik majalah Forbes, mengatakan Obama tampaknya akan menang. Televisi CNN memberitakan bahwa Obama tampil lebih pas dan setiap kalimat yang dia utarakan memunculkan antusiasme. Televisi ABC juga memunculkan komentar George Stephanopoulos bahwa antusiasme warga AS kepada Obama.

    Prediksi CNN terbaru menunjukkan Obama akan meraih 277 suara dan McCain 174 suara. Masih ada suara lain dari total 538 suara yang berpotensi diperebutkan. Seorang calon presiden harus meraih minimal 1.270 suara untuk bisa menjadi presiden.

    Meski demikian, kubu Obama menekankan bahwa hasil jajak pendapat tidak akan membuat Demokrat berpuas diri. ”Dari sisi Obama, jajak pendapat tidak akan dijadikan sebagai alasan untuk berpuas diri. Kami tetap dengan pesan untuk perubahan dan terus dilanjutkan dalam sepekan mendatang,” kata Michelle Obama, istri Obama, di NBC, dalam program The Tonight Show yang dibawakan Jay Leno.

    Terpuruk karena Kepanikan yang Dibuat Sendiri


    Rabu, 29 Oktober 2008 | 01:50 WIB

    Oleh Tjahja Gunawan

    Kurs tengah rupiah Bank Indonesia pada Selasa (28/10) berada di level Rp 11.743 per dollar AS atau melemah dibandingkan dengan sehari sebelumnya, Rp 10.315 per dollar AS. Pada saat yang sama, Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia turun ke level 1.111,39 atau turun 4,72 persen dibandingkan dengan hari Senin.

    Bursa Efek Indonesia merupakan satu-satunya bursa di Asia yang terperosok, sementara bursa Asia lainnya sudah mulai menguat kembali (rebound), Selasa kemarin.

    Menyaksikan rupiah dan harga saham yang terpuruk kemarin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera memberikan keterangan kepada wartawan. Kemudian pada malam harinya, Presiden juga mengumpulkan para menteri ekonomi dan Gubernur Bank Indonesia.

    Presiden menyatakan bahwa dirinya siap mengambil risiko apapun untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia dari ancaman krisis keuangan global. Sikap yang memang seharusnya ditunjukkan oleh seorang Presiden.

    Sebelumnya pemerintah dan BI sudah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengantisipasi dampak krisis keuangan global. Bahkan untuk kepentingan itu, Presiden Yudhoyono sudah mengeluarkan 10 langkah khusus.

    Meskipun semua strategi dan jurus sudah dikeluarkan oleh pemerintah dan BI, tetapi mengapa harga saham maupun kurs rupiah masih tetap terpuruk?.

    Pertanyaan lanjutannya, apakah kebijakan pemerintah dan instrumen moneter BI masih kurang sehingga belum bisa meredam gejolak di pasar finansial ?

    Fundamental ekonomi nasional saat ini, sesungguhnya relatif lebih baik dibandingkan kondisi krisis ekonomi Indonesia tahun 1997-1998.

    Demikian pula kondisi perbankan nasional sekarang, jauh lebih kuat dibandingkan tahun 1998 (lihat tabel). Oleh karena itu secara teknikal seharusnya harga saham maupun nilai mata uang rupiah terhadap dollar AS, tidak terpuruk tajam seperti sekarang.

    Akan tetapi, pasar memiliki logika sendiri yang tidak bisa dilawan oleh pemerintah maupun BI sebagai otoritas moneter. Tapi, semoga belum pulihnya kurs rupiah maupun harga saham di dalam negeri kali ini, bukan disebabkan oleh jeleknya kredibilitas para pengambil kebijakan.

    Persoalan kredibilitas ini penting karena apapun kebijakan yang diambil tidak akan memberi dampak signifikan kalau kepercayaan masyarakat mulai berkurang, kalau bukan dikatakan sudah hilang.

    Persoalan jeleknya kredibilitas pemerintah juga terjadi pada krisis ekonomi tahun 1997-1998. Meskipun Menteri Keuangan waktu itu, Mar'ie Muhammad, berulang kali menyatakan bahwa fundamental makro ekonomi kuat, tetapi masyarakat sudah tidak percaya lagi pada pemerintahan Orde Baru. Sehingga apapun langkah dan kebijakan yang diambil, menjadi tidak efektif.

    Ditambah lagi industri perbankan waktu itu sangat rapuh sehingga cepat rontok ketika mengalami krisis likuiditas dan pelemahan kurs rupiah.

    Pada tahun 1997-1998, memang banyak fakta yang disembunyikan oleh rezim Orde Baru.

    Oleh karena itu, semoga sekarang tidak ada hal-hal yang disembunyikan oleh pemerintah maupun BI baik yang menyangkut kepercayaan dari perbankan di luar negeri maupun kasus yang dialami Bank Indover, anak perusahaan BI di Belanda.

    Jangan reaktif

    Beberapa kali pemerintah meminta masyarakat untuk tidak panik menyikapi situasi krisis global kali ini, tetapi alangkah baiknya para pengambil kebijakan juga tidak reaktif dalam mengambil keputusan.

    Kualitas keputusan yang diambil pemerintah harus tepat waktu dan sasaran . Dalam situasi seperti sekarang, terutama dalam menyikapi kondisi fluktuasi rupiah maupun harga saham di pasar modal, komentar yang berlebihan bisa ”dihukum” oleh para pelaku pasar.

    Saat ini masyarakat khususnya dunia usaha membutuhkan kebijakan yang pasti dan realistis untuk diterapkan. Akan percuma menyusun berbagai langkah menghadapi krisis global kalau tidak bisa dilaksanakan di lapangan apalagi jika jajaran birokrasinya tidak solid.

    Dengan kata lain, keterpurukan ekonomi bisa terjadi karena kepanikan akibat ulah kita sendiri. Meskipun pusat getaran krisis keuangan berada di Amerika, dampaknya bisa dengan cepat menjalar ke Indonesia jika kita semua ikut panik.

    ”Bagaimana tidak panik. Hari ini (kemarin), kurs rupiah sudah menembus angka Rp 12.000 di pasar spot,” kata Aldo, seorang peserta seminar Peluang dan Tantangan Bank Perkreditan Rakyat Menghadapi Krisis Keuangan Global.

    Kondisi psikologis masyarakat khususnya mereka yang banyak bergerak di sektor finansial, tidak lagi mempan dihimbau dengan kalimat ”Jangan panik”. Mereka membutuhkan kepastian kebijakan dan soliditas dari para pengambil kebijakan.

    Gelombang ”redemption”

    Sementara itu pengamat ekonomi Dradjad H. Wibowo, masih melihat adanya gelombang redemption besar-besaran di dunia yang menyebabkan kurs rupiah dan harga saham di dalam negeri masih terpuruk.

    ”Repotnya, uang hasil redemption itu dibuat dalam bentuk dollar AS. Itu yang membuat dollar AS menguat terhadap mata uang dunia. Padahal, mestinya dollar AS kan merosot karena ekonomi AS terkena resesi,” jelas Dradjad Wibowo.

    Setelah sebelumnya pasar saham terkena imbas, kini giliran mata uang di dunia yang terkena dampaknya. Minggu lalu, mata uang Rupee India yang merosot.

    Mata uang Asia lainnya tinggal menunggu giliran. Jadi, rupiah memang bakal terdepresiasi. Tapi merosotnya rupiah saat ini terlalu besar atau overshooting.

    Selain sentimen global, pelaku usaha tampaknya agak khawatir dengan kewajiban valuta asingnya. ”Jadi mereka juga menubruk valas untuk berjaga-jaga,” tambah Dradjad.

    Pengamat ekonomi lainya, Aviliani menyatakan, hampir semua pengambil kebijakan di negeri ini beranggapan bahwa penularan krisis global pada perekonomian domestik akan menempuh mekanisme transmisi perdagangan dengan segala turunannya.

    Anggapan itu, kata Aviliani, tidaklah salah meski kurang tepat. Dalam kajian teoritis tradisional, siklus bisnis antar satu negara dengan negara lainnya saling terkait antara lain melalui aliran barang dan jasa.

    Impor satu negara adalah ekspor negara lainnya sehingga resesi di satu negara akan tertransmisikan secara global karena penurunan permintaan di satu tempat menyebabkan tertekannya ekspor di tempat lain.

    Proses pembelajaran dari setiap kejadian krisis ekonomi adalah bahwa masa depan ekonomi tidak sepenuhnya bisa diprediksi. Dr A. Prasetyantoko, dosen Unika Atma Jaya dalam buku terbarunya ”Bencana Finansial”, antara lain menyebutkan bahwa masa depan ekonomi merupakan wilayah yang sumir, abu-abu. Satu-satunya kepastian adalah bahwa dalam jangka panjang kita semua akan mati.

    Fakta itu tampak nyata dalam dunia keuangan. Hari ini, kita bisa menyaksikan betapa masa depan adalah sebuah belantara yang tidak mudah dicerna. Ketidakpastian adalah sesuatu yang begitu nyata.

    Walaupun dihimbau untuk tidak panik, namun dunia finansial selalu dibayang-bayangi oleh kepanikan. Itu antara lain karena informasi tidak pernah tersedia secara sempurna dan rasionalitas manusia sangat terbatas.

    Senin, 27 Oktober 2008

    "Soempah Pemoeda", Semangat Luntur


    Senin, 27 Oktober 2008 | 00:24 WIB

    Oleh BE JULIANERY

    Kepaduan dalam ikatan kebangsaan yang bernama Indonesia kini dirasakan makin lemah. Suara kaum muda, yang pada awal zaman pergerakan menyerukan persatuan Indonesia, kian jarang terdengar. Sebaliknya, semangat kedaerahan makin kental terasa.

    Tahun lalu dalam peringatan 79 Tahun Sumpah Pemuda di Taman Komunikasi Kanisius, Yogyakarta, 31 Oktober 2007, Franz Magnis-Suseno, guru besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, menyatakan, salah satu tantangan terhadap perasaan kebangsaan adalah egoisme dan kepicikan perasaan kedaerahan.

    Dalam sistem politik pascareformasi saat ini, bentuknya bisa muncul bermacam-macam. Dalam konteks desentralisasi kekuasaan (otonomi daerah), di mana tuntutan persamaan hak dan kesejahteraan didasarkan kepada identitas kedaerahan, pemekaran wilayah adalah muaranya.

    Di sisi lain, laju perubahan sistem dan struktur politik yang luar biasa selama 10 tahun terakhir telah memberikan berbagai ruang politik, sosial, dan ekonomi yang baru bagi semua pihak. Sayangnya, bersamaan dengan munculnya peluang itu, kaum muda juga terjebak dalam pergumulan nilai yang acap kali bernuansa dangkal.

    Kaderisasi parpol ditanggapi tergagap oleh parpol dengan menyingkirkan kader partai yang dianggap menyuarakan kepentingan berbeda dengan opini elite parpol. Demikian juga dalam pencalegan, kader dikalahkan oleh semata popularitas selebriti dalam upaya mengejar kemenangan.

    Akumulasi kegagapan politik elite, baik secara sektoral-kewilayahan maupun kategorik, pada akhirnya merembet kepada kondisi sosial masyarakat kaum muda yang terwujud dalam persoalan remeh-temeh seperti tawuran mahasiswa, tawuran antarkampung, sikap pragmatis-konsumtif, dan sikap tidak disiplin.

    Pembangunan semangat kebangsaan yang dewasa tampaknya memang sedang menjadi ujian berat bagi Indonesia saat ini. Dalam rangkaian jajak pendapat tahunan Kompas tentang Sumpah Pemuda tercermin makin terpuruknya kiprah kaum muda dalam pembangunan rasa kebangsaan tersebut.

    Saat ini tiga kali lipat lebih banyak publik yang menilai makin lunturnya semangat persatuan bangsa Indonesia dibandingkan dengan yang berpendapat sebaliknya. Penonjolan kepentingan daerah daripada kepentingan nasional oleh kaum muda juga semakin dominan dirasakan tiga dari empat responden.

    Di mata separuh responden, kaum muda dinilai memiliki kecenderungan merusak daripada memupuk semangat persatuan meski di sisi lain diakui pula mereka kini lebih berani menyuarakan pendapat, sikap kritis terhadap pemerintah.

    Kuatnya primordialitas

    Perubahan dalam berbagai aspek kehidupan telah membuat wajah Indonesia sangat berbeda dengan zaman pergerakan saat sumpah pemuda dikumandangkan. Kebebasan politik, ekonomi, dan gaya hidup menjadi ciri yang lekat dengan kekinian.

    Kaum muda masa kini bergelut dengan kesulitan riil (dan ilusif) di tengah keinginan untuk tetap menjaga ikatan-ikatan primordial dan tradisi asal. Mereka, misalnya, merasa lebih baik jika dalam rumah tangganya yang ada hanyalah ”ke-ika-an” dibandingkan dengan kebhinnekaan.

    Dalam kehidupan sehari-hari, lebih dari tiga perempat responden (76,5 persen) mengaku masih terikat dan mematuhi tata krama, atau adat istiadat serta tradisi asal mereka, meski separuh dari mereka tidak lagi tinggal atau menetap di daerah asal.

    Perkembangan zaman telah membuat semakin mudah orang muda berinteraksi sosial, termasuk dalam urusan mencari pasangan hidup. Namun, separuh responden (55,3 persen) mengakui sejak awal memilih pasangan hidup (istri atau suami) dari etnis, suku bangsa, dan agama yang sama dengan dirinya.

    Sulit dimungkiri, menguatnya ”politik simbol-identitas” yang melanda masyarakat membuat kaum muda sering kali tak memiliki banyak pilihan, apalagi jika masih terkait persoalan nilai tradisi atau keluarga. Menerjemahkan semangat persatuan kebangsaan dalam kondisi demikian jelas bukan urusan kaum muda semata.

    Dalam konteks nasional, di antara berbagai hal yang dianggap melemahkan persatuan Indonesia, persoalan ekonomi dan kesenjangan sosial dinilai 62 persen responden sebagai faktor utama. Sedikit responden (28,2 persen) menyebut, persatuan melemah karena perbedaan ideologi dan perasaan tidak diperhatikan pemerintah pusat yang ujung-ujungnya adalah keinginan memisahkan diri dari Republik.

    Modal persatuan

    Warga Nusantara yang bhinneka, berasal dari berbagai etnis dan agama, pernah berikrar menjadi ”ika”—satu kesatuan—pada 28 Oktober 1928 di Jakarta yang pada masa itu bernama Batavia. Sumpah Pemuda dikumandangkan.

    Hanya saja, menjaga ikatan persatuan itu barangkali memang bukan urusan mudah. Di seluruh Indonesia terdapat 1.068 suku bangsa dengan 746 bahasa daerah. Dengan kondisi seperti ini, hanya dengan keterbukaan, menghormati perbedaan, atau menerima pluralisme sajalah persatuan Indonesia dapat dipertahankan.

    Pluralisme, seperti dijelaskan Franz Magnis-Suseno, adalah kesediaan menerima kenyataan bahwa dalam masyarakat ada cara hidup, budaya, dan keyakinan agama yang berbeda, serta kesediaan untuk hidup, bergaul, dan bekerja sama serta membangun negara bersama.

    Meskipun dipandang perlu, peringatan seremonial saja Sumpah Pemuda tidak cukup. Pemahaman nilai-nilai yang mempersatukan itulah yang tampaknya lebih dibutuhkan. Tiga perempat responden berpendapat, orangtua/keluarga, serta tradisi/budaya di masyarakat sangat strategis dipakai untuk menanamkan nilai kebhinnekaan yang luntur saat ini.

    Dalam pandangan publik, tiga pilar setidaknya masih menjadi modal untuk menggali nilai persatuan, yaitu kekayaan alam, tradisi luhur, dan semangat gotong royong.

    Ketiganya masih menjadikan mereka bangga sebagai orang Indonesia. Paling tidak, untuk kompensasi terhadap ironi tingginya korupsi, kemiskinan, dan berbagai ketertinggalan dalam bidang pengetahuan dan teknologi. (Litbang Kompas)

    Menghadapi Resesi Ekonomi Dunia

    Analisis
    Oleh: Umar Juoro

    Hampir dapat dipastikan, perekonomian AS dan dunia pada umumnya akan mengalami resesi sebagai akibat berkelanjutan dari krisis finansial AS yang dipicu oleh permasalahan KPR berkualitas rendah (subrpime mortgage). Resesi didefinisikan sebagai pertumbuhan ekonomi negatif selama dua triwulan berturut-turut. Krisis ekonomi AS diperarah oleh kompleksnya transaksi keuangan derivatif serta melemahnya kepercayaan antarlembaga keuangan dan antarlembaga keuangan dengan nasabahnya.

    Akibatnya, terjadi pengetatan kredit (Icredit crunch) yang mempersulit perbankan, perusahaan, dan bahkan rumah tangga untuk mendapatkan dana pinjaman. Bagi lembaga keuangan yang mempunyai dana cukup, tidak bersedia memberikan pinjaman karena khawatir tidak akan dapat dikembalikan. Akibatnya, bukan hanya sektor keuangan, tetapi sektor riil dan rumah tangga terpengaruh oleh krisis tersebut. Karena itu, kecenderungannya adalah baik institusi maupun perorangan mengalihkan dananya dalam bentuk tunai atau surat berharga Pemerintah AS yang dianggap aman atau emas. Hal ini menyebabkan semakin menguatnya nilai dolar AS sekalipun fundamental ekonominya melemah.

    Krisis ekonomi tersebut meluas ke Eropa dan juga berpengaruh ke Asia, termasuk Indonesia. Menghadapi krisis ini, dapat dikatakan tidak ada ideologi lagi, bahkan bagi pemerintahan yang memuja pasar bebas, seperti di AS yang diikuti oleh Jerman, Inggris, dan Prancis serta negara lain dengan melakukan intervensi besar-besaran dalam bentuk bantuan likuiditas, menyuntikkan modal, dan mengambil alih bank yang bermasalah. Langkah ini pun masih belum mencukupi sebagaimana yang terlihat dari terus melemahnya indeks pasar modal di AS, Eropa, dan Asia, bahkan menular ke Indonesia. Permasalahan psikologis pelaku ekonomi yang cenderung panik, tidak percaya kepada lembaga keuangan formal, menyulitkan penyelesaian permasalahan dengan cara-cara konvensional.

    Pengaruh yang dialami Indonesia sangat terasa pada pasar modal yang indeksnya mengalami penurunan sekitar 45 persen sejak awal tahun. Dengan keluarnya pemodal asing dari pasar modal Indonesia, nilai rupiah pun mengalami pelemahan sekitar 8 persen sejak awal tahun dan melampaui batas psikologis Rp 10.000. Pelemahan nilai rupiah ini sebenarya tidak seburuk yang dialami negara lain. Dengan resesi ekonomi dunia, ekspor juga akan mengalami penurunan, demikian pula investasi. Harga komoditas yang merupakan ekspor utama Indonesia, seperti CPO dan batu bara, mengalami penurunan. Demikian pula, investasi yang bahkan sudah disepakati akan mengalami penundaan.

    Kegiatan ekonomi domestik sangat dipengaruhi oleh keadaan perbankan nasional. Sebenarnya, perbankan Indonesia pada umumnya adalah sehat, baik dilihat dari profitabilitas, dana, maupun kecukupan modal. Namun, ketatnya likuiditas seiring dengan tumbuh tingginya kredit perbankan memberikan gangguan terhadap sistem perbankan. Pertumbuhan kredit terlampau tinggi melebihi 30 persen yang tidak sejalan dengan pertumbuhan penghimpunan dana pihak ketiga.

    Pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan memberikan jaminan asuransi bagi deposito sampai dengan Rp 2 miliar dengan bunga 10 persen yang telah mencakup sekitar 60 persen dari total dana di perbankan. BI juga telah memberikan berbagai fasilitas, seperti repo (penggadaian surat utang negara kepada BI untuk mendapatkan dana), menurunkan Giro Wajib Minimun, dan beberapa langkah lainnya.

    Namun langkah-langkah tersebut masih belum efektif mengurangi ketatnya likuiditas perbankan. Tambahan lagi perbankan cenderung tidak memberikan kredit baru, dan memnita kolateral yang lebih besar, termasuk dalam penerbitan LC untuk eksportir dan importir. Apalagi, negara tetangga Singapura dan Malaysia telah memberikan perlindungan sepenuhya kepada deposito perbankan. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya krisis perbankan yang akan merusak perekonomian seperti pada 1998, sudah saatnya pemerintah memberikan jaminan deposito secara menyeluruh terhadap dana di perbankan. Hal ini penting dilakukan untuk memberikan kepastian kepada perbankan dan nasabahnya.

    Karena, kemungkinan krisis perbankan dari sisi internal relatif kecil maka risiko pemberian jaminan penuh terhadap deposito ini dapat dikendalikan. Langkah ini juga akan mengurangi persaingan tidak sehat antarperbankan untuk menghimpun deposito dan mempertahankan kepercayaan sesama perbankan.Permasalahan yang semestinya bisa diselsaikan secara bisnis rasional, seperti Bank Indover dan kewajiban Bumi Resources, harus dilakukan segera. Jangan sampai permasalahan ini memberikan alasan tambahan bagi investor untuk semakin menekan pasar modal dan nilai rupiah.

    Tentu saja tidak fair jika pemerintah tidak mengembangkan kebijakan untuk mendukung sektor riil dan kepada masyarakat terutama yang rentan terhadap kehilangan kesempatan kerja. Karena, kebijakan itu akan membantu sektor riil yang terpukul, terutama petani penghasil komoditas seperti kelapa sawit, pertanian pangan yang mempekerjakan banyak tenaga kerja, serta industri manufaktur yang belakangan ini semakin tertekan. Pengembangan ekonomi dalam negeri, antara lain dengan subsitusi produk impor, akan menurunkan tekanan pada nilai rupiah dan membuka peluang yang lebih besar di dalam negeri. Selanjutnya, perekonomian Indonesia dapat lebih siap mengambil manfaat pada saat perekonomian dunia pulih kembali.

    (-)

    Suku Bunga Antarbank Mulai Turun


    Senin, 27 Oktober 2008 | 02:16 WIB

    Oleh MIRZA ADITYASWARA

    Tulisan ini mengajak masyarakat memahami apa yang sebaiknya diperhatikan dalam menyikapi gejolak ekonomi global yang sedang kita hadapi saat ini.

    Kondisi indeks bursa saham memang paling mudah diakses oleh media. Namun, indeks Bursa Efek Indonesia (BEI) bukanlah patokan yang tepat untuk menggambarkan keadaan ekonomi Indonesia karena BEI terimbas oleh sentimen negatif investor portofolio di seluruh dunia yang sedang tidak rasional.

    Kepemilikan investasi saham oleh masyarakat Indonesia masih sangat kecil, apalagi sifat bursa saham cenderung overshoot, yaitu bisa naik terlalu tinggi ataupun turun terlalu tajam.

    Pada saatnya nanti ketika perbankan internasional mulai menyalurkan kredit dan produk domestik bruto (PDB) Amerika dan Eropa mulai pulih, indeks bursa saham dunia tentunya akan naik perlahan-lahan.

    Indikator pasar keuangan apa yang lebih tepat menggambarkan kondisi pasar keuangan Indonesia saat ini? Sebaiknya kita melihat kepada kondisi likuiditas pasar uang, tecermin pada suku bunga antarbank.

    Krisis pasar keuangan yang melanda dunia saat ini berawal dari kerugian besar yang dialami perbankan di Amerika dan Eropa karena investasi mereka di subprime credit jeblok.

    Kerugian besar yang dialami perbankan internasional kemudian merembet kepada rasa saling tidak percaya antarbank internasional. Karena itu, untuk sementara waktu mereka mengurangi transaksi pinjam-meminjam antarbank.

    Hal inilah yang menyebabkan terjadinya likuiditas ketat di seluruh dunia, terutama likuiditas valuta asing. Situasi likuiditas ketat sedang ditangani oleh semua bank sentral di dunia.

    Bank sentral di negara masing-masing melakukan injeksi likuiditas mata uang lokal ke sistem perbankan. Contohnya, Bank Sentral Amerika melakukan injeksi likuiditas dollar.

    Bank Sentral Jepang melakukan injeksi likuiditas yen, sedangkan Bank Sentral Eropa melakukan injeksi euro. Hal ini pun dilakukan Bank Indonesia yang melakukan injeksi likuiditas rupiah dengan melonggarkan fasilitas ”repo” dan menurunkan giro wajib minimum perbankan (GWM).

    Pelonggaran GWM mulai minggu ketiga Oktober sudah memberikan tambahan likuiditas rupiah sekitar Rp 55 triliun dan tambahan likuiditas valuta asing sekitar 400 juta dollar AS. Injeksi likuiditas dollar juga dilakukan lewat mekanisme swap dollar oleh Bank Sentral Amerika dengan beberapa negara di Eropa.

    Usaha serentak ini mulai menunjukkan hasil. Per minggu lalu, suku bunga antarbank dalam dollar atau London Inter Bank Offer Rate (LIBOR) untuk pinjaman satu hari (overnite) telah turun signifikan dari 4,5 persen menjadi 1 persen.

    LIBOR untuk pinjaman 1 dan 3 bulan juga turun dari 4,5 persen menjadi 3,2 persen-3,5 persen. Dalam situasi normal, LIBOR berada tidak jauh dari suku bunga Bank Sentral Amerika (Fed Fund Rate) yang saat ini 1,5 persen.

    Artinya, pada saat ini suku bunga antarbank untuk pinjaman satu hari telah normal, tetapi suku bunga pinjaman di atas 1 bulan, walaupun juga turun, masih agak tinggi.

    Agar perbankan internasional bersedia melakukan transaksi lebih panjang dari sekadar overnite, beberapa negara maju telah memberikan penjaminan untuk transaksi pinjam-meminjam antarbank dan penerbitan surat utang bank.

    Kabar baik juga ada di perbankan Indonesia. Walaupun BI tidak menurunkan BI Rate, likuiditas rupiah sebenarnya sudah lebih longgar.

    Suku bunga rupiah antarbank untuk transaksi satu hari telah turun dari 12 persen menjadi 10 persen. Suku bunga antarbank rupiah untuk transaksi 1 bulan juga turun menjadi 11 persen dibandingkan dengan 13 persen pada bulan September 2008.

    Diharapkan kondisi yang membaik ini terus terjaga, hal mana ditentukan oleh kesigapan pemerintah plus bantuan dari semua pihak untuk memberikan keteduhan.

    Selain tambahan likuiditas, perbankan Amerika dan Eropa memerlukan apa lagi? Bank tidak bisa berfungsi menyalurkan kredit kepada sektor riil jika bank memiliki kredit macet dan modal bank menyusut.

    Artinya, perbankan di AS dan Eropa harus membersihkan neracanya dari kredit macet. Setelah neraca dibersihkan dari kredit bermasalah, mereka memerlukan injeksi modal karena ekuitasnya tergerus oleh kerugian. Oleh karena itu, Pemerintah AS dan Inggris telah menyetujui paket injeksi modal dan mengambil alih kredit bermasalah 700 miliar dollar AS dan 500 miliar poundsterling.

    Agar masyarakatnya tenang, banyak negara di dunia memberikan penjaminan dana nasabah perbankan. Walaupun perbankan Indonesia dalam kondisi aman, demi menjaga stabilitas sistem keuangan, Indonesia telah cepat melakukan antisipasi, menaikkan penjaminan dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 miliar per nasabah bank.

    Setelah Pemerintah Indonesia bertindak, ternyata beberapa negara tetangga lebih ”sigap”, yaitu memberikan penjaminan penuh. Akan tetapi, masyarakat tidak perlu khawatir, peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang baru saja diterbitkan telah memberi kuasa kepada pemerintah untuk menaikkan penjaminan dana nasabah jika dianggap perlu. Tentu saja dukungan DPR sangat diharapkan oleh masyarakat dalam proses ini.

    Selain kondisi bursa saham, perhatian masyarakat Indonesia juga selalu berlebihan tertuju kepada kurs rupiah terhadap dollar. Padahal, kurs rupiah hanya melemah 8 persen pada tahun ini.

    Pelemahan rupiah yang terkendali akan menolong eksportir yang terkena resesi ekonomi global. Selain itu, juga dibutuhkan untuk menurunkan impor agar surplus devisa neraca perdagangan terjaga.

    Penurunan harga komoditas dunia telah memukul daya beli masyarakat di luar Jawa, tetapi menurunkan inflasi di seluruh Indonesia.

    Jika inflasi mulai turun, BI Rate tentunya tidak perlu naik lagi. Selain itu, penurunan harga minyak telah memperbaiki posisi defisit anggaran pemerintah karena mengecilnya subsidi bahan bakar minyak.

    Sabtu, 25 Oktober 2008

    Asem dan Krisis Global

    Harapan besar bakal adanya terobosan penting dalam upaya mengatasi krisis finansial global digantungkan pada pundak para pemimpin Asia-Eropa.

    Perhatian dunia terhadap Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Eropa (Asem) di Beijing, China, sekarang ini sangat besar. Itu karena forum ini merupakan forum akbar pertama yang melibatkan banyak negara maju dan berkembang pemain ekonomi penting dunia, sebelum KTT G-20 yang direncanakan dilaksanakan di Washington pertengahan November.

    Seperti ditekankan oleh sejumlah pemimpin negara peserta Asem, semangat dari pertemuan ini adalah upaya bersama global untuk mengatasi krisis global. Salah satu hal yang paling ditunggu-tunggu sekarang ini adalah respons negara-negara Asia, terutama China.

    Desakan pada China dan Asia untuk berperan lebih besar dalam upaya mengatasi krisis global sangat kuat.

    Sebagai kawasan ekonomi paling dinamis yang menguasai sepertiga cadangan devisa dunia dan relatif tak terpengaruh krisis global, tidak mungkin persoalan ekonomi global sekarang ini bisa diselesaikan tanpa melibatkan Asia. Terutama China dengan cadangan devisa yang kini 1,9 triliun dollar AS.

    Karena itu, pada akhir pertemuan, diharapkan ada langkah aksi dan terobosan besar untuk memperkuat koordinasi dan respons global terhadap krisis. Di antara gagasan yang muncul adalah pembentukan joint trust fund atau yang dilontarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mempercepat pembentukan dana siaga yang bisa dimanfaatkan sewaktu-waktu oleh negara yang mengalami kesulitan finansial.

    KTT ini tampaknya juga akan dimanfaatkan para pemimpin Eropa untuk mendapatkan dukungan Asia dalam menghadapi AS pada KTT G-20, terkait gagasan reformasi sistem finansial global, termasuk keinginan menghidupkan kembali sistem Bretton Woods.

    Bagi Asia sendiri, ini pertemuan pertama pemimpin negara sejak krisis finansial merebak di AS, sehingga menjadi momentum penting untuk kembali mengonsolidasikan kekuatan dalam upaya memperkuat benteng sistem ekonomi menghadapi dampak krisis global.

    Krisis global sendiri membuka peluang bagi Asem sebagai forum yang mewadahi 43 negara yang mewakili separuh PDB dunia, 60 persen penduduk dunia, dan 60 persen perdagangan global, untuk memperkuat pengaruh di tengah perubahan konstelasi geopolitis dan ekonomi dunia. Terutama dengan posisi AS yang kini bukan hanya tidak bisa diharapkan jadi motor, tetapi justru jadi sumber dari masalah yang dihadapi ekonomi global dewasa ini.

    Cukupkan Diri, Jangan Berlebihan


    Sabtu, 25 Oktober 2008 | 00:35 WIB

    A Setyo Wibowo

    Para ahli ekonomi dan keuangan sepakat, akar meledaknya busa sabun moneter di Amerika Serikat adalah ketamakan akan uang. Kredit perumahan yang awalnya baik karena didasarkan pada kreditor prima menjadi awal terbentuknya gelembung hampa spekulasi.

    Uang memperanakkan uang, menjauh dari yang riil, menggelembung menebarkan janji memikat. Ketika pecah, kehampaan siap menyeret dunia ke jurang kekosongan. Di balik itu, ketamakan akan uang adalah penyebab utama.

    Bagaimana menyikapi ketamakan? Sokrates, pemikir Yunani abad ke-5 SM, bapak segala filsafat, mengatakan, kenalilah dirimu sendiri dan jangan berlebih-lebihan. Puncak kebijaksanaan adalah ketika manusia tahu jati dirinya adalah jiwanya (bukan hartanya). Bila jiwa diakui sebagai yang terpenting dari manusia, dan diberikan prioritas, maka terhadap segala sesuatu, diri sejati itu akan mengatakan, jangan berlebihan, cukupkan dirimu.

    Utama sama dengan sukses

    Maksim ini terlalu moralistik? Pada titik tertentu iya, meski ”moral” di sini harus dimaknai bukan dalam arti baik dan jahat. Bagi Sokrates, keutamaan (arete) tidak pertama-tama judgement moralistik. Keutamaan adalah excellency, kinerja optimal sesuatu, atau katakanlah kesuksesan.

    Penting ditekankan, keutamaan dalam filsafat Yunani belum ditunggangi pemahaman modern tentang moral dan agama. Keutamaan adalah optimalnya inti kemanusiaan, tidak lebih dan tidak kurang. Penjelasan ini urgen karena masyarakat modern justru lebih concern secara instingtif pada kesuksesan hidup daripada kepada moral atau agama! Inilah ironi kita: di mulut berteriak ”moral dan agama mesti ditegakkan”, tetapi setiap hari yang diupayakan hanya kesuksesan hidup. Maka, tanpa meminggirkan pentingnya moral dan agama, mari kita tilik makna kesuksesan hidup tawaran pemikir Yunani 25 abad yang lampau.

    Bagi Sokrates, keutamaan pisau adalah mengiris. Pisau bersifat optimal kalau mampu mengiris. Tumpul, pisau tidak excellent, tidak sukses. Bagaimana dengan manusia? Keutamaan manusia ada pada jiwanya. Manusia optimal, sukses adalah manusia yang hidup dengan memprioritaskan jiwanya. Inilah bagian pertama maksim, ”kenalilah dirimu sendiri”. Kita hanya menjadi manusia sukses sejauh mengakui bahwa jiwa adalah orientasi hidup kita, bukan harta benda.

    Seperti makan, minuman, dan seks, uang adalah sesuatu yang kita nafsui secara tak terbatas. Nafsu (epithumia) makan memasukkan kita dalam lingkaran lapar-makan-kenyang-lapar lagi dan seterusnya. Demikian juga seks dan uang. Nafsu digambarkan murid Sokrates (Platon) sebagai gentong bocor: seberapa pun air dimasukkan, selalu minta diisi.

    Sokratisme tidak membuang makan, minum, seks, dan uang. Itu semua berguna bagi hidup manusia. Namun, justru karena bersifat utilitarian, ia tidak pernah menjadi tujuan dalam diri sendiri. Hidup manusia terarah pada sesuatu yang lain: jiwanya.

    Dan persis pada jiwanya inilah nafsu terdapat! Selain nafsu-nafsu itu, Platon membuat kita sadar, jiwa juga memiliki rasa bangga diri, hormat diri (thumos). Harga diri ambisinya juga tak terbatas, ia bisa membuat manusia lupa segalanya. Harga diri bisa membuat orang nekat.

    Survival yang menjadi tugas penting nafsu bisa diluluhlantakkan oleh harga diri. Harga diri, yang berguna bagi pemaknaan hidup, bisa membuat manusia menghancurkan diri, sesuatu yang tidak pernah dianjurkan Sokrates dan Platon.

    Rasio manusia

    Tahu bahwa diri sejati adalah jiwanya, tahu bahwa jiwanya memiliki nafsu dan harga diri, maka pentinglah unsur-unsur itu diberi tahu agar ”jangan berlebih-lebihan”. Makan boleh, mencari uang boleh, tetapi jangan berlebih-lebihan. Merasa bangga, berani menentang arus juga boleh, tetapi ”secukupnya” saja.

    Apa arti secukupnya? Minimalis? Siapa yang bisa mengatakan ”sudah cukup” atau belum? Jawabannya ada di jiwa. Selain nafsu dan harga diri, jiwa kita memiliki rasio. Akal budi akan mengatakan kepada nafsu dan harga diri yang tak terbatas untuk ”cukup, tahu batas”.

    Bagaimana rasio bisa melakukannya? Tidak ada resep yang mudah. Manusia yang tidak melatih mengendalikan nafsu dan harga diri terbiasa menidurkan rasio sehingga ia tak mampu mengatakan ”cukup”. Rasio hanya bisa mengatakan ”cukup” manakala ia terbiasa bernegosiasi dengan mereka. Inilah filsuf, pencinta kebijaksanaan. Lalu, bagaimana? Tiap orang harus memilih, lingkaran yang memerosokkan atau lingkaran yang membawa ke kebaikan. Pilihan terakhir membuat orang hidup berkeutamaan atau sukses. Manusia sukses adalah dia yang memilih memprioritaskan rasionya untuk mengendalikan ketamakan tanpa batas yang konstitutif di dalam jiwanya.

    Belajar bijaksana

    Berhadapan dengan ketamakan kapitalisme modern, kita berhadapan dengan tembok paradoksal. Kapitalisme terbiasa hidup tanpa pengendalian diri sehingga dari dirinya sendiri tidak bisa mengatakan ”cukup”. Harus ada pihak luar yang mengatakannya. Syukurlah, otoritas negara berani mengatakan ”cukup”. Semoga kapitalisme mau belajar. Sebuah harapan paradoksal karena memasukkan ”kendali negara” dalam sistem kapitalisme dianggap bunuh diri ”isme” itu sendiri.

    Atau, sudah saatnya belajar bijaksana? Waspada dengan kredo kita tentang kapitalisme? Mengapa pebisnis dan penanggung jawab ekonomi negeri ini seakan lalai sila ”keadilan sosial”, horizon ultima sistem ekonomi bangsa?

    Semoga kita tidak mudah percaya begitu saja hanya karena suatu ajaran tampak canggih dan dari negeri hebat, semoga kita lebih mengenali ”diri kita sendiri” sehingga hidup bersama di republik ini memiliki makna dan penuh sukses.

    Menjadi manusia utama, yang sukses hidupnya, adalah harapan kita semua. Syukur-syukur ditambahi agamais dan moralis. Namun, en deça (lebih di bawah lagi) dari sikap itu, keutamaan dalam arti rasional dari Sokrates adalah apa yang kita butuhkan saat ini.

    A Setyo Wibowo Pengajar di STF Driyarkara Jakarta; Alumnus Universitas Paris-I, Sorbonne, Perancis

    Pasar Modal


    Harga Saham di Bursa Efek Indonesia ke Titik Terendah
    Sabtu, 25 Oktober 2008 | 00:58 WIB

    Jakarta, Kompas - Pasar modal Indonesia kembali terpukul menyusul memburuknya kondisi bursa regional.

    Tingginya kekhawatiran terhadap dampak krisis keuangan di Amerika Serikat mendorong investor melepas saham-sahamnya dengan harga murah.

    Harga sejumlah saham unggulan akhirnya mencapai titik terendah dalam beberapa tahun terakhir. Pada perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jumat (24/10), indeks harga saham gabungan anjlok 92,390 poin atau 6,91 persen menjadi 1.244,864. Ini merupakan posisi terendah IHSG sejak Juni 2006.

    Adapun Indeks LQ-45 turun 8,2 persen menjadi 234,533 dan Indeks Kompas100 turun 8,02 persen menjadi 293,08. Dari 214 saham yang diperdagangkan, hanya 16 saham yang mengalami kenaikan harga. Sementara sisanya, 29 saham, harganya tetap dan 169 saham lainnya turun.

    Sebanyak 52 saham mengalami penurunan harga hampir atau telah mencapai 10 persen sehingga terkena penolakan otomatis (auto rejection) batas bawah. Saham-saham yang terkena penolakan otomatis batas bawah ini mulai dari ”saham tidur” sampai saham-saham unggulan, termasuk saham-saham BUMN yang dipagari dengan program pembelian kembali (buy back).

    Dalamnya kejatuhan indeks saham di BEI kemarin mengakibatkan sejumlah saham unggulan mencapai titik terendah dalam 2-3 tahun terakhir. Beberapa di antaranya adalah saham Tambang Batu Bara Bukit Asam (PTBA) menjadi Rp 4.600, Bank Mandiri (BMRI) menjadi Rp 1.480, PP London Sumatera (LSIP) menjadi Rp 1.650, dan Sampoerna Agro (SGRO) menjadi Rp 960. (REI)

    Asia Galang Dana "Swap"

    .
    China Serukan Segera Atasi Krisis Keuangan
    Sabtu, 25 Oktober 2008 | 00:21 WIB

    Beijing, Jumat - Negara-negara di Asia berkomitmen membentuk dana bersama sejumlah 80 miliar dollar AS. Dana ini akan digunakan untuk skema swap multilateral baru yang dimulai pada pertengahan tahun 2009. Langkah ini bagian optimisme pemimpin Asia dan Eropa mengatasi krisis finansial yang sedang terjadi.

    Pembentukan dana ”swap” ini dicapai oleh 13 negara Asia yakni 10 negara anggota ASEAN dan tiga negara lain yakni China, Jepang dan Korea Selatan. Pembentukan ini dicapai disela-sela Pertemuan Asia-Eropa (ASEM) ke-7 yang berlangsung di Beijing, China, mulai Jumat (24/10). Kelompok 13 negara ini juga sering dikenal dengan ASEAN plus-3.

    Para pemimpin ASEAN Plus-3 ini bertemu pada pagi hari sebelum pertemuan pertemuan para pemimpin Asia-Eropa dibuka Presiden China, Hu Jintao.

    ”Para pemimpin dalam pertemuan itu sepakat untuk melaksanakan pertemuan para menteri luar negeri dan gubernur bank sentral sebelum Desember. Pertemuan ASEAN Plus-3 itu akan membahas langkah lebih rinci dalam kerangka kerja sama di kawasan. Mereka juga berbagi pengalaman untuk memperluas sistem swap untuk mempersiapkan diri atas berbagai krisis finansial serta membangun pasar obligasi Asia,” demikian pernyataan Kantor Kepresiden Korea Selatan di Beijing, Jumat (24/10).

    Fasilitas swap multilateral memungkinkan bank sentral negara anggota menarik pinjaman jangka pendek melalui mekanisme swap mata uang domestik terhadap dollar AS, euro atau yen Jepang. Pengertian ”swap” yakni pertukaran suatu valuta dengan valuta lainnya atas dasar kurs yang disepakati. Langkah ini untuk mengantisipasi pergerakan nilai tukar valuta pada masa yang akan datang. Biasanya dana itu antara lain bisa digunakan untuk menjaga nilai tukar mata uang suatu negara, menjaga level cadangan devisa yang aman.

    Skema multilateral ini akan menggantikan swap mata uang yang saat ini sudah ada yaitu Inisiatif Chiang Mai. Dalam kepakatan baru itu Korea Selatan, China dan Jepang setuju menyediakan 80 persen dari total dana atau 64 miliar dollar AS. Sedangkan 10 negara ASEAN menanggung sisanya. Mereka tengah membicarakan rasio kontribusi masing-masing negara dan bagaimana mengaturnya.

    ASEAN plus-3 juga sepakat membangun pasar obligasi. Hal itu dilakukan dengan cara memperkuat mekanisme penyelesaian transaksi di pasar obligasi. Negara-negara di kawasan Asia berjuang keras untuk mengurangi ketergantungan terhadap pembeli surat utang mereka dari negara-negara Barat. ”Kami merencanakan dengan mitra kami di Asia Timur untuk meluncurkan dana itu secepatnya,” ujar Sultan Hassanal Bolkiah dari Brunei.

    Kesepakatan ASEAN Plus-3 ini merupakan bagian dari ”arisan” Asia guna menbantu mengatasi krisis keuangan yang kini melanda AS dan Eropa. Krisis keuangan ini bakal membuat pertumbuhan ekonomi di AS dan kawasan Eropa merosot, dan akan berpengaruh apda ekspor dari Asia ke sana,

    Upaya penyelamatan krisis juga telah dilakukan kawasan lain. Di antaranya, paket penyelamatan 700 miliar dollar AS oleh AS, 691 miliar dollar AS oleh Inggris, 680 miliar dollar AS oleh Jerman, 544 miliar dollar AS oleh Irlandia, 492 miliar dollar AS oleh Perancis. Juga kesepakatan aksi bersama oleh Uni Eropa.

    Segera atasi krisis

    Pada pembukaan Pertemuan Asem ke-7 yang dihadiri pemimpin 27 negara Uni Eropa dan 16 negara Asia, Presiden China Hu Jintao mengatakan perlunya langkah segera mengatasi krisis. ”Untuk sehatnya perekonomian China, maka penting bagi stabilitas finansial global dan pembangunan ekonomi,” kata Hu.

    Uni Eropa pada pertemuan itu meminta Asia untuk memainkan peranan lebih besar dalam pertemuan dengan Presiden AS George W Bush, untuk membantu mereformasi finansial global. Langkah ini untuk mengatasi ketidakseimbangan global yang merupakan akar dari krisis ini.

    Kanselir Jerman Angela Merkel menegaskan, reformasi itu harus difokuskan pada pasar yang lebih transparan, skema kompensasi baru bagi institusi finansial, pengawasan lebih ketat dan eratnya kerja sama internasional.

    Presiden Perancis Nicolas Sarkozy yang kini gilirannya menjadi presiden Uni Eropa mengharapkan Asia dan Eropa dapat memiliki kerangka pikir yang sama dalam pertemuan di Washington, AS, bulan November.

    ”Eropa sangat berharap Asia akan mendukung upaya kami. Kami akan meyakinkan bahwa pada 15 November nanti, kita dapat bersama-sama menghadapi dunia dan mengatakan bahwa penyebab krisis yang sangat tidak terduga ini tidak boleh dibiarkan terjadi lagi,” kata Sarkozy.

    Terus turun

    Harga saham di seluruh bursa saham dunia masih terus melorot selama tiga hari ini. Harga saham mencapai titik terendah dalam lima tahun terakhir. Pasar saham Eropa melemah hingga lebih dari 8 persen. Indeks Nikkei Jepang melemah hampir 10 persen, terendah dalam 5,5 tahun ini.

    Nilai euro merosot ke level terendah dalam dua tahun terakhir dengan kurs 1,25 dollar AS. Dollar juga anjlok menjadi 95 yen Jepang, posisi terendah dalam 13 tahun ini.(AP/AFP/Reuters/joe)

    Rabu, 22 Oktober 2008

    China Terimbas Krisis Global


    Perekonomian China mulai terimbas krisis keuangan global. Tingkat pertumbuhan ekonomi dan kegiatan ekspor dilaporkan cenderung menurun.

    Cepat atau lambat, krisis finansial global memang memberi efek penularan (contagion effect), yang menerjang setiap negara, tak terkecuali raksasa China. Namun, sekuat-kuatnya tekanan krisis keuangan global, perekonomian China tidak sampai limbung seperti dialami banyak negara, termasuk beberapa negara di Eropa.

    Pertumbuhan ekonomi China memang menurun menjadi 9 persen pada kuartal ketiga tahun 2008, tetapi angka pertumbuhan itu sebenarnya tetap fantastis bagi kebanyakan negara berkembang.

    Kalaupun China merisaukan penurunan itu, tentu saja karena China merasa tidak mampu mempertahankan tingkat pertumbuhan pada level di atas 10 persen sejak tahun 2005. Sebagai dampak melambatnya pertumbuhan periode Juli sampai September lalu, pertumbuhan ekonomi China melemah menjadi 9,9 persen selama sembilan bulan pertama tahun ini.

    Turunnya pertumbuhan kekuatan ekonomi terbesar keempat di dunia setelah Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman itu merupakan salah satu indikator paling jelas tentang ganasnya krisis keuangan global.

    Jika kekuatan ekonomi keempat dunia itu saja tidak mampu membendung imbas krisis keuangan global, segera terbayang bagaimana dampaknya terhadap banyak negara berkembang lain yang masih sulit mempertahankan pembangunan berkelanjutan.

    Tidak kalah menarik pula bagaimana Pemerintah China mengambil langkah cepat dan konkret untuk mencegah komplikasi lebih rumit atas dampak krisis keuangan global. Pemerintah China pekan lalu, misalnya, memutuskan pemotongan pajak pembelian rumah agar pembangunan sektor properti tidak menjadi lesu.

    Pajak ekspor juga diturunkan untuk merangsang kegairahan mempertahankan ekspor. Surplus perdagangan China selama sembilan bulan pertama tahun ini mencapai 180,9 miliar dollar AS, atau turun 2,6 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

    Sekalipun ikut terpukul oleh krisis finansial global, China diyakini tidak akan limbung. Produk-produknya yang murah dengan mutu yang cenderung meningkat dipastikan akan menjadi pilihan belanja masyarakat global di tengah amukan krisis finansial saat ini.

    China sendiri memiliki daya tahan memadai karena kecenderungan konsumerisme yang tetap terkendali, dan kekuatan pasarnya luar biasa yang didukung oleh sekitar 1,3 miliar penduduk. Juga karena pemerintahannya teruji cekatan mencari solusi.

    Program Penjaminan Simpanan


    Rabu, 22 Oktober 2008 | 03:00 WIB

    C Harinowo


    Satu per satu negara di dunia mulai menerapkan program penjaminan simpanan perbankan. Pemerintah Indonesia meningkatkan penjaminan hingga 20 kali lipat, dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 miliar.

    Di Eropa, negara pertama yang menerapkan sistem ini dalam krisis saat ini adalah Irlandia, disusul Jerman dan Inggris. Di Asia Pasifik, Australia adalah yang pertama menerapkan. Dan yang terakhir adalah Hongkong, Malaysia, dan Singapura yang menerapkan program penjaminan simpanan secara penuh (full blanket guarantee scheme). Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepercayaan nasabah terhadap perbankan sehingga mereka tetap menaruh simpanannya di sistem perbankan.

    Dalam krisis moneter Asia tahun 1997, banyak negara menerapkan sistem itu, antara lain Korea, Thailand, dan Indonesia. Bahkan, Jepang, yang sebetulnya memiliki sistem asuransi deposito cukup andal, akhirnya juga menerapkan full blanket guarantee scheme guna menjaga kepercayaan nasabah kepada perbankan Jepang yang saat itu sedang babak belur. Bahkan, berdasarkan statistik, sistem penjaminan penuh itu diterapkan 29 persen dari negara yang terkena krisis perbankan.

    Ketika perekonomian pulih, sistem itu dicabut dan diganti asuransi deposito atau semacamnya dengan jumlah penjaminan yang lebih terbatas. Di Indonesia, sistem itu diganti dengan penjaminan simpanan hingga Rp 100 juta melalui pendirian Lembaga Penjaminan Simpanan.

    Pengalaman Indonesia

    Sistem penjaminan simpanan diterapkan secara penuh di Indonesia sejak 26 Januari 1998. Sistem itu didesain pemerintah dengan bantuan Dr Stefan Ingves yang memiliki pengalaman sebagai Kepala BPPN Swedia saat negara itu diamuk krisis perbankan tahun 1992. Kini Stefan Ingves menjabat Gubernur Bank Sentral Swedia. Banyak pihak sering mempertanyakan sistem ini dan dianggap sebagai biang keladi timbulnya beban penyelamatan perbankan yang berjumlah ratusan triliun rupiah. Benarkah demikian?

    Krisis moneter yang dihadapi Indonesia sejak Juli 1997 menjadi lebih parah dengan ditutupnya 16 bank. Penutupan bank itu, yang sebetulnya dimaksudkan untuk meningkatkan kepercayaan nasabah, ternyata justru menghancurkannya. Terjadilah apa yang disebut flight to quality, yaitu pemindahan simpanan bank dari bank-bank yang dianggap berisiko ke bank-bank yang dianggap lebih baik.

    Sementara itu, juga terjadi pemindahan dana perbankan dari dalam negeri ke luar negeri sehingga semakin melemahkan nilai rupiah. Yang terparah adalah penarikan simpanan dari bank-bank untuk ditukarkan dalam bentuk uang tunai. Bahkan, banyak kasus di mana uang tunai yang ada di luar sistem perbankan itu akhirnya disimpan di safe deposit-nya bank-bank. Inilah ironi yang terjadi.

    Penarikan simpanan bank untuk ditukar uang tunai terjadi dengan skala amat masif dalam beberapa bulan menjelang diterapkan sistem penjaminan itu. Rasanya tidak berlebihan untuk mengatakan, jika penerapan sistem penjaminan itu terlambat satu, keadaan pasti akan jauh lebih buruk dibandingkan perkembangan yang terjadi saat itu. Dengan diterapkannya sistem penjaminan itu, uang yang sudah ditarik nasabah lalu disimpan kembali di bank-bank. Dalam jangka satu minggu, penyimpanan kembali uang tunai dalam sistem perbankan kita mencapai puluhan triliun rupiah, lebih dari separuh yang sudah ditarik sebelumnya.

    Melihat pengalaman itu, bisa dikatakan sistem penjaminan simpanan secara penuh bersama sistem penjagaan fasilitas valuta asing yang tercakup dalam apa yang disebut dengan Frankfurt Agreement merupakan kunci dari titik balik Indonesia dari krisis itu. Setelah diterapkannya kedua sistem itu, pemulihan secara bertahap terjadi meski diselingi kerusuhan Mei 1998 dan turunnya Presiden Soeharto. Selebihnya pemulihan berlangsung dan sepenuhnya pulih tahun 2003 atau 2004.

    Melihat pengalaman itu, penerapan sistem penjaminan simpanan secara penuh bukan biang keladi beban restrukturisasi perbankan yang harus ditanggung pemerintah. Bahkan, jika sistem itu tidak diterapkan, diyakini kerugiannya justru jauh berlipat-lipat. Barangkali penerapannya saja yang sedikit terlambat, yaitu seharusnya dilakukan saat tanda-tanda krisis akan terjadi sebagaimana kemudian dilakukan Pemerintah Jepang dan seharusnya dilakukan sebelum penutupan 16 bank itu.

    Langkah preventif

    Melihat pengalaman itu, bisa dikatakan sistem penjaminan simpanan secara penuh itu sebetulnya merupakan alat preventif untuk menghadapi krisis. Penerapan alat ini diharapkan bisa mencegah tererosinya kepercayaan nasabah kepada perbankan. Jika sistem itu efektif dalam menangani psikologi nasabah, penerapan sistem itu justru bisa dilakukan tanpa biaya sama sekali karena bank-bank akan berhasil diselamatkan. Inilah yang ditekankan Pemerintah Malaysia saat menerapkan sistem itu beberapa waktu lalu.

    Dengan sifat seperti itu, peningkatan nilai penjaminan di Indonesia dari Rp 100 juta ke Rp 2 miliar adalah suatu langkah yang penting dan perlu dilakukan segera untuk memompa kembali kepercayaan itu. Saya yakin berbekal pengalaman sendiri selama krisis sepuluh tahun lalu, jika keadaan membutuhkan, penerapan sistem penjaminan simpanan secara penuh akan dilakukan.

    Melihat perkembangan itu, semoga seluruh masyarakat Indonesia, terutama nasabah perbankan, tetap meyakini keamanan dana mereka di perbankan. Dalam sejarah krisis Indonesia, akhirnya dana- dana nasabah tidak ada yang tidak memperoleh jaminan secara penuh. Bahkan karena suku bunga yang amat tinggi selama krisis, nasabah banyak memperoleh keuntungan karena dananya berkembang cepat semasa krisis.

    Dalam beberapa hari belakangan ini, banyak bank dari negara tetangga yang mengirim orang-orangnya ke penduduk kaya Indonesia untuk membujuk mereka menanamkan dananya di negara itu dengan janji bahwa dana mereka dijamin secara penuh. Kita mengetahui, banyak dana orang kaya Indonesia yang justru menjadi korban berbagai produk eksotis yang ditawarkan bank-bank yang beroperasi di negara tetangga beberapa bulan terakhir ini sehingga mereka mengalami kerugian besar.

    Melihat pengalaman kita di mana tidak ada dana yang menjadi korban selama krisis lalu, kita perlu mempertimbangkan secara lebih serius setiap tawaran semacam itu.

    Cyrillus Harinowo Rektor ABFII Perbanas