Kamis, 09 Oktober 2008

Krisis Pasar Modal Berpotensi semakin Dalam


Akhir penutupan pasar modal Jumat, 12 September 2008 menjadi bukti bahwa fundamental ekonomi Indonesia tidak sebagus yang dikatakan pemerintah. Indeks harga saham gabungan (IHSG) terkoreksi sangat dalam, sementara indeks saham negara tetangga (bahkan dunia) justru mencetak keuntungan. Sementara harga tertimbang kurs rupiah, menurut Bloomberg, sudah menembus Rp9.500 per dolar yang untuk pertama kalinya terjadi arbitrase gap dengan rata-rata Bank Indonesia yang mencapai Rp9.445 per dolar. Dengan demikian, sekitar Rp500 triliun aset telah menguap menjadi asap di bumi Ibu Pertiwi ini.

Tidak heran intervensi BI di pasar uang spot sudah mencapai angka US$10 miliar pada minggu ini, artinya jika kondisi ini terus berlangsung hingga akhir tahun, cadangan devisa akan tergerus dengan cepat. Di sinilah terlihat dengan jelas kesalahan pemerintah dan otoritas moneter dalam mengantisipasi krisis sistemik yang bersifat internasional. Kondisi krisis seharusnya menuntut tingkat suku bunga yang lebih rendah agar sektor finansial terlepas dari dampak krisis (Adrian dan Shin, 2008), tapi ironisnya BI rate justru terus dikerek naik. Adrian dan Shin sudah mengingatkan bahwa dalam sistem keuangan yang berdasarkan mekanisme pasar, maka perkembangan pasar modal dan perbankan bersifat tidak terpisah. Di sinilah esensi efektivitas kebijakan moneter melalui neraca perbankan berlangsung dengan kondisi pasar modal yang tertentu. Tingkat suku bunga jangka pendek terbukti penting dalam meningkatkan neraca bank dan biaya modal.

Namun, dalam kondisi krisis pertumbuhan neraca bank yang lebih tinggi cenderung akan diikuti tingkat suku bunga yang lebih rendah, serta pertumbuhan neraca bank yang lebih rendah diikuti tingkat suku bunga yang lebih tinggi. Kondisi itu netral terhadap konsep tingkat suku bunga Irving Fisher. Perlu diingat, Weber sudah mengatakan bahwa esensi kapitalisme ada diperdagangan bukan produksi. Rocheteau dan Lagos (2008) telah membuktikan bahwa friksi perdagangan memengaruhi kepemilikan aset, harga aset, efisiensi, dan ukuran standar dari likuiditas. Akibatnya, pasar modal dan keuangan yang mengalami krisis likuiditas akan berdampak kepada permintaan akan aset.

Dengan kata lain, krisis likuiditas di sektor perbankan ikut memperhebat risiko sistemik di Bursa Efek Indonesia (BEI). Lucunya, antisipasi yang dilakukan BEI adalah rencana penetapan harga referensi untuk saham-saham berkapitalisasi kecil dan menengah. Biaya yang dikenakan sekitar Rp40 juta per emiten dalam setahun yang justru merupakan high cost economy dan friksi pada perdagangan yang pada gilirannya menghambat perkembangan likuiditas perdagangan. Logikanya, berdasarkan pengalaman New York Stock Exchange dan London Stock Exchange, maka saham yang tak likuid tersebut seharusnya segera di delisting supaya friksi perdagangan tidak semakin kokoh.

Ekspektasi yang terbentuk dari kebijakan tersebut pada gilirannya juga menimbulkan peningkatan volatilitas perdagangan saham. Secara makroekenomi, periode semester kedua 2008 akan berdampak melambat bagi perekonomian dunia di mana pertumbuhan ekonomi negara berkembang akan bergerak dari 8% pada 2007 menuju 6,9% pada 2008 dan 6,7% pada 2009. Dampaknya, bagi industri pengelola dana Indonesia saat ini mencatat outflow sebesar Rp16 miliar pada 4 September 2008, net inflow Rp32 miliar pada 5 September 2008, dan net outflow sebesar Rp216 miliar pada 8 September 2008. Sementara rekening Reserve the Fed dalam sirkulasi mata uang dolar meningkat secara akseleratif jika dibandingkan dengan periode sebelumnya, yaitu US$18,8 miliar per minggu. Artinya, kalau dikaitkan dengan take over Fanie Mae dan Freddie Mac, dalam setahun operasi teknikal instrumen moneter lebih dari cukup untuk modal injeksi ke lembaga keuangan yang mengalami krisis sehingga membuat dolar semakin menguat akhir-akhir ini. Walaupun akhirnya defisit APBN Amerika Serikat yang dikorbankan.

Itu berbeda dengan cara IMF ketika mengatur perekonomian Indonesia pada saat krisis ekonomi 1997. Selain itu, Alan Greenspan justru menyarankan agar lembaga itu dipecah menjadi 10 perusahaan sehingga risiko meletakkan telur pada satu keranjang terhindari. Arsitektur perbankan Indonesia justru membawa semangat IMF yang berlawanan dengan cara Greenspan itu. Dari sisi suku bunga juga bagaikan bumi dan langit. Jika IMF pada waktu itu memaksa suku bunga untuk naik, Ben Berbanke justru terus mempertahankan suku bunga rendah selama krisis terjadi, sesuai dengan petunjuk empiris temuan Adrian dan Shin (2008). Itu pun tak dapat menghindari rugi US$3,9 miliar (sekitar Rp35,5 triliun) yang akhirnya dialami Lehman Brothers yang kemudian memutuskan menjual mayoritas saham dalam bisnis manajemen investasi. Bank investasi terbesar keempat di AS itu berencana melepas gedung perkantoran maupun pinjaman realestat komersialnya senilai US$30 miliar (sekitar Rp273 triliun) yang kemudian berdampak sistemik pada pasar modal dunia. Indeks BEI justru terus tertekan lebih besar ketimbang negara-negara tetangga, bahkan ketika ada rencana Fed untuk turun tangan di mana bursa dunia kembali cerah, tapi BEI tetap terkoreksi. Berdasarkan perhitungan Dow Theory, IHSG melemah ke support 1.783 dalam sentimen tren turun non linear yang menguat. Meski ada peluang penguatan ke 1.839-1.847, tapi masih dengan probabilitas terjadinya pelemahan lebih lanjut, kecuali jika indeks menguat di atas 1.975. Dua saham besar yang memengaruhi Indeks BEI (IHSG) adalah BUMI dan Telkom yang juga terus terpuruk.

Indeks BEI juga sangat terekspos oleh risiko sektor batu bara dan telekomunikasi. BUMI menguat setelah membentuk doji sehingga berpeluang menguji resist di 3.833-3.946 sebelum kembali masuk downchannel sejak Mei 2008 lalu. Resist trendline ada di sekitar 4.500. Adaro rebound dari support 1.354 dalam pola downtrend dengan resist di 1.415-1.445. Peluang kenaikan sifatnya masih jangka pendek dan masih berpeluang tertekan lagi, kecuali jika berhasil naik di atas 1.800. Indosat masih dalam sideways kisaran support dengan potensi kenaikan ke 6.000-6.450. Telkom kembali menguat intraday dari support 7.150 dalam pola sideways yang bisa berubah jadi double top jika turun di bawah 7.100. Ketika dihitung sejak awal tahun, posisi IHSG kini (Jumat, 12 September 2008) telah terkoreksi 33,94% dari sebelumnya 2.731,51. Hal itu juga membuat kapitalisasi pasar di BEI turun 24,9% dari Rp1.990,65 triliun pada awal tahun menjadi Rp1.494,17 triliun. Namun, koreksi indeks juga didorong tekanan buyback saham BUMI dan saham PT Astra International Tbk. Saham itu melemah karena JPMorgan Chase & Co melorotkan peringkat harga sahamnya seiring ekspektasi inflasi dan suku bunga yang terus naik. Pertumbuhan pasar mobil nasional menunjukkan tanda melambat. Setelah melonjak pada Juni dan Juli lalu, penjualan mobil pada Agustus turun tipis sebesar 3,8 persen jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. PT Astra Daihatsu Motor (ADM), ATPM mobil merek Daihatsu, menaikkan harga jual mulai Oktober nanti. Kenaikan itu kali keempat sejak Januari. Kenaikan harga jual terkait dengan lonjakan harga baja sejak awal tahun ini dari semula US$400 per meter kubik menjadi US$1.000. Apalagi, kebutuhan baja untuk mobil mencapai 40 persen. Hilton dan McAndrew (Maret 2008) membuktikan bahwa adanya perilaku kecenderungan menunda dana pinjaman terjadi pada pasar uang sehingga kelangkaan dana semakin dahsyat dari sisi penyerahan, yang membuat permainan transaksi forward antara perbankan dan lembaga custodian saham semakin tak terbendung karena otoritas moneter dan pemerintah menargetkan harga rupiah yang kemahalan pada level di bawah Rp9.300 per dolar.

Kemudian permasalahan itu juga diiringi reformasi iklim usaha yang dijalankan pemerintah dan ternyata belum mampu memperbaiki peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia. Posisi Indonesia dalam Laporan Doing Business 2009 yang dirilis Bank Dunia dan International Finance Corporation (IFC) justru turun dari peringkat 127 menjadi 129 dari 181 negara. Peringkat Indonesia jauh di bawah negara-negara Asia lain, seperti China yang menempati posisi 83, Vietnam 92, Brunei Darussalam 88, Malaysia 20, Thailand 13, Hong Kong 4, dan Singapura 1. Indonesia hanya lebih baik jika dibandingkan dengan Kamboja yang menempati peringkat 135, Filipina 140, Laos 165, dan Timor Leste 170. Shin (Januari/Februari 2008) sudah mengingatkan akan adanya korelasi yang kuat antara pertumbuhan neraca dan pelonggaran dan pengetatan kebijakan moneter. Pinjaman akan meningkat pada kondisi booming dan turun pada saat siklus bisnis yang memburuk sehingga semakin meningkatkan volatilitas dan fluktuasi dari siklus keuangan. Peter Bauer, seorang developmental economist, sudah memperingatkan pada 1997 ketika krisis melanda Asia. "The institutional assumptions implicit in this world view were, as we all realize today, too simplistic. Governments embarked on fanciful schemes. Private investors, lacking confidence in public policies or in the steadfastness of leaders held back. Powerful rulers acted arbitrarily. Corruption became endemic. Development faltered, and poverty endured."

Sebagaimana juga yang sudah dibuktikan DiCecio dan Barseghyan (2008) di mana peningkatan satu standar deviasi dari biaya entri (membuka usaha) akan meningkatkan standar deviasi (volatilitas) output sebesar 40%. Volatilitas itu yang juga pada akhirnya akan semakin menyeret krisis pasar modal di Indonesia menjadi semakin dalam ketimbang yang terjadi pada bursa pasar modal negara-negara tetangga lainnya!



Oleh Achmad Deni Daruri, President Director Center for Banking Crisis

Tidak ada komentar: