Selasa, 14 Oktober 2008

Fokus pada Perbankan, Jangan pada Bursa Efek


/ Kompas Images
Mirza Adityaswara
Senin, 13 Oktober 2008 | 03:00 WIB

Judul tulisan ini sengaja mengajak pemerintah dan kita semua jangan terlalu terpana dengan kejatuhan indeks Bursa Efek Indonesia. Kita harus menempatkan permasalahan pada proporsinya dan berpikir jernih. Harga saham jatuh, tetapi harga minyak juga jatuh sehingga membuat anggaran pemerintah berada pada posisi yang baik. Sebagai bagian dari sistem keuangan global, adalah hal yang wajar jika saat ini indeks bursa saham Indonesia ikut jatuh. Akan tetapi, dampak penurunan harga saham di Amerika Serikat dengan di Indonesia berbeda kepada masyarakatnya.

Di Amerika Serikat, lebih dari 60 persen rakyatnya mempunyai investasi di saham. Di Indonesia, hanya segelintir masyarakat, bahkan kurang dari 1 juta orang yang berinvestasi langsung di bursa saham. Yang lain berinvestasi tidak langsung, lewat reksa dana, tetapi jumlah nilai investasi reksa dana ”saham dan campuran saham” hanya sekitar Rp 30 triliun.

Pihak lain yang berinvestasi di pasar saham adalah perusahaan asuransi dan dana pensiun, tetapi sebagian besar investasi mereka ada di deposito perbankan, plus sebagian di Surat Utang Negara. Jadi, kita dan pemerintah tidak harus hiruk-pikuk dengan penurunan indeks Bursa Efek Indonesia (BEI). Pelonggaran peraturan harus bersifat sementara, membantu industri pasar modal. Pihak yang memanfaatkan situasi dengan menyebarkan isu negatif memang perlu ditertibkan, tetapi tentunya dengan memegang asas praduga tak bersalah.

Berhubung krisis global yang terjadi adalah krisis perbankan, maka yang diobati bukanlah pasar saham. Contohnya, paket penyelamatan sektor keuangan yang diumumkan di AS dan Inggris adalah paket penyehatan perbankan, bukan paket penyelamatan pasar saham.

Pasar saham dunia akan pulih jika perbankan dunia kembali sehat. Pengumuman pelonggaran aturan buy back saham jangan ditujukan untuk mendongkrak indeks BEI. Pelonggaran aturan itu harus dibaca sebagai upaya memberikan kesempatan kepada emiten yang mempunyai kelebihan likuiditas memanfaatkan momentum ”harga murah” membeli kembali saham perusahaan. Jika suatu saat nanti (misalnya satu tahun lagi) indeks bursa dunia pulih, emiten tersebut dapat menjual sahamnya kembali ke pasar dengan harga lebih tinggi sehingga meningkatkan laba.

Prinsip kehati-hatian

Tidak boleh ada paksaan kepada emiten BUMN untuk membeli kembali sahamnya. Dalam kondisi likuiditas perbankan ketat, semua perusahaan harus mengutamakan dana untuk operasional sehari-hari, termasuk kalau bisa menyelesaikan ekspansi yang setengah jalan. Sekali lagi, pertimbangannya harus komersial, dengan tetap menjaga prinsip kehati-hatian.

Selain investor saham, yang juga dirugikan dari penurunan harga saham adalah korporasi karena pasar saham sedang tidak bisa dipakai menjaring dana ekspansi usaha. Namun, yang paling dirugikan adalah perusahaan yang agresif, meminjam dana besar dengan menggunakan saham sebagai jaminan. Karena harga saham jatuh, maka nilai jaminan jatuh, sehingga mereka harus menambah nilai jaminan. Jika jeli, pemerintah dan BUMN yang likuid mungkin bisa memanfaatkan situasi ini dengan membeli saham pertambangan yang saat ini sedang murah. Contohnya, jika BUMN pertambangan membeli perusahaan batu bara swasta, pemerintah diharapkan bisa meminta tambahan volume pasokan batu bara untuk kebutuhan domestik.

Apakah pemerintah sudah fokus kepada sektor perbankan? Jawabannya sudah. Dana simpanan nasabah perbankan berjumlah Rp 1.530 triliun. Walaupun kondisi perbankan kita saat ini sehat, DPR, BPK, dan aparat penegak hukum diharapkan menyadari bahwa situasi ekonomi dunia sedang mengalami krisis perbankan sehingga Indonesia harus melakukan antisipasi. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) akan meningkatkan jumlah jaminan dana nasabah. Sebaiknya dari Rp 100 juta menjadi Rp 1 miliar atau bahkan Rp 5 miliar per nasabah. Pemerintah juga meminta persetujuan DPR menyetujui UU atau Perpu Jaring Pengaman Sektor Keuangan. Sebagai contoh, bank sentral di AS dan Inggris saat ini bersedia membuka keran likuiditas kepada perbankan dengan jaminan surat utang yang tidak likuid. Indonesia juga harus memiliki sistem pengaman sejenis.

Pemerintah berjanji akan mempercepat pencairan pengeluaran. Bank Indonesia akhirnya bersedia melonggarkan likuiditas dengan diturunkannya giro wajib minimum perbankan.

Dibandingkan mata uang India, Korea, Brasil, dan Thailand yang sudah melemah lebih dari 15 persen pada 2008, maka rupiah yang hanya melemah 4 persen adalah cukup baik. Bahkan pelemahan rupiah yang terkendali justru positif untuk ekspor kita karena pasar di Amerika dan Eropa sedang resesi.

Turunnya harga komoditas kelapa sawit dan pertambangan berdampak negatif kepada daya beli masyarakat di Sumatera dan Kalimantan. Karena itu, likuiditas perbankan harus tersedia sehingga perbankan bisa tetap menyalurkan kredit untuk menopang daya beli masyarakat dan operasional perusahaan. Sektor pariwisata dan pengiriman TKI harus diperkuat.

Setelah BI melonggarkan likuiditas rupiah, perlu dipikirkan bagaimana menambah likuiditas dollar dan memfasilitasi transaksi ekspor-impor yang mungkin sementara waktu seret karena pengetatan manajemen risiko di perbankan internasional.

Semoga pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2009 tidak turun di bawah prediksi IMF (5,5 persen). Yang terpenting kita harus waspada, tetapi tetap berpikir jernih dan bekerja produktif menghadapi situasi.

Mirza Adityaswara Analis Perbankan dan Pasar Modal

Tidak ada komentar: