Senin, 20 Oktober 2008

Mengurangi "Multiplier" Kecemasan


Senin, 20 Oktober 2008 | 00:16 WIB

M Chatib Basri

Amerika Serikat hari ini adalah negeri yang cemas dan panik. Gejolak keuangan telah membawa akibat bangkrutnya banyak lembaga keuangan di sana. Akibatnya, neraca (balance sheet) berbagai lembaga keuangan mengalami tekanan. Perbankan membutuhkan injeksi modal untuk rekapitalisasi.

Kecemasan ini saya rasakan awal Oktober di Brookings Institution di Washington DC, AS, ketika duduk bersama sejumlah ekonom di dalam Asian Economic Panel. Dalam sesi yang dipimpin Jeffrey Sachs itu dijelaskan betapa muramnya situasi di AS. Martin Bailey, penasihat ekonomi Presiden Clinton, berbicara: AS akan mengalami pertumbuhan negatif sampai dengan paruh kedua 2009. Tak berhenti di sana, AS juga ”mengekspor” kecemasan, kepanikan, dan kerugian ke seluruh dunia.

Mekanismenya—seperti yang ditulis Paul Krugman melalui international finance multiplier—di mana tekanan pada neraca di satu lembaga keuangan yang high leverage akan berdampak terhadap neraca di negara lain. Kekurangan modal akan mendorong mereka menarik uangnya keluar dari berbagai negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Likuiditas mengering.

Guillermo Calvo (2005) menulis sebuah risalah tentang ini. Argumennya: investor di emerging market (EM) sebenarnya terbatas karena tak banyak ”spesialis” EM. Jika ada spesialis EM yang mengalami kebangkrutan, ia akan menjual portofolionya kepada spesialis EM yang lain. Namun, karena spesialis EM terbatas—dan mungkin mengalami kesulitan keuangan—ia harus menjualnya kepada ”nonspesialis” EM.

”Nonspesialis” karena tak memiliki informasi yang sempurna, hanya akan membeli dengan harga yang amat murah. Akibatnya, biaya modal bagi EM menjadi sangat mahal. Arus modal masuk bisa terhenti. Ini dapat menimbulkan kepanikan yang luar biasa.

Langkah tepat perpu

Di sini saya melihat kecepatan pemerintah mengeluarkan perpu untuk menjaga stabilitas sektor keuangan yang mencakup pemberian fasilitas pembiayaan/pinjaman, penyertaan modal sementara jika terjadi krisis serta peningkatan jaminan simpanan—walau mungkin harus ditingkatkan untuk menghindari arbitrase modal ke negara lain— merupakan langkah yang tepat untuk menghindari kepanikan.

Langkah berikutnya adalah sektor riil. Krisis global ini akan memengaruhi sektor yang memiliki kandungan impor yang tinggi dan yang berorientasi ekspor. Langkanya dollar AS akan menyulitkan perusahaan membiayai impornya.

Di sisi lain, lemahnya situasi global akan menurunkan ekspor. Sektor seperti tekstil, elektronik, dan sepatu akan mengalami persoalan. Menurunnya daya beli akan memindahkan permintaan dari high end ke low end product.

Sektor komoditas, seperti kelapa sawit, juga tertekan akibat menurunnya harga internasional. Implikasinya, risiko di sektor riil naik dan perbankan enggan menyalurkan kredit. Ini tak bisa diselesaikan hanya dengan menambah likuiditas.

Ketidakpastian membuat biaya pengawasan perbankan tinggi. Ini yang dikenal dengan istilah agency cost. Akibatnya, bunga pinjaman naik. Dalam situasi ini, bisa jadi hanya perusahaan yang nekat yang mau mengambil pinjaman dengan bunga yang sangat tinggi, sebaliknya perusahaan yang baik justru terpukul (adverse selection).

Perusahaan yang bisa bertahan ke depan adalah perusahaan yang memiliki sumber dana internal, cash rich, atau yang skala ekonominya tak menuntut kredit skala besar.

Yang menarik, data tahun 1998 menunjukkan, dampak kepada industri makanan dan minuman relatif terbatas karena permintaan terhadap makanan inelastic (tak banyak terpengaruh). Industri makanan dan minuman punya kontribusi hampir sekitar 28 persen dari industri pengolahan nonmigas karena itu perannya amat penting.

Ke depan, ia bisa menjadi sektor penolong. Pendeknya: pasar domestik adalah solusi, tetapi tak mudah. Untuk memproduksi dibutuhkan modal kerja. Karena pasar modal dan obligasi mengalami tekanan, perusahaan harus bergantung pada perbankan. Ketika perbankan memperketat kreditnya, perusahaan terpaksa mengurangi produksi dan tak sepenuhnya dapat memenuhi permintaan domestik.

Di sini saya melihat perpu yang dikeluarkan pemerintah dan antisipasi Bank Indonesia untuk melonggarkan likuiditas sangat membantu. Namun, itu tak cukup mengurangi agency cost. Hal lain yang harus dilakukan, misalnya, menyediakan informasi mengenai sektor yang dianggap memiliki risiko rendah.

Aturan-aturan pemerintah

Informasi yang penting adalah mengenai aturan-aturan pemerintah dan rencana kebijakan yang berkaitan dengan industri tersebut. Selain itu, mengingat informasi yang tak simetris juga merupakan soal utama di usaha kecil, maka skema penjaminan kredit untuk UKM dalam skala tertentu perlu diperkuat.

Perbankan perlu berinvestasi lebih jauh dalam credit research dan pengawasan. Selain itu, peran pasar uang nonbank menjadi amat penting karena akan mengurangi ketergantungan pada sumber pembiayaan dari perbankan dan membantu menurunkan tingkat bunga pinjaman.

Kecemasan dan kepanikan menjadi ”komoditas baru” yang diekspor AS dan Eropa, tak ada yang bisa menghindar. Namun, dengan antisipasi yang baik— dan pelajaran 1998—ada ruang untuk meminimalkan dampaknya sehingga multiplier kecemasan bisa dikurangi.

M Chatib Basri Pengamat Ekonomi

Tidak ada komentar: