Sabtu, 18 Oktober 2008

Lengkap, Aturan Hadapi Krisis


Program Bantuan Likuiditas Rawan Penyelewengan

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA / Kompas Images
Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sri Mulyani Indrawati (kanan) berdialog dengan Gubernur Bank Indonesia Boediono seusai menyampaikan kebijakan pemerintah mengenai Jaring Pengaman Sistem Keuangan di Gedung Departemen Keuangan, Jakarta, Kamis (16/10).
Jumat, 17 Oktober 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Indonesia kini memiliki aturan lengkap untuk menghadapi krisis keuangan yang bersifat sistemik menyusul diterbitkannya Perpu Nomor 4/2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.

Melalui aturan ini, Bank Indonesia (BI) dan Departemen Keuangan (Depkeu) bisa mengambil alih rapat umum pemegang saham bank atau lembaga keuangan nasional yang mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsinya. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) ini ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 15 Oktober 2008 dan dinyatakan berlaku mulai 16 Oktober 2008.

Penerbitan perpu tersebut disampaikan Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati dalam sebuah konferensi pers di Jakarta, Kamis (16/10). Hadir dalam paparan perpu ini Gubernur BI Boediono, Menneg BUMN Sofyan A Djalil, Ketua Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) Raden Pardede, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal- Lembaga Keuangan (Bapepam- LK) Ahmad Fuad Rahmany, dan Kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Firdaus Djaelani.

Beberapa pokok aturan yang mengemuka dalam perpu tersebut adalah adanya kemungkinan bagi pemerintah menerbitkan instrumen pembiayaan yang khusus untuk BI. Lalu, dananya disuntikkan kepada lembaga keuangan yang mengalami krisis sistemik. Namun, jika krisis yang terjadi pada lembaga keuangan belum terlalu parah, pemerintah bisa menalangi dengan dana tunai dari APBN.

Menurut Sri Mulyani, perpu ini mengatur tindakan pencegahan dan penanganan krisis, yang meliputi penanganan kesulitan likuiditas atau masalah solvabilitas perbankan atau lembaga keuangan lain. Instrumen yang bisa digunakan adalah pemberian fasilitas pembiayaan darurat (FPD) dan penambahan modal melalui penyertaan modal sementara.

Jika ada bank yang mendapatkan FPD, BI berwenang mengganti pengurus dan menempatkan suatu bank dalam status pengawasan khusus. Adapun jika bank tersebut mendapatkan modal sementara, bank itu diambil alih LPS atau badan khusus yang dibentuk pemerintah.

”Perpu ini diterbitkan bukan untuk menunjukkan bahwa Indonesia sedang dalam tekanan krisis. Perpu ini akan melengkapi Indonesia agar memiliki aturan yang lengkap pada saat menghadapi krisis,” ujar Sri Mulyani.

Aturan ini ditetapkan agar masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang disalurkan pada tahun 1998 tidak terulang. BLBI kini masih tercatat sebagai beban APBN dalam bentuk surat utang yang tidak diperdagangkan di Depkeu sejumlah Rp 258,8 triliun.

Insentif sektor swasta

Raden Pardede menyebutkan, untuk mengurangi biaya krisis yang akan ditanggung negara, pemerintah juga dapat memberikan insentif atau fasilitas dalam rangka penyelesaian kesulitan likuiditas atau solvabilitas kepada sektor privat. Insentif dan fasilitas dimaksud, antara lain, dalam bentuk pemberian insentif fiskal dan relaksasi peraturan perundangan.

”Misalkan, ada bank sakit, lalu kami meminta bank yang sehat mengambil alih. Agar pengambilalihan itu tidak menimbulkan biaya, bisa saja kami membebaskan pajak mergernya. Itu jauh lebih murah ketimbang pemerintah harus mengambil alih bank yang sakit itu,” ujar Raden.

Pemerintah membagi tiga kondisi dalam sistem keuangan, yakni kondisi normal, kondisi transisi menuju krisis, dan kondisi krisis. Perpu Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) hanya berlaku saat krisis sudah terjadi.

Salah satu kriteria krisis, antara lain, ditandai adanya bank atau lembaga keuangan yang gagal melakukan fungsinya dan berdampak sistemik. Sistemik bisa saja terjadi saat hanya ada satu bank yang gagal, tetapi nasabahnya banyak atau ada lebih dari satu bank yang gagal.

Penetapan suatu keadaan dikategorikan krisis atau belum diputuskan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yang terdiri atas Menteri Keuangan dan Gubernur BI, serta LPS pada kasus tertentu. Pada saat penanganannya sudah sampai ke KSSK, komite ini harus memutuskan langkah-langkah pemulihan krisis dalam waktu maksimal satu hari.

Diadopsi APBN 2009

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2009 sudah mengadopsi sebagian dari mekanisme penanganan krisis keuangan yang diatur dalam Perpu JPSK ini. Tahun 2009, DPR memberikan wewenang kepada pemerintah untuk menerbitkan instrumen pembiayaan kepada BI yang secara tersirat akan sama dengan BLBI bagi perbankan nasional yang tertekan apabila krisis keuangan global memburuk.

”Uangnya sebenarnya berasal dari perbankan sendiri, nanti akan langsung digunakan,” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu.

Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Dradjad Wibowo, mengingatkan agar program bantuan likuiditas (bail out) dan pembiayaan darurat dilakukan dengan hati-hati.

Alasannya, di negara seperti Indonesia yang tingkat korupsi politisi dan birokrasinya tinggi, program bantuan likuiditas sangat rawan dikorupsi. Hal itu terbukti pada kasus BLBI saat krisis 1997-1998.

Karena itu, kata Dradjad, kriteria pemberian bantuan likuiditas harus sangat ketat.

”Bank atau perusahaan yang mengalami kesulitan karena kejahatan korporasi atau kegagalan mengimplementasikan tata kelola yang baik tidak boleh diberi bantuan likuiditas,” katanya.

Menurut Dradjad, kalaupun terpaksa harus diberi bantuan likuiditas karena risiko sistemiknya tinggi, pemilik dan pimpinan bank atau perusahaan bersangkutan harus dimintai pertanggungjawaban.

”Mereka bisa dipenjara kalau ada unsur pidananya. Secara perdata, hartanya bisa disita jika ternyata perusahaan tersebut bangkrut karena tidak mengimplementasikan tata kelola yang baik,” kata Dradjad. (OIN/FAJ)

Tidak ada komentar: