Minggu, 12 Oktober 2008

Penggerak Ekonomi Rakyat


Senin, 29 September 2008 | 01:30 WIB

Batik bukan sekadar warisan budaya lagi. Kini batik menjelma sebagai salah satu kekuatan yang menggerakkan perekonomian rakyat. Tren batik pun penting untuk dipertahankan karena banyak menyerap tenaga kerja dan menyumbang devisa negara.

Berdasarkan data Departemen Perindustrian, tahun 2006 terdapat 48.300 unit industri kecil dan menengah di bidang batik yang menyerap 792.300 tenaga kerja. Saat itu nilai produksi batik mencapai Rp 2,9 triliun. Dari jumlah itu, ada devisa Rp 1,1 triliun dari ekspor batik. Tahun 2007 (angka prognosa), jumlah unit usaha meningkat menjadi 50.715 yang melibatkan 831.915 tenaga kerja dengan nilai produksi Rp 3,045 triliun.

”Booming batik ini harus bisa dipertahankan karena menghidupkan pelaku usaha, baik pedagang maupun produsen batik, dan pembatik di daerah,” kata Hasan Basri, pengusaha busana yang juga Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) DKI Jakarta, Selasa (9/9).

Hasan menuturkan, batik telah menjadi sumber ekonomi bagi ratusan ribu orang. Karena itu, selain mempertahankan tren, harus diikuti langkah melestarikan dan mengembangkan batik. Perlindungan melalui paten diperlukan untuk menghindari klaim batik Indonesia oleh negara lain. ”Jangan sampai dikuasai asing karena hasilnya jadi dinikmati orang asing,” katanya.

Batik China

Namun, perdagangan batik dalam negeri saat ini mulai digerogoti ”batik” China. Meskipun karakterisiknya berbeda dengan batik Indonesia, ”batik” China yang sudah diperdagangkan sekitar tiga tahun lalu, antara lain di Pasar Tanah Abang, ternyata juga menarik perhatian. Jika dibiarkan, tidak mustahil usaha batik Nusantara melemah.

Situs www.depperin.go.id menyebutkan, nilai ”batik” China yang masuk Indonesia sejak awal 2008 mencapai Rp 290 miliar. Tahun 2006, nilai produksi batik nasional mencapai Rp 2,9 triliun. Dari jumlah itu, 10 persen terdistorsi ”batik” China. Ini menunjukkan ”batik” China bukanlah ancaman kosong, apalagi batik bukan hanya milik Indonesia. Sejumlah negara, seperti India, Banglades, Sri Lanka, Jepang, Thailand hingga Amerika pun mengembangkan ”batik”. ”Impor batik harus dikurangi. Berikan proteksi pada batik kita,” ungkap Hasan.

Anggota Dewan Pembina Yayasan Batik Indonesia Doddy Soepardi HAR mengatakan, Indonesia tidak perlu khawatir terhadap maraknya ”batik” China sepanjang ada upaya edukasi kepada masyarakat untuk membedakan, terutama dari sisi batik cap atau tulis. ”Kini ada batik mark atau penanda batik sebagai pembeda antara batik tulis, cap, dan kombinasi batik cap dan tulis. Ini untuk memberi jaminan mutu serta melindungi produsen dan konsumen,” kata Doddy.

Menurut Afif Syakur, perancang busana yang juga Ketua III Paguyuban Pecinta Batik Indonesia ”Sekar Jagad”, sejumlah negara memang kini memproduksi batik. Namun, Indonesia memiliki keunggulan lebih dalam hal mencipta motif-motif batik. Ini yang harus dibina selain meningkatkan promosi batik ke luar negeri.

Cara jitu

Anggota Yayasan Batik Indonesia, Mawarzi Idris, menuturkan, Malaysia punya cara jitu mempromosikan batiknya dengan menugaskan tiga kementerian, yaitu Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan, Kementerian Pembangunan Usahawan dan Koperasi, serta Kementerian Pelancongan, untuk mengurusnya.

”Mereka meriset pasar mulai dari desain, warna, dan bahan. Bahkan, mengundang rumah mode di Paris dan Roma dan perancang papan atas internasional agar batik mereka diterima di pasar mode dunia dan jadi pilar utama pengembangan ekonomi Malaysia,” kata Mawarzi.

Para pembatik Indonesia tidak perlu berkecil hati. Meskipun beberapa negara juga mengembangkan batik, Indonesia memiliki kekhasan. (ACI/RWN/EKI)

Tidak ada komentar: