Senin, 27 Oktober 2008

Suku Bunga Antarbank Mulai Turun


Senin, 27 Oktober 2008 | 02:16 WIB

Oleh MIRZA ADITYASWARA

Tulisan ini mengajak masyarakat memahami apa yang sebaiknya diperhatikan dalam menyikapi gejolak ekonomi global yang sedang kita hadapi saat ini.

Kondisi indeks bursa saham memang paling mudah diakses oleh media. Namun, indeks Bursa Efek Indonesia (BEI) bukanlah patokan yang tepat untuk menggambarkan keadaan ekonomi Indonesia karena BEI terimbas oleh sentimen negatif investor portofolio di seluruh dunia yang sedang tidak rasional.

Kepemilikan investasi saham oleh masyarakat Indonesia masih sangat kecil, apalagi sifat bursa saham cenderung overshoot, yaitu bisa naik terlalu tinggi ataupun turun terlalu tajam.

Pada saatnya nanti ketika perbankan internasional mulai menyalurkan kredit dan produk domestik bruto (PDB) Amerika dan Eropa mulai pulih, indeks bursa saham dunia tentunya akan naik perlahan-lahan.

Indikator pasar keuangan apa yang lebih tepat menggambarkan kondisi pasar keuangan Indonesia saat ini? Sebaiknya kita melihat kepada kondisi likuiditas pasar uang, tecermin pada suku bunga antarbank.

Krisis pasar keuangan yang melanda dunia saat ini berawal dari kerugian besar yang dialami perbankan di Amerika dan Eropa karena investasi mereka di subprime credit jeblok.

Kerugian besar yang dialami perbankan internasional kemudian merembet kepada rasa saling tidak percaya antarbank internasional. Karena itu, untuk sementara waktu mereka mengurangi transaksi pinjam-meminjam antarbank.

Hal inilah yang menyebabkan terjadinya likuiditas ketat di seluruh dunia, terutama likuiditas valuta asing. Situasi likuiditas ketat sedang ditangani oleh semua bank sentral di dunia.

Bank sentral di negara masing-masing melakukan injeksi likuiditas mata uang lokal ke sistem perbankan. Contohnya, Bank Sentral Amerika melakukan injeksi likuiditas dollar.

Bank Sentral Jepang melakukan injeksi likuiditas yen, sedangkan Bank Sentral Eropa melakukan injeksi euro. Hal ini pun dilakukan Bank Indonesia yang melakukan injeksi likuiditas rupiah dengan melonggarkan fasilitas ”repo” dan menurunkan giro wajib minimum perbankan (GWM).

Pelonggaran GWM mulai minggu ketiga Oktober sudah memberikan tambahan likuiditas rupiah sekitar Rp 55 triliun dan tambahan likuiditas valuta asing sekitar 400 juta dollar AS. Injeksi likuiditas dollar juga dilakukan lewat mekanisme swap dollar oleh Bank Sentral Amerika dengan beberapa negara di Eropa.

Usaha serentak ini mulai menunjukkan hasil. Per minggu lalu, suku bunga antarbank dalam dollar atau London Inter Bank Offer Rate (LIBOR) untuk pinjaman satu hari (overnite) telah turun signifikan dari 4,5 persen menjadi 1 persen.

LIBOR untuk pinjaman 1 dan 3 bulan juga turun dari 4,5 persen menjadi 3,2 persen-3,5 persen. Dalam situasi normal, LIBOR berada tidak jauh dari suku bunga Bank Sentral Amerika (Fed Fund Rate) yang saat ini 1,5 persen.

Artinya, pada saat ini suku bunga antarbank untuk pinjaman satu hari telah normal, tetapi suku bunga pinjaman di atas 1 bulan, walaupun juga turun, masih agak tinggi.

Agar perbankan internasional bersedia melakukan transaksi lebih panjang dari sekadar overnite, beberapa negara maju telah memberikan penjaminan untuk transaksi pinjam-meminjam antarbank dan penerbitan surat utang bank.

Kabar baik juga ada di perbankan Indonesia. Walaupun BI tidak menurunkan BI Rate, likuiditas rupiah sebenarnya sudah lebih longgar.

Suku bunga rupiah antarbank untuk transaksi satu hari telah turun dari 12 persen menjadi 10 persen. Suku bunga antarbank rupiah untuk transaksi 1 bulan juga turun menjadi 11 persen dibandingkan dengan 13 persen pada bulan September 2008.

Diharapkan kondisi yang membaik ini terus terjaga, hal mana ditentukan oleh kesigapan pemerintah plus bantuan dari semua pihak untuk memberikan keteduhan.

Selain tambahan likuiditas, perbankan Amerika dan Eropa memerlukan apa lagi? Bank tidak bisa berfungsi menyalurkan kredit kepada sektor riil jika bank memiliki kredit macet dan modal bank menyusut.

Artinya, perbankan di AS dan Eropa harus membersihkan neracanya dari kredit macet. Setelah neraca dibersihkan dari kredit bermasalah, mereka memerlukan injeksi modal karena ekuitasnya tergerus oleh kerugian. Oleh karena itu, Pemerintah AS dan Inggris telah menyetujui paket injeksi modal dan mengambil alih kredit bermasalah 700 miliar dollar AS dan 500 miliar poundsterling.

Agar masyarakatnya tenang, banyak negara di dunia memberikan penjaminan dana nasabah perbankan. Walaupun perbankan Indonesia dalam kondisi aman, demi menjaga stabilitas sistem keuangan, Indonesia telah cepat melakukan antisipasi, menaikkan penjaminan dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 miliar per nasabah bank.

Setelah Pemerintah Indonesia bertindak, ternyata beberapa negara tetangga lebih ”sigap”, yaitu memberikan penjaminan penuh. Akan tetapi, masyarakat tidak perlu khawatir, peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang baru saja diterbitkan telah memberi kuasa kepada pemerintah untuk menaikkan penjaminan dana nasabah jika dianggap perlu. Tentu saja dukungan DPR sangat diharapkan oleh masyarakat dalam proses ini.

Selain kondisi bursa saham, perhatian masyarakat Indonesia juga selalu berlebihan tertuju kepada kurs rupiah terhadap dollar. Padahal, kurs rupiah hanya melemah 8 persen pada tahun ini.

Pelemahan rupiah yang terkendali akan menolong eksportir yang terkena resesi ekonomi global. Selain itu, juga dibutuhkan untuk menurunkan impor agar surplus devisa neraca perdagangan terjaga.

Penurunan harga komoditas dunia telah memukul daya beli masyarakat di luar Jawa, tetapi menurunkan inflasi di seluruh Indonesia.

Jika inflasi mulai turun, BI Rate tentunya tidak perlu naik lagi. Selain itu, penurunan harga minyak telah memperbaiki posisi defisit anggaran pemerintah karena mengecilnya subsidi bahan bakar minyak.

Tidak ada komentar: