Minggu, 12 Oktober 2008

Kosmologi Krisis Moneter


Sabtu, 11 Oktober 2008 | 01:01 WIB

Oleh Yasraf Amir Piliang

Gejolak moneter yang melanda Amerika Serikat tidak saja mengguncang sendi-sendi ekonomi AS, tetapi menimbulkan kepanikan global.

Kepanikan itu tecermin pada kekacauan bursa saham, harga saham bertumbangan, para pialang mengalami shock, investor dilanda kepanikan, nasabah menyerbu bank, nilai tukar mata uang anjlok, kucuran dana pembangunan tersendat, transaksi perdagangan dihentikan, otoritas pemerintah kehilangan akal, dan urat nadi perekonomian global terancam bangkrut.

Krisis keuangan global ”menampar” golongan menengah-atas, yang terbiasa hidup di ”surga moneter”: barang mewah, gaya hidup berkilau, bisnis berlian, pakaian dan mobil mewah. Namun, karena gejolak moneter diramalkan akan lama, ”tamparan” juga akan dirasakan kelas menengah dan kaum miskin, yang hidupnya bergantung pada fluktuasi moneter.

Orbit-orbit moneter

Gejolak moneter di AS dan mengguncang dunia merupakan konsekuensi logis sistem perekonomian ”pasar bebas” dan ideologi (neo)liberalisme. Sistem pasar bebas dengan minimalisme pengendalian negara setidaknya menghasilkan empat watak kultural ekonomi: 1) orbital, berupa perputaran ekonomi moneter yang mengglobal; 2) virtual, dengan sektor moneter yang bersifat maya; 3) viral, dengan penjalaran efek ekonomi yang cepat bak virus; dan 4) banal, dengan sistem ekonomi yang merayakan konsumerisme remeh-temeh.

Jean Baudrillard dalam Fatal Strategies (1990) menggambarkan kondisi kultural ekonomi macam itu melalui metafora kosmologi ”orbit” (orbital). Sistem moneter layaknya sebuah orbit, yaitu garis edar mata uang yang berputar mengelilingi ”sektor riil” sebagai titik pusat orbit, tetapi terpisah darinya. Bisnis keuangan berlangsung di sektor moneter, tanpa bersentuhan dengan sektor riil. Triliunan dollar AS diperjualbelikan dan dipermainkan di pasar modal, tetapi hanya sebagian di antaranya diputar di sektor riil.

Dalam sistem ekonomi itu, peran mata uang terlalu besar, mendeterminasi fluktuasi ekonomi. Sementara sistem moneter sendiri kini bersifat virtual, dengan sistem virtual money dan perputaran kian cepat dan real time. Hazel Henderson dalam Paradigms in Progress: Life Beyond Economics (1991) menyebutkan, percepatan sistem moneter meningkatkan ketidakpastian, indeterminasi, dan turbulensi ekonomi, yang rentan terhadap risiko krisis, kemacetan, bahkan kehancuran.

Kondisi kesalingterhubungkan dan kesalingtergantungan global telah menciptakan budaya ekonomi global sebagai ”jejaring terbuka” (open network)—layaknya jejaring internet—yang rawan terhadap serangan virus spekulasi dan kemacetan. Serangan virus (kemacetan likuiditas) di sebuah tempat (seperti AS) dengan cepat menjalar ke seluruh jejaring global tanpa ada yang tersisa. Inilah ”efek kupu-kupu” (butterfly effect) dalam jaringan chaos sistem ekonomi pasar bebas yang rentan.

Celakanya, sistem ekonomi moneter itu amat bergantung pada ”sistem konsumsi”, khususnya konsumsi barang mewah dan banal, sebagai ”alibi” agar modal terus berputar dan berakumulasi. Sistem ekonomi merayakan gaya hidup konsumerisme yang bersifat banal: kemewahan, lifestyle shopping, dan hiperkomoditi. Sebaliknya, segala kemewahan itu bergantung pada kondisi moneter karena produk mewah diproduksi melalui utang bank. Inilah ”lingkaran setan” ekonomi moneter.

Etika kebebasan pasar

Gejolak moneter tidak saja mengguncang fondasi ekonomi global, tetapi mengangkat kembali masalah ”etika kapitalisme”. Bencana krisis moneter adalah buah tindak ekonomi yang terlepas dari etika sosial. Padahal, tindak ekonomi seharusnya dilandasi etika sosial karena terkait masalah hak, kebebasan, keutamaan (virtue), kepercayaan (trust), dan tanggung jawab. Dalam kondisi krisis, pengabaian etika sosial kian dirasakan efeknya.

Etika liberalisme ekonomi, khususnya di AS, menurut Paul Tillich dalam The Courage to Be (1980), dicirikan oleh etika ”keberanian bereksperimen” dan ”berspekulasi”. Setiap individu bebas bereksperimen dan berspekulasi tentang apa pun; siap menghadapi segala ”risiko”, ”kegagalan”, ”krisis” dan ”bencana” (katastrofe), dan kegagalan tak menyurutkan ”keberanian” (courage). Inilah etika ”keberanian individualistik-liberal”.

Namun, dalam sistem ”ekonomi jejaring” (network economy), di mana pelaku ekonomi saling terhubung dan bergantung secara global, etika ”keberanian spekulasi” individual saja tidak cukup, harus disertai etika ”keberanian bertanggung jawab” secara sosial (courage of responsibility). Ironismya, dalam sistem jejaring ekonomi liberal, orang lebih mudah melempar tanggung jawab karena minimnya etika sosial dan kebersamaan, seperti ditunjukkan Direktur Lehman Brothers Richard Fuld.

Ekonomi yang telah bertransformasi menjadi semacam ”dromonomik” (dromonomics), yaitu ”sistem ekonomi gerak cepat” (dromos = berlari kencang) dan ”megalonomik” (megalonomics), yaitu ”ekonomi serba raksasa” menggiring pada situasi di mana kecepatan dan ”keraksasaan” telah di luar kendali manusia, yang menyebabkan orang kehilangan kontrol akibat kelengahan, data yang keliru, umpan balik terlambat, informasi tak memadai, atau respons terlalu lambat.

Institusi ekonomi yang merayakan ”keutamaan individualistik” mengabaikan ”aneka keutamaan sosial”, seperti tanggung jawab, kebersamaan, dan keadilan sosial. Alasdair MacIntyre dalam After Vurtue (1999) mengatakan, institusi tanpa keutamaan sosial akan keropos, korup, dan rentan penghancuran diri sendiri (self-destruction). Di sana mudah disembunyikan kesalahan, kebodohan, dan kegagalannya di balik ”kambing hitam jaringan” yang telanjur rusak pula.

Kosmologi ”tangan Tuhan”

Lunturnya keutamaan, tanggung jawab, dan keadilan sosial juga ditunjukkan oleh otoritas pemerintah ini dalam menangani badai krisis moneter yang menerpa bangsa. Otoritas pemerintah yang dilanda kepanikan lebih fokus mengurusi efek-efek makro(kosmos)-ekonomi, dengan mengeluarkan aneka kebijakan jangka pendek, seperti penurunan suku bunga, intervensi likuiditas, peningkatan ekspor, dan pembatasan pinjaman.

Penanganan krisis moneter belum menyentuh strategi jangka panjang, khususnya dampak krisis moneter terhadap sektor riil, terutama sektor ekonomi rakyat. Untuk itu, amat mendesak upaya intensif, berkelanjutan, dan ”futuristik” untuk mendiskusikan prediksi ekonomi jangka panjang, penyusunan ”skenario sosial” masa depan, pengembangan strategi ekonomi dan industri berkelanjutan, rekayasa sosial-politik terpadu, serta langkah-langkah antisipasi komprehensif.

Ironisnya, di tengah ancaman krisis panjang, energi elite bangsa tersedot untuk rapat, komunikasi, dan kampanye terkait pemilu. Efek ancaman krisis tenggelam oleh hiruk-pikuk pembentukan partai, pencalonan capres-cawapres, dan penggalangan konstituen. Upaya elite bangsa tidak sebanding dengan besarnya ancaman krisis. Dengan membuat seperangkat ”langkah” antisipatif, pemerintah merasa sudah menyelesaikan tugasnya.

Pemerintah dan elite bangsa tampaknya percaya kosmologi, ”Tangan-tangan Tuhan” (invisble hand) dengan kemurahan, kasih sayang, dan keagungannya akan menyelamatkan bangsa dari krisis moneter. Padahal, kosmologi ketuhanan justru mengajarkan kesungguhan, keterlibatan penuh, keseriusan, intensivitas, konsistensi, kecerdasan, perencanaan matang, dan kemampuan antisipasi masa depan merupakan kunci perubahan nasib bangsa, di samping kekuatan doa.

Yasraf Amir Piliang Ketua Forum Studi Kebudayaan (FSK) FSRD-Institut Teknologi Bandung

1 komentar:

andreas iswinarto mengatakan...

Kebusukan Kapitalisme Neoliberal, semakin telanjang!

Di tingkat global setelah kisah krisis air, krisis iklim, krisis minyak, krisis pangan, kini krisis finansial naik panggung, Paradoksnya jalan krisis itu terus ditempuh. Masih saja mekanisme pasar dan korporasi dianggap solusi yang menjanjikan. Ironi abad ini, rasionalitas yang irasional. Rasionalitas yang paling tidak masuk akal.

It’s the capitalism, stupid! (adaptasi dari frase politik yang populer digunakan Clinton ketika berkampanye melawan George Bush Senior, it’s the economic, stupid!)

Silah kunjung
Krisis Keuangan Global : Karl Marx di Aspal Jalan Dunia Datara
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/krisis-keuangan-global-karl-marx-di.html