Selasa, 14 Oktober 2008

Ketangguhan Ekonomi di Tengah Gejolak Ekonomi Global

Kondisi perekonomian Indonesia tidak lepas dari gejolak faktor eksternal. Jika dicermati, kenaikan harga minyak dunia, komoditas pangan, hingga kebangkrutan Lehman Brothers dan Merril Lynch beberapa waktu lalu telah banyak menimbulkan kerugian terhadap perekonomian domestik.

Bahkan, indikasi melemahnya perekonomian dunia karena hal-hal tersebut membuat pemerintah merevisi target kenaikan ekspor yang akan berdampak langsung pada turunnya laju pertumbuhan ekonomi. Gejolak faktor eksternal akan berpengaruh terhadap perekonomian domestik paling tidak melalui dua jalur.

Pertama, pasar uang. Gejolak faktor eksternal ini akan menusuk melalui nilai tukar, inflasi, dan suku bunga. Ketiga indikator tersebut saling memengaruhi satu sama lain. Dalam kondisi aliran modal bebas, modal jangka atau biasa disebut hot money dapat masuk keluar suatu negara dengan bebas dan cepat.

Semakin besar porsi hot money terhadap cadangan devisa maka akan semakin besar tingkat kerawanan terhadap gejolak eksternal. Tentu saja hal pertama yang akan diserang dari aliran modal keluar adalah pelemahan nilai tukar.

Guna mengurangi depresiasi lebih lanjut, Bank Indonesia (BI) cenderung menjalankan kebijakan uang ketat yang ditandai oleh kenaikan suku bunga dan semakin ketatnya likuiditas. Pada waktu bersamaan, guna menutupi defisit anggaran, pemerintah menjual surat utang negara (SUN) maupun obligasi ritel (ORI).

Kondisi ini akan membuat suku bunga kian melambung. Kondisi pasar yang cenderung ketat akan berdampak pada aktivitas sektor riil karena beban bunga yang tinggi akibat tindakan yang dilakukan oleh BI dan pemerintah.

Biaya dana masyarakat menjadi semakin besar dan bank akan cenderung memilih kredit dengan tingkat pengembalian yang tinggi ataupun ekuivalen dengan risiko besar. Jika diperhatikan, langkah yang dilakukan BI, melakukan transaksi repurchase beberapa waktu lalu, merupakan upaya untuk menambah likuiditas di pasar uang yang cenderung semakin ketat.

Hal ini sekaligus menunjukkan posisi BI dan pemerintah yang dapat saling menyeimbangkan satu dengan lainnya dan mampu menenangkan kondisi pasar uang. Hal yang cukup sulit dilakukan yaitu meredam ekspektasi inflasi.

Secara teori, ekspektasi inflasi dapat diredam dengan meningkatkan sinkronisasi serta harmonisasi kebijakan fiskal dan moneter. Penting bagi pemerintah secara berkala menyampaikan arahan kebijakan fiskal dan moneter, sehingga pelaku pasar memiliki keyakinan akan terjaminnya kondisi stabilitas makro.

Kedua, pasar barang. Gejolak faktor eksternal merupakan hal yang tak dapat dihindari dari sistem perekonomian yang terbuka. Keterbukaan ekonomi telah menciptakan akselerasi pertumbuhan di banyak negara.

Negara-negara yang menganut sistem perekonomian terbuka mengalami laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang lebih tinggi dibandingkan negara yang relatif lebih tertutup. Hal yang perlu diantisipasi yaitu kemungkinan terjadinya inflasi yang berasal dari pengaruh impor (imported inflation).

Ekonomi Indonesia memiliki tingkat ketergantungan yang besar atas impor bahan baku. Dengan demikian, kenaikan harga komoditas internasional akan berdampak pada kenaikan harga bahan baku.

Pada sisi lain, ekspor Indonesia juga didominasi produk berbasis sumber daya alam seperti minyak bumi, minyak sawit, batu bara, dan karet. Dengan demikian, kenaikan harga komoditas akan berpengaruh positif terhadap kenaikan nilai ekspor.

Walau demikian, jika diperhatikan posisi neraca perdagangan yang mudah mengalami defisit- di antaranya karena harga minyak sawit yang turun-menunjukkan bahwa posisi perdagangan luar negeri juga rawan terhadap gejolak harga.

Hal ini sebetulnya disebabkan oleh ketidakmampuan industri nasional untuk menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi. Perlu diakui bahwa kenaikan nilai ekspor sebetulnya lebih banyak didorong oleh kenaikan harga barang dibandingkan kenaikan volume ekspor.

Hal ini menyiratkan bahwa kapasitas produksi sektor industri tidak banyak mengalami perubahan atau bahkan cenderung turun. Melihat fakta ini, jelas gejolak faktor eksternal tidak perlu menjadi kambing hitam atas lemahnya kinerja ekspor, namun harus lebih fokus pada pembenahan sektor industri yang sedang stagnan.

Tantangan Kebijakan

Ketidakstabilan merupakan karakteristik pasar uang yang sulit untuk dihindari, bahkan oleh negara sekuat Amerika Serikat sekalipun. Hal ini memberi pesan bahwa Indonesia perlu menyiapkan langkah-langkah nyata untuk bersiap diri.

Hingga saat ini perlu diakui bahwa pemerintah belum memiliki strategi keluar (exit policy) yang jelas guna mengatasi krisis. Katakanlah ketika harga saham-saham berjatuhan, pemerintah belum memiliki sikap yang tegas atas transaksi short selling di pasar modal.

Demikian pula hingga sekarang pemerintah belum merampungkan payung hukum untuk protokol penanggulangan krisis. Kedua contoh tersebut menggambarkan bahwa pemerintah belum siap dan tidak memiliki kerangka yang jelas dalam menangani gejolak keuangan.

Pemerintah masih memilih jalur yang bersifat reaktif dalam menyikapi gejolak eksternal dibanding menyiapkan langkah-langkah sistematis. Banyak kalangan menilai bahwa ketidakmampuan Indonesia dalam mengatasi gejolak eksternal dikarenakan banyaknya masalah internal yang belum terselesaikan.

Jika perekonomian Indonesia cukup tangguh, Indonesia akan lebih cepat keluar dari krisis. Hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah yaitu sedapat mungkin mengisolasi dampak lanjutan atas gejolak eksternal agar tidak memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap turunnya kesejahteraan masyarakat.

Sebagai contoh, di tengah turunnya harga CPO di pasar internasional, ternyata petani sawit mengalami kesulitan untuk memperoleh pupuk. Bahkan andai pun ada, harganya naik berlipat-lipat.

Demikian pula kenaikan suku bunga akan mengancam keberlanjutan usaha kecil dan menengah jika tidak diimbangi pemberian berbagai kemudahan perizinan. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam kondisi faktor eksternal yang penuh ketidakpastian, seharusnya faktor internal menjadi penyelamat, bukannya menambah beban.

Untuk mengatasi hal-hal itu, pemerintah perlu mendorong koordinasi yang lebih intensif demi menyiapkan kebijakan pendukung pemulihan di level sektoral. Kurang tepat jika lesunya pasar AS membuat pengambil kebijakan bersuara kompak untuk mencari pasar lain.

Hal yang perlu dikaji yaitu apa strategi internal yang dilakukan oleh negara-negara pesaing di pasar yang sama. Jangan-jangan jika perekonomian AS kembali pulih, Indonesia akan kehilangan potensi besar yang telah direbut oleh negara lain yang lebih mampu. (*)

Maxensius Tri Sambodo
Ekonom Pusat Penelitian Ekonomi LIPI

Tidak ada komentar: