Selasa, 14 Oktober 2008

Krugman Raih Nobel Ekonomi


Konsekuensi Globalisasi adalah Larinya Investasi
ke Negara yang Efisien dan Relatif Besar
Selasa, 14 Oktober 2008 | 00:51 WIB

STOCKHOLM, Senin - Paul Krugman (55), dosen Princeton University, AS, dan kolumnis di harian New York Times, Senin (13/10) di Stockholm, Swedia, dinyatakan sebagai pemenang Hadiah Nobel Ekonomi 2008. Komite Nobel menganugerahkan hadiah itu atas analisis Krugman tentang dampak skala ekonomi terhadap sektor perdagangan dan lokasi bisnis.

Krugman mendapatkan uang tunai 1,4 juta dollar AS. Sejak tahun 2000, peraih Hadiah Nobel Ekonomi selalu lebih dari satu orang. Krugman meraih hadiah itu sendirian, seperti Robert Mundell, ekonom Kanada peraih Hadiah Nobel Ekonomi tahun 1999. Beberapa ekonom sebelumnya juga mendapat hadiah itu sendirian.

Akademi Sains Kerajaan Swedia memuji Krugman atas jasanya memformulasikan sebuah teori baru untuk menjawab pertanyaan seputar perdagangan bebas. Pendekatan Krugman didasarkan pada premis bahwa makin banyak barang dan jasa diproduksi di satu pabrik yang sama, maka biaya produksi akan lebih murah. Analisis ini menghasilkan konsep skala ekonomi.

Hadiah yang dikenal dengan nama Nobel Memorial Prize in Economic Sciences ini dimulai tahun 1968 oleh Bank Sentral Swedia untuk mengenang Alfred Nobel.

Krugman memperkenalkan teorinya pada 1979 dalam sebuah artikel 10 halaman di Journal of International Economics.

”Teori baru dalam perdagangan internasional itu telah memberi inspirasi besar bagi penelitian selanjutnya. Hal ini menunjukkan adanya kualitas dari teori yang sudah dia ciptakan,” demikian pernyataan komite Nobel.

Mendorong migrasi

Komite Nobel memilih salah satu artikel Kurgman berjudul ”Trade and Geography – Economies of Scale, Differentiated Products and Transport Costs”.

Dalam paper buatan Krugman itu disebutkan, sebelum teori Krugman muncul, ada sebuah teori yang diciptakan David Ricardo pada abad ke-19 yang terkenal dengan comparative advantage.

Sebagai contoh, Indonesia yang memiliki upah buruh murah dan sumber daya alam pertanian (sebagai factor endowment atau keuntungan alamiah) akan lebih beruntung apabila fokus pada produksi sektor pertanian. Di sisi lain, AS yang memiliki teknologi dan pengetahuan lebih untung jika fokus memproduksi mobil.

Teori Ricardo itu tidak lagi bisa menjelaskan fenomena di abad ke-20 dan ke-21, ketika banyak negara bisa memproduksi barang dan jasa yang sama dengan hanya sedikit perbedaan. Teori comparative advantage pun gugur.

Gugurnya teori Ricardo didasari pada pengembangan teknologi dan pengetahuan. Dengan teknologi dan pengetahuan, barang yang tadinya hanya bisa diproduksi satu negara juga bisa diproduksi negara lain. Artinya, terjadi fenomena, sebuah barang yang sama bisa dihasilkan sejumlah negara.

Krugman bisa menjelaskan mengapa itu terjadi, yakni sebuah produksi akan bisa dilakukan secara murah apabila unit produksi mencapai jumlah tertentu. Namun, biaya produksi akan kembali naik jika jumlah barang produksi naik, yang artinya tidak lagi menghasilkan skala ekonomi.

Untuk mencegah hal itu terjadi, sebuah pabrik baru bisa dibuat atau dibangun di lokasi lain atau di negara lain untuk meraih skala ekonomi.

Hal itu bisa terjadi di era globalisasi, dengan kemudahan transportasi dan informasi. Selanjutnya, keadaan ini turut mendorong migrasi para pekerja perusahaan global.

Negara yang akan menjadi pilihan investasi baru, untuk menghasilkan skala ekonomi, adalah negara dengan skala ekonomi yang bisa mendukung keberadaan unit produksi dalam jumlah besar.

Tidak mengherankan jika China menjadi negara tujuan investasi. Selain menjadi basis ekspor, China juga menjadi negara dengan perekonomian besar yang mampu menyerap berbagai jenis pabrik dan produksi bisa dilakukan dengan skala ekonomi yang murah.

Pemindahan atau pendirian pabrik baru atau pendirian perusahaan jasa di berbagai lokasi atau negara sekaligus menghasilkan perdagangan barang dan jasa. (REUTERS/AP/AFP/MON)

Tidak ada komentar: