Rabu, 29 Oktober 2008

Merenungkan Kembali Resep Keynes


Getty Images/Dorothea Lange / Kompas Images
Florence Thompson, seorang pekerja migran, ibu dari tujuh anak, merenungi nasibnya saat kemiskinan melanda Amerika Serikat akibat depresi ekonomi yang melanda negara itu tahun 1936. Karya besar fotografer dokumenter Dorothea Lange itu dikenang sebagai simbol yang mewakili sejarah pahit Amerika Serikat.
Rabu, 29 Oktober 2008 | 03:00 WIB

Oleh Robert Simanjuntak

Adam Smith adalah ekonom pertama yang melontarkan frasa ”laissez faire”. Artinya, leave the market alone. Sebab, imbuhnya, mekanisme pasar itu seperti tangan gaib (invisible hand) yang bekerja untuk memastikan keseimbangan yang efisien dan kesejahteraan masyarakat.

Namun, Bapak Ekonomi Pasar Bebas ini pun merasa bahwa terkadang perlu campur tangan pemerintah. Dalam The Wealth of Nations, ia mengingatkan bahwa perusahaan-perusahaan besar bisa berkonspirasi menentukan harga dan menekan persaingan sehat. Dia juga sadar bahwa peran pemerintah krusial untuk mengatasi soal kemiskinan.

Ekonom sohor yang sangat menyokong intervensi pemerintah adalah John Maynard Keynes. Dia menolak ide bahwa pasar punya kemampuan self- adjustment. Menurut dia, gangguan kecil pada output atau harga malah bisa diperparah, bukannya diredam oleh ”tangan gaib” mekanisme pasar. Apalagi jika terjadi gonjang-ganjing ekonomi, maka mekanisme itu impoten.

Depresi besar

Sampai awal 1929, sudah delapan tahun beruntun ekonomi Amerika menikmati ekspansi. Pada era 1920-an itu, untuk pertama kalinya sejumlah besar rumah tangga memiliki mobil, radio, dan pergi ke bioskop. Pasar modal juga booming. Dalam waktu kurang dari satu dekade, jumlah rumah tangga yang meningkat kekayaannya berlipat ganda.

Namun, pesta mendadak usai pada 24 Oktober 1929. Pada hari yang dikenal sebagai ”Black Thursday” itu, pasar modal jatuh terempas. Hanya dalam bilangan jam, nilai pasar sebagian besar perusahaan AS terjun bebas. Sampai akhir 1929, lebih dari 40 miliar dollar AS aset masyarakat tergerus. Banyak orang kaya jadi gelandangan. Keluarga-keluarga kehilangan tabungan, rumah, dan bahkan hidup mereka.

Katastrofa itu merembet dari Wall Street ke perbankan, industri, dan sektor pertanian. Antara 1930 dan 1935, jutaan petani kehilangan ladang mereka. Produksi mobil merosot drastis. Dan, banyak bank terpaksa tutup sehingga presiden Franklin Roosevelt yang baru terpilih awal 1933 terpaksa mengumumkan ”bank holiday” untuk meredam rush oleh nasabah yang panik. Jika pada tahun 1929 jumlah penganggur hanya sedikit di atas 2 persen, setahun kemudian sudah 9 persen. Puncaknya tahun 1933, saat nyaris sepertiga angkatan kerja menganggur.

Depresi Besar ini menjadi pukulan telak buat para ekonom klasik.

Preskripsi Keynes

Bagi Keynes, ketidakstabilan adalah inheren dalam pasar, apa pun kondisinya. Situasi depresi bukanlah kekecualian. Maka, intervensi pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan makroekonomi adalah keniscayaan.

Pada galibnya, solusi yang dia tawarkan adalah regulasi pemerintah dan kebijakan fiskal untuk memengaruhi permintaan agregat, yakni menaikkan permintaan agregat lewat pemotongan pajak dan kenaikan belanja pemerintah untuk masalah pengangguran/resesi. Atau, mengurangi permintaan agregat lewat pemotongan belanja dan kenaikan pajak jika terjadi inflasi tinggi. Ketika ekonomi macet seperti saat depresi, satu-satunya cara keluar dari perangkap, katanya, adalah dengan mendorong orang mengonsumsi lebih banyak barang. Untuk itu, kenaikan belanja pemerintah akan jadi pemicu.

Presiden Roosevelt banyak mengadopsi pemikiran Keynes itu demi membawa ekonomi AS keluar dari kubangan. Belanja pemerintah yang dibuatnya untuk proyek-proyek padat karya efektif mengurangi pengangguran. Kepemimpinannya bisa membuat rakyat, para gubernur negara bagian, wali kota, dan legislatif mendukung penuh program pemerintah. Dengan soliditas seperti ini, akhir 1930-an ekonomi AS kembali melejit.

Konteks sekarang

Ingar-bingar di pasar keuangan internasional dan domestik sekarang ini tentu belum separah depresi 1930-an. Namun, tak satu negara pun mau kecolongan. Dan, semua negara sejatinya menerapkan, paling tidak sebagian resep Keynes. Indonesia tak terkecuali. Berbagai keputusan pemerintah, seperti kewajiban buy back saham BUMN, kenaikan jaminan simpanan sampai Rp 2 miliar, dan Perpu Jaring Pengaman Sistem Keuangan, itu baik dan perlu. Namun, rasanya belum paripurna. Sebab, dalam konteks Indonesia yang desentralistik, pelibatan daerah masih minimal. Berkaca kepada Roosevelt, kebijakan pemerintah akan solid jika daerah, tanpa kecuali, ikut bahu-membahu.

Maka, dalam konteks ini, pemerintah akan lebih taktis jika tidak alpa bahwa: i) sepertiga APBN adalah hak daerah; dan ii) dua pertiga APBN dibelanjakan di daerah; serta iii) APBN selalu defisit, sementara banyak APBD surplus! Kuncinya sekarang: komando imperatif dari Presiden.

Jika itu disadari, kita mungkin akan melihat Presiden minta daerah surplus membeli SUN atau SBN untuk membiayai defisit APBN, sebelum melirik standby loan. Kita mungkin akan melihat Presiden yang memerintahkan disbursement dana APBN dan terutama APBD supaya lebih dipercepat agar roda ekonomi makin bergulir. Itu sekadar dua contoh. Semua ini tentu sah saja. Apalagi di saat krisis. Persoalannya, adakah ide-ide ini mencerahkan?

Robert A Simanjuntak, Guru Besar FE UI

Tidak ada komentar: