Rabu, 15 Oktober 2008

Kutukan Krisis dan Dosa Asal Instrumen Keuangan

Chaikal Nuryakin
Staf Pengajar FEUI

Baru satu dekade lalu dengan dampak yang masih menjadi isu nasional, semisal BLBI di Indonesia, dunia kembali digoncang gempa ekonomi. Namun, kini dengan episentrum yang berpusat di pusat kapitalisme dunia, Amerika. Krisis ekonomi pada masa modern laksana sakit masuk angin orang Indonesia ketika musim pancaroba, begitu sering bahkan kembali menyerang sebelum bau obat hilang dari punggung. Sejak awal abad 20, sejarah krisis ekonomi dunia (baik krisis mata uang, krisis utang, krisis perbankan, krisis nilai tukar, maupun krisis pasar saham) sudah begitu panjang.

Sebut saja krisis perbankan Argentina tahun 2001, krisis mata uang dan nilai tukar Rusia tahun 1998, krisis nilai tukar Asia 1997-98. Ada krisis pinjaman Amerika 1989-1991, krisis utang Latin Amerika awal 1980-an, krisis nilai tukar Eropa tahun 1992-93, krisis kredit properti Jepang tahun 1980-an, dan depresi besar Amerika 1930-an. Langkah krisis yang berderet-deret itu menyisakan jejak di perekonomian dunia yang jika boleh dibilang semakin dalam, semakin luas, dan semakin sering.

Namun, krisis bagi sebagian ekonom hanyalah bagian dari siklus bisnis, seperti kepercayaan hati mereka pada fenomena El-Nino dan La-Nina pada musim tertentu akibat perbedaan temperatur yang juga tertentu antara perairan-perairan atau samudera-samudera di bumi. Tidak ada yang salah dengan fenomena ini, kedatangan anak kecil hanyalah mekanisme alami bumi untuk menuju keseimbangannya kembali.

Namun sayang, begitu alaminya (jika benar) krisis ekonomi 1997 dan fenomena El-Nino 1994 tetap saja begitu menyakitkan dampaknya, bahkan bagi seseorang di desa terpencil di Jawa Tengah sekalipun. Lebih disayangkan lagi, ternyata menduga dan memprediksi kapan keduanya akan datang adalah sama sulitnya, sama peningnya.

Tapi, bagi sebagian ekonom lain krisis atau depresi tidaklah sealami itu, seperti kepercayaan hati mereka bahwa pasar belum tentu berjalan dengan sempurna. Salah satu bentuk pasar yang tidak sempurna itu, dimana tidak sempurnaannya merupakan bawaan lahir adalah pasar keuangan. Pasar keuangan merupakan bukti eksistensi kegagalan pasar karena secara alami dalam pasar ini melekat informasi asimetris, yaitu keadaan di mana salah satu pihak yang bertransaksi memiliki informasi lebih banyak dibandingkan pihak lain. Salah satu jenis pasar keuangan adalah pasar kredit.

Pihak debitur (peminjam) tentu memiliki informasi lebih banyak tentang investasi mereka dibandingkan pihak bank sebagai pemberi kredit. Keadaan ini memunculkan fenomena adverse selection dan moral hazard dalam pasar kredit dan pasar keuangan pada umumnya. Dalam kondisi ini, seperti yang dikatakan Stiglitz, fungsi bank paling utama adalah menentukan siapa di antara para debitur ini yang akan gagal bayar dan dengan pertimbangan itulah bank menentukan akan memberi kredit atau tidak.

Lebih lanjut, salah satu mekanisme yang digunakan untuk mengatasi informasi asimetris ini, sekaligus mengurangi risiko gagal bayar, debitur wajib menyertakan aset sebagai jaminan bagi kredit yang diberikan. Yang kemudian krisis keuangan memberitahu kita bahwa mekanisme ini tidak juga aman seratus persen karena akan selalu ada risiko di mana harga aset yang dijadikan jaminan tersebut menurun drastis nilainya.

Krisis keuangan walaupun dengan banyak faktor penyebab yang saling tumpang tindih dan bersilangan akan selalu berpusat pada informasi asimetris. Pasar keuangan dipenuhi oleh instrumen, baik obligasi maupun saham, yang tidak diketahui secara pasti kualitasnya. Bahkan, harga saham pada kondisi normal pun belum tentu mencerminkan nilai fundamentalnya.

Parahnya, pasar instrumen keuangan ini, seperti yang dianalogikan sebagai pasar mobil bekas oleh George Akerloff dalam Market for Lemons, akan dipenuhi oleh mobil bekas yang berkualitas rendah. Mengapa? Informasi tentang mobil bekas hanya murni dimiliki oleh sang pemilik (penjual), tetapi tidak pembeli.

Dengan demikian, harga mobil bekas di pasar akan mencerminkan rata-rata antara harga mobil bekas berkualitas rendah dan tinggi. Harga rata-rata (keseimbangan) ini tentu saja terlalu rendah bagi mobil bekas yang berkualitas tinggi sehingga pemilik mobil bekas berkualitas tinggi akan enggan untuk melempar mobilnya ke pasar.

Sebaliknya pemilik mobil bekas berkualitas rendah dengan senang hati bertransaksi dalam pasar. Fenomena yang baik akan hilang akibat masuknya yang buruk dalam pasar sudah menjadi hukum yang berusia ratusan tahun, bahkan sebelum penciptaan uang kertas dimulai, yaitu bad money drive out good money.Dengan bawaan lahir seperti itu, di mana pun dan kapan pun pasar keuangan adalah pasar yang paling terintervensi oleh pemerintah. Sayangnya, intervensi pemerintah ini adalah kata yang paling dimusuhi oleh sebagian ekonom lain.

Sayangnya juga pada saat yang tepat kubu Republiklah yang berkuasa di Amerika yang secara mainstream memiliki pendirian antiintervensi ini. Bagi Republik, pemerintah adalah masalah bukan solusi bagi pasar. Oleh sebab itu, ketika tahun 2003 Warren Buffet, investor terpandang Amerika, mengingatkan subprime akan membawa petaka bagi pasar keuangan dan pasar keuangan harus segera diregulasi, George Bush mengacuhkannya.

Demikianlah yang terjadi pada subprime mortgages di Amerika. Jika cerita ini dilebihkan, tentunya banyak sebab-akibat yang akan muncul, seperti dana perang Irak yang membengkak, membesarnya defisit anggaran, meningkatnya tingkat suku bunga The Fed, gagal bayar massal, menurunnya harga rumah (nilai jaminan yang menurun), spekulasi meningkat, ambruknya institusi keuangan, ambruknya pasar saham, hilangnya kepercayaan, dan ambruknya insitusi perbankan.

Begitu semuanya itu, menjadi sebab-akibat yang terus berputar. Berputar dengan putaran yang tidak semakin lemah, tetapi semakin kuat. Lebih dahsyat dari putaran badai tropis yang sudah sangat biasa menjamah Amerika. Akhirnya (meski belum berakhir), si tangan tua Paman Sam dengan paket bail-out 700 miliar dolar AS di kantong, terpaksa harus menyalami dengan erat badai pasar keuangan ini. Krisis keuangan dari skala kecil dapat berlangsung minimal selama dua tahun dan skala yang masif, seperti Great Depression baru berakhir paling tidak 10 tahun. Itu pun menunggu Perang dunia II berkecamuk.

Aneh memang, jika dulu perang menjadi solusi pemulihan ekonomi maka saat ini perang sudah menjadi salah satu tersangka penyebab krisis. Sebelum menyatakan bahwa paket bailout, bahkan mungkin perang, akan menjadi penyelamat krisis ini, pemulihan ekonomi memerlukan kondisi fundamental yang terletak tidak jauh dari pusat badai krisis, yaitu kondisi perumahan yang sedari awal menjadi jaminan bagi mortgages.

Seperti yang dikatakan Alan Greenspan (mantan gubernur Federal Reserves AS) bahwa krisis akan berakhir ketika telah terlikuidasinya sebagian besar persediaan perumahan baru dan berhentinya penurunan harga perumahan (di AS). Namun sayangnya, kapan kiranya hal itu terjadi mungkin sama misterinya dengan mendeteksi kapan sang anak kecil kembali pulang?


Ikhtisar:
- Harga saham pada kondisi normal pun belum tentu mencerminkan nilai fundamentalnya.
- Krisis keuangan dari skala kecil berlangsung minimal dua tahun.

Tidak ada komentar: