Selasa, 14 Oktober 2008

Fondasi Ekonomi Kuat


Sebaiknya Utamakan Penguatan
Perbankan ketimbang Pasar Modal
Senin, 13 Oktober 2008 | 00:19 WIB

Jakarta, Kompas - Meskipun indeks saham terpelanting amat dalam, fundamental ekonomi dinilai masih cukup kuat untuk meredam krisis keuangan global. Kendati begitu, tetap diperlukan berbagai kebijakan untuk menutup potensi risiko yang bisa menjerumuskan negeri ini ke dalam krisis.

Pelaku pasar dan masyarakat sebaiknya tidak panik menghadapi situasi saat ini karena kepanikan hanya akan merugikan semua pihak.

Kepala Ekonom BNI Tony Prasetiantono akhir pekan lalu di Jakarta menjelaskan, fundamental perekonomian secara makro masih cukup baik. Hal itu terlihat dari sejumlah indikator, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, fluktuasi kurs, cadangan devisa, dan neraca perdagangan.

Industri perbankan, yang menjadi gerbang transmisi krisis, juga dalam kondisi fundamental yang bagus, tecermin dari situasi permodalan, kemampuan menyalurkan kredit, dan kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL).

Rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, misalnya, sejak awal tahun hingga kini hanya terdepresiasi 2–3 persen, relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain.

Pada perdagangan akhir pekan lalu, rupiah berdasarkan kurs tengah BI ditutup di level Rp 9.651 per dollar AS.

Neraca perdagangan Indonesia selama Januari–Agustus 2008 masih surplus 8 miliar dollar AS. Dengan konsumsi rumah tangga, ekspor, dan investasi yang masih tumbuh, pertumbuhan ekonomi tahun 2008 diperkirakan tetap bisa mencapai di atas 6 persen. Adapun cadangan devisa sampai akhir September 2008 sebesar 57,11 miliar dollar AS.

Ekonom Faisal Basri menambahkan, daya tahan perekonomian Indonesia cukup kuat karena sektor keuangannya tak terkait erat dengan sektor finansial AS. Selain itu, porsi ekspor Indonesia ke AS, Eropa, dan Jepang sudah menunjukkan penurunan serta mulai bergeser ke negara berkembang dan ASEAN.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman Hadad mengatakan, kondisi perbankan, yang jadi jantung perekonomian, juga memiliki fundamental kuat. NPL neto (setelah dikurangi provisi) hanya 1,42 persen, jauh di bawah batas maksimum, 5 persen.

Permodalan perbankan domestik, mencapai 17 persen, jauh di atas angka minimum 8 persen. Fundamental yang kuat tersebut akan membuat perbankan tetap optimal melakukan fungsi intermediasi untuk mendorong perekonomian.

Antisipasi krisis

Krisis pasar modal yang terjadi saat ini juga tergolong masih jauh dari krisis ekonomi. Kendati demikian, krisis di pasar modal tetap harus diwaspadai kemungkinannya bertransmisi menjadi krisis ekonomi. Jalur transmisi yang bisa memicu terjadinya krisis ekonomi ialah hancurnya sistem perbankan akibat penarikan dana masyarakat dan kebangkrutan sektor riil.

Sektor perbankan bisa menjadi pemicu krisis ekonomi karena sektor ini sangat dominan dalam stabilitas keuangan nasional.

Krisis di sektor perbankan bisa dimulai dengan terjadinya likuiditas yang amat ketat sehingga memicu kenaikan suku bunga dan kredit macet. Krisis perbankan biasanya berpuncak saat timbul ketidakpercayaan nasabah yang memicu terjadinya rush.

Kejatuhan sistem perbankan pada gilirannya akan mengimbas ke sektor riil. Sektor riil sulit mendapatkan kredit, baik untuk refinancing utang, kegiatan operasional, maupun ekspansi. Kinerja korporasi pun akan menurun sehingga berpotensi melakukan pemecatan karyawan. Pengangguran tinggi akhirnya menurunkan daya beli.

Pemerintah, Bank Indonesia, dan otoritas keuangan lainnya sejauh ini telah mengambil sejumlah kebijakan untuk meredam krisis meluas ke sektor perbankan dan sektor riil.

Pengamat pasar modal dan perbankan Mirza Adityaswara mengemukakan, untuk meredam dampak krisis, ke depan, BI seharusnya lebih mementingkan penguatan daya beli untuk mendorong pertumbuhan ketimbang khawatir yang berlebihan terhadap penurunan nilai rupiah, baik inflasi maupun nilai tukar.

Turunkan BI Rate

Ini berarti BI sebaiknya menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate seperti yang dilakukan negara-negara lain. Dengan menurunkan suku bunga, suku bunga kredit juga akan turun. Suku bunga yang murah akan dimanfaatkan pelaku usaha untuk mengajukan kredit investasi dan masyarakat untuk berkonsumsi. Dampaknya daya beli dan investasi tetap terjaga.

Anggota Komisi XI DPR Dradjad Wibowo mengatakan, pemerintah seharusnya fokus mengamankan sektor perbankan ketimbang pasar saham.

Ia juga menyarankan agar nilai tukar rupiah dibiarkan saja tanpa banyak intervensi. ”Pelemahan rupiah masih wajar. Penguatan sistem perbankan otomatis akan meningkatkan kepercayaan pasar kepada rupiah,” katanya.

Selain melakukan langkah-langkah peredaman dampak krisis yang bersifat antisipasi di sektor keuangan, pemerintah juga sebaiknya melakukan langkah proaktif untuk mendorong sektor riil dan perekonomian domestik. Langkah ini penting untuk mengimbangi melemahnya perekonomian global yang akan memicu penurunan ekspor.

Pemerintah perlu segera merespons usulan-usulan Kadin untuk penguatan sektor riil. Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Erwin Aksa Mahmud juga mengusulkan sejumlah langkah, antara lain memperketat impor barang jadi dan mencegah barang impor ilegal, memacu pembangunan infrastruktur, dan insentif pajak untuk perusahaan yang berorientasi ekspor seperti tekstil, industri hilir, dan industri padat karya.

Ketua Umum Masyarakat Profesional Madani Ismed Hasan Putro meminta pemerintah jangan terlalu fokus menyelamatkan pasar modal. ”Lebih baik dananya dipakai untuk sektor riil dengan menurunkan harga bahan bakar minyak,” katanya. (FAJ/REI)

Tidak ada komentar: