Minggu, 12 Oktober 2008

Menakar Daya Tahan Perbankan Nasional



Kompas/Arbain Rambey / Kompas Images
Antrean nasabah Bank BCA yang akan mengambil uang baik secara langsung maupun dari ATM di Kantor Pusat BCA Jalan Sudirman, Jakarta, bulan Mei 1998. Situasi seperti ini tampaknya tidak akan terjadi pada krisis keuangan global kali ini.
Jumat, 10 Oktober 2008 | 03:00 WIB

Oleh Djoko Retnadi

Pelajaran paling berharga dari terjadinya krisis keuangan di Amerika Serikat adalah bahwa alokasi investasi pada satu jenis instrumen investasi tidak dapat dipertahankan selamanya walaupun memberikan keuntungan. Kebijakan diversifikasi risiko investasi adalah pelajaran paling mendasar teori investasi yang mudah diucapkan, tetapi sulit diimplementasikan.

Terlebih dalam kondisi eforia perolehan keuntungan di balik bayang-bayang ketidakpastian situasi seperti yang terjadi di Amerika Serikat (AS) beberapa tahun terakhir ini yang telah mendorong perilaku pemilik uang untuk cenderung menjadi tamak dan memanfaatkan praktik aji mumpung.

Dampak pertama krisis AS yang dirasakan oleh industri keuangan Indonesia adalah jatuhnya harga aset keuangan dan semakin langkanya likuiditas di perbankan. Adapun dampak putaran selanjutnya diperkirakan terganggunya ekspor dan arus masuk modal asing.

Kondisi perbankan nasional

Risiko likuiditas yang paling ditakuti perbankan adalah ketika terjadi ketidakpercayaan penabung sehingga mereka secara serentak menarik dananya dari perbankan (rush). Mengingat industri perbankan tidak dirancang untuk menghadapi situasi semacam itu, maka diperlukan kehadiran lender of the last resort, yaitu Bank Indonesia (BI) sebagai pihak terakhir yang dapat memberikan pinjaman kepada perbankan.

Untuk melihat seberapa besar dampak kelangkaan likuiditas terhadap daya tahan perbankan, dapat didekati dengan empat sisi, yaitu dilihat dari komposisi aset perbankan, matching policy asset-liability, kinerja perbankan secara umum, dan kesiapan infrastruktur perbankan dalam menghadapi krisis likuiditas.

Komposisi aset perbankan per Juni 2008 masih didominasi oleh kredit yang mencapai 56,27 persen. Dilihat dari angka loan to deposit ratio (LDR), angkanya telah mencapai 73,89 persen. Dari dua indikator ini menunjukkan bahwa sumber pembiayaan kredit perbankan memang berasal dari dana pihak ketiga (DPK). Dengan jumlah DPK Rp 1.554 triliun dan kreditnya hanya sebesar Rp 1.148 triliun, sisa DPK yang tidak tersalurkan ke aset kredit adalah sebesar Rp 405,8 triliun.

Misalkan pada saat ini terjadi rush, jelas perbankan tidak akan sanggup membayar seluruh DPK karena sebesar 73,89 persen dari DPK telah ditanamkan dalam aset kredit yang tidak dapat begitu saja dicairkan untuk membayar dana penabung.

Rush mungkin benar-benar terjadi jika di dalam sistem keuangan tidak tersedia jaring pengaman sistem keuangan (financial system safety net). Pada saat ini kita telah memiliki lembaga penjamin simpanan (LPS) yang dapat meredam kekhawatiran penabung kecil untuk melakukan rush. Namun, menurut data BI, 90 persen rekening simpanan di Indonesia hanya menguasai sekitar 10 persen dana perbankan. Itu saja yang sepenuhnya dijamin LPS, sedangkan sisa dana sebesar 90 persen adalah dana yang bergerak di pasar bebas yang sangat volatile dan dapat memicu terjadinya persaingan suku bunga simpanan.

Perbankan kita tampaknya telah menyadari potensi terjadinya kondisi tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh komposisi DPK di perbankan di mana dana murah berupa giro dan tabungan masing-masing memiliki porsi 26,35 persen dan 29,44 persen, sedangkan dana mahal berupa deposito hanya sebesar 44,21 persen. Dana yang paling cepat berpindah adalah jenis deposito karena pemiliknya sangat sensitif baik terhadap suku bunga maupun imbal hasil investasi di luar perbankan. Dengan komposisi DPK seperti itu, tampaknya diversifikasi likuiditas perbankan cukup kuat.

Diversifikasi yang baik di sisi pendanaan perbankan ternyata juga dimbangi oleh komposisi kredit yang disalurkan. Porsi kredit investasi perbankan sebesar 18,57 persen, kredit modal kerja 52,85 persen, dan kredit konsumsi sebesar 28,57 persen.

Dalam kondisi krisis likuiditas, bank yang fokus pada kredit investasi akan mengalami pukulan paling berat karena aset tersebut tidak dapat dicairkan dengan cepat. Namun, komposisi kredit perbankan didominasi oleh kredit modal kerja yang menunjukkan bahwa sumber dana perbankan yang lebih banyak berasal dari sumber jangka pendek (giro dan tabungan) telah dialokasikan secara proporsional pada aset berjangka pendek pula (kredit modal kerja). Maka, perbankan telah mencapai kondisi macthing basis antara asset dan liabilities.

Akhirnya, potensi kewajaran terjadinya rush juga dipengaruhi oleh kinerja perbankan itu sendiri. Per Juni 2008, NPL sebesar 3,54 persen (di bawah ketentuan maksimal BI 5 persen), capital adequacy ratio (CAR) 17,58 persen (jauh di atas ketentuan minimal BI 8 persen), dan return on asset (ROA) 2,53 persen (jauh di atas ketentuan minimal kriteria Bank Jangkar 1,50 persen).

Dari ketiga indikator kinerja perbankan tersebut, tidak ada alasan untuk tidak memercayai keandalan sistem perbankan.

Infrastruktur perbankan

Jika perbankan menghadapi rush, yang dapat membantu menjaga stabilitas sistem perbankan adalah infrastruktur yang ada di perbankan. Jika pasar uang antarbank sudah tidak berjalan dan LPS telah membayar seluruh klaim dana nasabah, maka sisa dana nasabah yang tidak tertutup harus dicarikan melalui lender of the last resort atau sumber pemberi pinjaman terakhir bagi bank yang mengalami rush. Sampai saat ini, jaring pengaman sistem keuangan (JPSK) sudah ada, di mana tugas dan peran pemerintah dan BI didefinisikan dengan tegas ketika terjadi krisis keuangan. Meski demikian, UU yang mengatur JPSK tersebut belum keluar sehingga, jika rush benar-benar terjadi, masih diperlukan koordinasi antara BI, pemerintah, dan DPR. Jika penanganan krisis tidak segera dilakukan, sistem keuangan mungkin telanjur ambruk.

Upaya ke depan

Dengan memerhatikan komposisi aset, kesesuaian antara sumber dan penggunaan dana di perbankan, kinerja perbankan, serta infrastruktur sistem keuangan, maka secara obyektif perbankan kita belum menghadapi potensi krisis likuiditas yang disebabkan oleh rush.

Dengan memerhatikan risiko dampak putaran kedua krisis keuangan Amerika, yaitu potensi merosotnya ekspor dan terhentinya aliran modal asing, maka perbankan nasional perlu memperkuat komposisi sumber dana dan portofolio asetnya ke arah yang lebih berimbang.

Bagi bank yang saat ini komposisi DPK-nya lebih fokus ke deposito, akan lebih baik segera berbenah dan lebih antisipatif menghadapi potensi keluarnya para deposan besar dari banknya. Selain itu, pembiayaan untuk kredit yang tidak produktif dan berjangka panjang seyogianya mulai dihindari karena akan memperberat kondisi arus kas ketika terjadi guncangan likuiditas di pasar.

Akhirnya, ada baiknya lembaga penunjang stabilitas sistem keuangan seperti LPS untuk segera mempertimbangkan kenaikan nilai simpanan maksimum yang dijamin untuk meningkatkan kepercayaan penabung, selain untuk mereduksi kondisi persaingan suku bunga yang semakin tidak terkontrol. Demikian pula BI, Depkeu, dan DPR agar segera menyelesaikan UU JPSK sehingga, ketika krisis terjadi, semua pihak dapat melaksanakan perannya dengan akuntabilitas dan kredibilitas tinggi.

Djoko Retnadi, Ekonom Bank BRI

Tidak ada komentar: