Selasa, 14 Oktober 2008

Perbankan Antara Optimisme dan Kewaspadaan

Oleh: Mirza Adityaswara

Banyak ekonom mengatakan bahwa krisis keuangan yang saat ini melanda ekonomi Amerika dan merembet ke seluruh dunia disebabkan oleh kebijakan suku bunga rendah (satu persen) yang terlalu lama di Amerika pada periode 2003-2004. Suku bunga yang terlalu rendah sering kali memanjakan para bankir sehingga mereka terlena, memberikan kredit kepada debitur atau proyek yang sebenarnya tidak layak. Artinya, debitur atau proyek tersebut sebenarnya tidak akan mampu membayar pinjaman bank jika suku bunga kredit dinaikkan.

Perbankan Indonesia di periode 2007 sampai dengan semester I/2008 mengalami kinerja yang menggembirakan. Pada semester I/2008, dengan suku bunga BI Rate yang hanya 8 persen dan suku bunga dana deposito di bawah BI Rate, jumlah kredit per Agustus 2008 menunjukkan pertumbuhan 33 persen dibandingkan Agustus 2007. Angka kredit bermasalah juga terus menunjukkan penurunan di semester I/2008. Di satu sisi, hal ini menunjukkan hal positif, yaitu peningkatan kegiatan investasi dan konsumsi masyarakat yang kemudian memacu pertumbuhan ekonomi nasional menjadi 6.3 persen pada semester I/2008.

Tetapi, di lain pihak pertumbuhan kredit setinggi itu telah menyumbang laju pertumbuhan impor yang menyalip pertumbuhan ekspor. Artinya, memang ada gejala overheating di perekonomian Indonesia pada semester I/2008. Kenaikan harga komoditas tambang dan pertanian plus kenaikan harga BBM memang faktor utama penyebab inflasi di tahun 2008. Tetapi, pertumbuhan permintaan aggregat yang melebihi pertumbuhan sisi penawaran ikut menyumbang terhadap tingginya inflasi pada tahun ini, yang diperkirakan mencapai 11,5-12,5 persen.

Demi menghilangkan gejala overheating perekonomian, Bank Indonesia mengetatkan kebijakan moneter pada 2008. Perbedaan pengetatan moneter di kuartal II/2008 dengan kuartal III/2008 adalah kenaikan BI Rate sejak awal kuartal III/2008 disertai dengan penyerapan ekses likuiditas di pasar uang antarbank. Sebelumnya, suku bunga overnite (pinjaman satu malam) di pasar uang antarbank selalu berada di bawah BI Rate sekitar 300 bp (atau tiga persen) sehingga banyak bank yang memanfaatkan dana overnite untuk dipakai membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Hal ini telah menambah beban biaya kepada Bank Indonesia karena harus membayar bunga SBI untuk sesuatu yang tidak perlu. Bahkan, mungkin sebelum ini ada bank yang memberikan kredit mingguan kepada korporasi dengan sumber dana pasar uang overnite. Tentu saja ini adalah praktik perbankan yang tidak berhati-hati.

Pertumbuhan kredit yang 33 persen tersebut tidak dibarengi dengan pertumbuhan dana pihak ketiga, yang hanya tumbuh 15 persen. Tampaknya beberapa bank berpendapat bahwa mereka pasti mampu menjaring dana dari pasar obligasi, pasar uang antarbank, atau dari penerbitan surat utang di luar negeri. Tetapi, ternyata pasar uang internasional dan pasar obligasi sejak awal 2008 tidak bersahabat, berhubung perbankan internasional sedang dilanda kerugian akibat macetnya portofolio subprime credit.

Dengan dinaikkannya suku bunga overnite menjadi sedikit lebih tinggi daripada BI Rate, beberapa bank harus menjaring dana dari pasar deposito dengan menaikkan bunga deposito. Semakin tinggi loans to deposit ratio (LDR) suatu bank maka semakin tinggi ketergantungan bank tersebut akan deposito berjangka. Berhubung giro wajib minimum (GWM) bank-bank menengah di Indonesia saat ini 8-9 persen (dari jumlah dana pihak ketiga) maka bagi bank-bank dengan rasio LDR yang sudah di atas 90 persen, mereka harus menjaring dana dengan memberikan bunga deposito yang menarik. Menurut saya, bank dengan LDR di atas 90 persen sudah merupakan rasio yang terlalu tinggi. Rasio LDR di atas 90 persen hanya bisa ditoleransi apabila bank tersebut memperoleh pendanaan jangka panjang dari pasar surat utang atau kredit jangka panjang.

Bank-bank asing juga termasuk dalam kategori yang harus menjaring dana mahal dari deposito karena mereka tidak punya banyak cabang di Indonesia. Hal itulah yang tiba-tiba menyebabkan suku bunga deposito beberapa bank menengah dan kecil naik drastis pada Agustus dan September menjadi 13-14 persen, jauh di atas BI Rate yang saat ini 9,25 persen.

Bagi bank-bank dengan portofolio kredit berbunga tinggi seperti portofolio kredit mikro, menaikkan biaya bunga deposito tidak berpengaruh banyak kepada tingkat keuntungan. Tetapi, bagi bank dengan portofolio kredit berbunga rendah seperti kredit kepemilikan rumah (KPR) atau kredit korporasi maka kenaikan biaya bunga deposito akan menurunkan margin bunga cukup signifikan.

Untunglah Bank Indonesia cukup tanggap. Guncangnya pasar keuangan dunia minggu lalu dan pengucuran likuiditas oleh bank sentral Amerika dan Eropa telah memberikan kepercayaan kepada Bank Indonesia untuk membuka keran likuiditas kepada perbankan Indonesia. Jika perang suku bunga dibiarkan, suku bunga deposito bank bank besar akan ikut naik sehingga bunga kredit di Indonesia akan melonjak dari sebelumnya di semester I/2008 hanya 11-12 persen, bisa menjadi 16-18 persen. Jika ini terjadi, pasti angka kredit bermasalah akan meningkat.

Dilema yang dihadapi oleh Bank Indonesia saat ini adalah tidak mungkin melonggarkan kebijakan moneter jika inflasi masih tinggi. Investor asing pemegang Surat Utang Negara tidak akan suka melihat BI menurunkan bunga jika inflasi masih tinggi. Selain itu, likuiditas yang berlebihan bisa lari dipakai spekulasi di pasar valuta asing. Maka itu, perbankan jangan terburu-buru bersenang hati bahwa minggu lalu BI mengucurkan likuiditas melalui fasilitas Repo. Fasilitas Repo hanyalah bantuan likuiditas ke pasar. Obat yang permanen, bank-bank dengan LDR tinggi harus menurunkan pertumbuhan kreditnya dan menjaring dana pihak ketiga yang permanen.

Marilah kita berharap bahwa penurunan harga komoditas tambang dan pertanian yang saat ini sedang terjadi akan bisa menurunkan inflasi di bulan Oktober-Desember sehingga BI tidak perlu menaikkan suku bunga BI Rate lebih tinggi lagi.

Tidak ada komentar: