Selasa, 14 Oktober 2008

Jumat, 10/10/2008 13:39 WIB

Djony Edward

Truly capitalism

oleh : Djony Edward
Wartawan Jaringan Berita Bisnis Indonesia

Perekonomian dunia sudah terlanjur dibuat kapitalis, paling tidak itu adalah konsekuensi sebuah sistem yang dianggap paling baik saat ini. Tapi belakangan kapitalisme telah menjadi hantu paling menakutkan karena buahnya berupa kerusakan ekonomi global, kalau tidak bisa dikatakan economic disaster.

Saya lebih suka mengilustrasikan kapitalisme sejak awal berdirinya bak anak macan, ia dianggap lucu, menggemaskan, lincah dan tentu, disukai banyak orang. Tapi kini, anak macan itu telah berubah menjadi induk macan yang menakutkan, bahkan tak hanya menerkam para penggemarnya, tapi juga negeri yang melahirkan dan membesarkannya, yakni negeri Paman Sam.

Kalau belakangan ada krisis global, Lehman Brothers pailit, rencana bail out US$700 miliar (IMF malah bilang US$1,4 triliun) pemerintah AS ditolak Dewan, harga minyak dunia anjlok dari US$140 menjadi US$77 per barel, BEI melakukan suspensi pasar, BI terus menaikkan BI Rate pada saat bank-bank sentral lain justru menurunkannya. Semua fenomena ini adalah ekor atau output dari masalah besar kapitalisme global.

Bahkan IMF menilai guncangan sektor finansial kali ini merupakan yang terparah sejak era 1930-an. Hal itu diperkirakan akan menggerus pertumbuhan ekonomi dunia melambat menjadi 3% pada tahun 2009, atau 0,9% poin lebih rendah dari proyeksi World Economic Outlook pada Juli 2009.

Great Depression

Dalam teori ekonomi, apa yang terjadi saat ini sering diistilahkan dengan 'resesi', yakni suatu kondisi ekonomi global dimana tumbuh minimal, bahkan hanya 0% dan berlangsung hanya satu hingga dua semester. Jika pertumbuhan ekonomi menjadi negatif dan berlangsung lama, sering diistilahkan dengan 'depresi'. Dalam sejarah dunia sempat mengalami Great Depression yang dimulai pada Oktober 1929.

Situasi pada saat itu, harga saham di AS anjlok begitu cepat, ribuan investor kehilangan uangnya, banyak diantara mereka yang bangkrut dan gila. Kegiatan bisnis melemah dan pengangguran meningkat. Bank, toko, pabrik tutup dan meninggalkan ribuan pengangguran, gelandangan, dan orang-orang gila. Banyak warga yang datang kepada pemerintah untuk mendapatkan sumbangan pembeli makanan.

Depresi yang melanda AS menular jadi depresi yang mendunia pada 1930 dan melanda hampir semua negara. Hal ini ditandai dengan menurunnya perdagangan dunia sehingga masing-masing negara melindungi industri dan produknya dengan meningkatkan tarif bea masuk barang.

Sejumlah negara mengganti pemimpin dan tipe kepemimpinannya. Di Jerman, kondisi ekonomi yang miskin melahirkan diktator Adolf Hitler. Jepang menyerbu China, mengembangkan industri dan pertambangan di Manchuria. Jepang mengklaim pertumbuhan ekonomi akan dapat mengatasi depresi. Gerakan militerisme Jerman dan Jepang akhirnya mengundang pecahnya Perang Dunia II (1939-1945).

Di AS, Presiden Herbert Hoover sering menahan diri di kantornya ketika Great Depression terjadi. Ekonomi terus memburuk setiap bulan. Franklin D. Roosevelt akhirnya terpilih menjadi Presiden 1932. Roosevelt kemudian melakukan reformasi dengan resep 'New Deal'-nya untuk memperkuat pemerintah dan menolong mengeluarkan ekonomi dari depresi. Akhirnya Great Depression berlalu dengan AS bisa meningkatkan produksi bahan baku perang pada awal Perang Dunia II. Naiknya produksi militer meningkatkan daya serap tenaga kerja dan menghasilkan banyak uang kembali dalam sirkulasi perekonomian.

Saat Great Depression terjadi, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) mencapai puncaknya di angka 381,17 pada tanggal 3 September 1929, pasar kemudian menukik turun hingga 17% dan terus merosot 12%. Kurang lebih tiga belas juta saham ditransaksikan pada hari itu, dan menjadi rekor transaksi di AS. Bahkan indeks Dow Jones sempat menyentuh level terendah di posisi 198,6 pada 21 November 1929.

Pada Jum'at 25 Oktober pukul 13.00, beberapa pimpinan bank terkemuka di Wall Street mengadakan pertemuan guna mencari jalan keluar mengatasi kepanikan pada bursa NYSE. Hadir dalam pertemuan tersebut wakil pimpinan Morgan Bank Thomas W. Lamont, pimpinan Chase Manhattan Bank Albert Wiggin, dan presiden Citibank Charles E. Mitchell. Mereka menunjuk Richard Whitney, wakil presiden dari bursa untuk mewakili mereka. Dengan adanya dukungan penuh dari perbankan terkemuka di Wall Street, Whitney menempatkan penawaran (bid) atas saham U.S. Steel dalam jumlah lot yang besar sekali di atas harga pasar. Sewaktu para pialang terpesona oleh tindakan Whitney ini, ia pun kembali melakukan penawaran yang serupa pada saham-saham unggulan (saham bluechip). Taktik ini serupa dengan taktik yang digunakan guna mengakhiri kepanikan pada 1907, dan berhasil meredam penurunan harga lebih dalam lagi pada hari itu. Namun itu semua ternyata hanya berlangsung sementara saja.

Richard Salsman menulis bahwa pada tanggal 29 Oktober beredar suatu desas-desus bahwa presiden Herbert Hoover tidak akan melakukan veto atas Smoot-Hawley Tariff dan ini membuat harga saham makin jatuh lebih dalam lagi. William C. Durant bersama-sama anggota keluarga Rockefeller dan raksasa industri finansial lainnya melakukan pembelian sejumlah besar saham guna menunjukkan kepada publik kepercayaan mereka atas pasar, namun upaya mereka gagal menghentikan jatuhnya harga pasar. Indeks Dow Jones mengalami penurunan sebesar 12% lagi. Alat pencatat transaksi tidak berhenti bekerja hingga pukul 19.45 hari itu. Pasar mengalami kerugian sebesar US$14 miliar, sehingga total kerugian pada minggu itu telah mencapai nilai US$30 miliar, 10 kali lipat dari anggaran belanja tahunan pemerintah federal Amerika Serikat, dan lebih besar dari seluruh biaya yang dikeluarkan oleh Amerika guna membiayai Perang Dunia II.

Pada tanggal 24 Oktober 1929 (dimana Dow Jones mencapai puncaknya pada tanggal 3 September di level 381.17), pasar kembali berbalik arah menukik tajam lagi dan panik jual melanda bursa kembali. Sebanyak 12.894.650 saham ditransaksikan pada hari itu dimana orang-orang telah mengalami rasa putus asa untuk mencoba meredakan situasi ini. Penjualan massal menjadi suatu faktor pendukung dari terjadinya Great Depression. Bagaimanapun juga para ahli ekonomi dan sejarah terus menerus memiliki perbedaan pandangan tentang makna kehancuran ini bagi Great Depression.

Pada tahun 1931, dibentuklah suatu komisi oleh senat Amerika yang diberi nama Pecora Commission guna melakukan studi kasus atas kehancuran bursa yang terjadi. Kemudian Kongres Amerika mengeluarkan Glass-Steagall Act pada tahun 1933, yang memberi mandat bagi pemisahan antara bank komersial, yang menerima deposito dan memberikan pinjaman dengan bank investasi, yang menjadi penjamin emisi, penerbit, dan distribusi saham, obligasi, dan sekuritas.

Setelah mengambil pengalaman pada keruntuhan bursa di tahun 1929, bursa diseluruh dunia memutuskan untuk menghentikan sementara perdagangan saham pada saat terjadinya penurunan harga yang amat tajam, dengan tujuan agar menghindari terjadinya panik jual.

Di tangan kapitalis

Lepas dari sejarah Great Depression, yang jelas dunia (baca: Amerika) sudah terlanjur diperuntukkan bagi kaum kapitalis. Kaum yang gemar mengakumulasi modal, sampai-sampai urusan bank sentral (Federal Reserve) saja bukan lagi milik pemerintah, tapi milik 12 kapitalis yang menguasai uang di dunia.

Ke-12 pemegang saham The Fed adalah Sachs of New York, Goldman of New York, Citibank of New York, Kuhn Loeb Bank of New York, Lehman Brothers of New York, Chase Manhattan Bank of New York, Lazard Brothers of Paris-Perancis, Israel Moses Seif Banks of Italy, Rothschild Bank of London-Inggris, Rothschild Bank of Berlin-Jerman, Warburg Bank of Hamburg-Jerman, dan Warburg Bank of Amsterdam-Belanda.

The Fed berdiri pada 1913, disahkan oleh Kongres dan Woodrow Wilson. The Fed mencetak uang untuk Amerika dan menerima pajak melalui badan swasta IRS (Internal Revenue Service). Konyolnya, AS pada 1929 melalui UU dinyatakan bangkrut dan seluruh warga negara dan kepemilikannya menjadi milik The Fed. Artinya, The Fed dinisbahkan boleh mengontrol keuangan dunia.

Ada beberapa spekulasi mengapa terjadi economic disaster belakangan ini. Pertama, dengan pailitnya Lehman Brothers akibat subpreme mortgage, ada anggapan AIG dan Citibank bakal collapse. Alasannya, sebagian besar proyek Lehman Brothers asuransinya dikafer oleh AIG, itu sebabnya AIG Singapura diserbu nasabahnya. Sementara sebagian besar proyek Lehman Brothers menggunakan Citibank sebagai bank kustodian.

Berdasarkan analisis yang sempit boleh jadi itu benar. Tapi analisis yang lebih luas mengatakan, dengan jatuhnya Lehman Brothers yang nota bene salah satu share holder The Fed, maka akan berdampak pada 11 pemegang saham lainnya. Karena para investor sadar, mengapa harus menyerahkan nasib ekonomi dunia hanya pada 12 share holder The Fed. Terjadi proses distrust yang akut.

Yang menarik, adagium to big to fail (terlalu besar risikonya) buat suatu negara mempailitkan bank atau bank investasi besar untuk dibekukan, ternyata bagi Lehman Brothers tak berlaku. Pemerintah AS masih mau membantu Bear Stearns, Merrill Lynch, dan AIG. Goldman Sachs dan Morgan Stanley dengan diizinkan ”bermutasi” menjadi bank komersial, situasi mana tidak berlaku bagi Lehman Brothers.

Kedua, kegagalan spekulan AS mengontrol harga minyak dengan cara mengatrolnya hingga ke level US$147 per barel dan memaksa OPEC menambah produksi 500.000 barel per hari akhirnya mengalami site back. Uang spekulasi minyak tak sampai akhirnya kedodoran, maka harga minyak kembali ke harga orisinilnya, sekarang sudah US$75 per barel.

Ketiga, kemenangan Barack Obama atas John McCain sudah di depan mata. Boleh jadi gonjang-ganjing di pasar adalah bentuk persetujuan atas kepemimpinan Obama lantaran kegagalan George Walker Bush menjaga ekonomi Paman Sam. Subpreme mortgage adalah karya besar kebijakan Bush dan rencana Bush mem-bailout US$700 miliar ditolak Dewan.

Lepas dari spekulasi di atas, yang jelas dunia sudah terlanjur menjadi sangat kapitalis. Dan resesi yang tengah menuju depresi ini adalah buah dari modifikasi dan derivasi kapitalisme itu sendiri. Semoga kita bisa menarik hikmah dari drama krisis yang berulang ini! (djonyedward@yahoo.com)

Tidak ada komentar: