Rabu, 15 Oktober 2008

Belajar dari Krisis Keuangan Saat Ini

Eswar Prasad

  • Guru Besar Ekonomi pada Cornell University dan Senior Fellow pada Brookings Institution; mantan Kepala Financial Studies Division IMF.

    Sistem keuangan AS sedang oleng ke tepi meltdown. Apa yang menahan tiang kapitalisme global yang diagung-agungkan itu dari keruntuhan adalah pemerintah AS yang sekarang secara efektif sudah menjadi guarantor dan lender of the last resort.

    Bagaimana semua ini bisa terjadi dalam suatu sistem keuangan yang pernah dipuji sebagai sistem keuangan paling matang dan paling canggih di dunia? Ke mana sistem ini bakal berakhir? Apa dampaknya terhadap sistem keuangan global? Sulit menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan pasti, sementara kita masih berada di tengah-tengah krisis. Sebenarnya, sekarang ini setiap hari ada saja berita mengenai semakin memburuknya keadaan, bahkan akhir pekan pun tidak lagi memberi kesempatan beristirahatnya arus berita suram ini!

    Apa pun hasil akhirnya, satu hal sudah pasti, negara-negara lainnya di dunia tidak bakal lagi antusias mengadopsi prinsip-prinsip pasar bebas yang memandu pembangunan sektor keuangan di Amerika Serikat. Adapun keadaan darurat memerlukan langkah darurat pula, bantuan yang masif oleh pemerintah Amerika juga akan menyulitkan upaya mempertahankan penolakan campur tangan luar dalam sistem keuangan yang ada.

    Jelas emosi schadenfraude--senang melihat penderitaan orang lain--sedang mengalir di dalam benak para petinggi bank sentral dan pembuat kebijakan di negara-negara yang pasarnya baru berkembang, yang selama ini menanggung beban intimidasi Amerika mengenai keunggulan prinsip-prinsip pasar bebas. Mereka juga mungkin sedang mengucapkan hosanna, rasa syukur kepada Tuhan, karena telah menolak melakukan inovasi finansial, bersyukur bahwa ekonomi negerinya tidak atau belum mengalami krisis keuangan separah yang dialami ekonomi Amerika.

    Sayangnya, pelajaran-pelajaran ini--bila dipetik secara harfiah--mungkin menjadi pelajaran yang salah bagi negara-negara yang sedang berkembang ekonominya. Disayangkan, karena pelajaran sebenarnya yang dapat dipetik dari krisis ini adalah bahwa penolakan prinsip-prinsip tertentu pasar bebas mungkin sebenarnya telah menyebabkan kemelut yang kini dihadapi Amerika. Lagi pula pembangunan di sektor keuangan pada akhirnya penting bagi ekonomi suatu negara untuk mempertahankan laju pertumbuhan yang tinggi serta membuka jalan lebih luas bagi rakyatnya untuk ikut bahkan memperoleh manfaat dari proses pembangunan.

    Apa yang salah di Amerika? Persoalan utama yang terjadi dengan Fannie Mae and Freddie Mac, misalnya, adalah badan-badan regulator yang mengawasi mereka gagal dalam tugas membongkar penyelewengan dalam pembukuan kedua lembaga keuangan itu. Penyelewengan dan jaminan implisit backing pemerintah (yang akhirnya terbukti eksplisit) menyebabkan kedua lembaga tersebut bisa berekspansi dengan leluasa, termasuk melakukan transaksi finansial yang tidak lazim yang tidak sepatutnya dilakukan.

    Akar krisis yang kini melanda Amerika, sudah tentu, dapat ditelusuri kembali ke tahun-tahun ketika Alan Greenspan menjabat Ketua US Federal Reserve. Pada waktu itu, uang mudah diperoleh dan regulasi tidak ketat. Kredit perumahan yang terkenal dengan nama "ninja" alias no income, no job dan no assets merupakan bukti jelas dari kelalaian badan regulator bersangkutan. Tapi tanda-tanda penyelewengan itu tidak dihiraukan sama sekali ketika semuanya tampak baik serta dihadapkan pada sikap bermusuhan yang ditunjukkan pemerintah pada waktu itu terhadap regulasi.

    Jelas, inovasi keuangan tanpa regulasi yang efektif tidak akan berhasil. Dalam dunia baru pasar keuangan yang lebih canggih, bahaya mengintai dari tempat-tempat tersembunyi.

    Krisis yang terjadi saat ini membuktikan bahwa seperangkat peraturan yang kaku memungkinkan lembaga-lembaga keuangan menutupi risiko yang terdapat dalam portofolionya dan membuat metrik risiko yang baku tampak lebih baik daripada yang sebenarnya. Memang tidak praktis merancang kerangka regulasi untuk setiap instrumen keuangan dan setiap lembaga keuangan tertentu. Lebih masuk akal mengembangkan kerangka "berbasis prinsip" yang dapat beradaptasi dengan evolusi pasar keuangan dan mengadopsi pendekatan manajemen risiko sistemik yang lebih luas. Jelas, semua itu tidak terdapat dalam hal ini.

    Krisis yang terjadi sekarang juga menegaskan kenyataan bahwa keterlibatan pemerintah dalam pasar keuangan--terutama melalui backing yang implisit pada apa yang disebutnya lembaga-lembaga "swasta"--menghasilkan outcome yang buruk, yang berujung pada ditanggungnya semua ongkos oleh pembayar pajak. Pelajaran nyata yang dapat dipetik dari ambruknya Fannie and Freddie adalah bahaya dari jaminan implisit pemerintah, termasuk moral hazard dan regulasi yang lemah, serta risiko yang mengintai bahkan dalam sistem keuangan yang sangat maju. Risiko ini lebih besar pada sistem keuangan yang belum berkembang, sedangkan ongkos mengatasi kemelut ini bisa juga secara proporsional lebih besar bagi ekonomi yang miskin.

    Satu hal yang ditunjukkan krisis saat ini, bahwa penyelewengan, korupsi, dan campur tangan pemerintah bisa menggerogoti fondasi sistem keuangan yang paling matang sekalipun, terutama bila persoalannya diperparah oleh sistem regulasi yang terlalu sempit dan terikat oleh peraturan dalam pendekatannya, yang kadang-kadang menutup mata terhadap kebobrokan dalam sistem tersebut. Sekarang, setidak-tidaknya, itulah pelajaran yang harus dipetik oleh negara-negara yang pasarnya baru berkembang dari krisis keuangan yang terjadi saat ini.

    Hak cipta: Project Syndicate, 2008.

  • Tidak ada komentar: