Selasa, 14 Oktober 2008

Menelanjangi Liberalisme


Senin, 13 Oktober 2008 | 00:25 WIB

Ahmad Erani Yustika

Ketika sosialisme ”berjaya” pada dekade 1950-an, yang tampak di permukaan sebetulnya hanya khayalan tentang indahnya pemerataan.

Sebab, yang sebenarnya terjadi adalah kemelaratan massal yang ditumpuk di bawah glamor yang dinikmati elite politik. Itulah aurat sosialisme yang coba ditutupi lewat baju ”sama rata, sama rasa”. Kontrasnya adalah impian kapitalisme tentang ”pertumbuhan tak terbatas” yang bakal dinikmati semua orang melalui kebebasan tak terhingga.

Realitasnya, kebebasan tak terbatas itu hanya milik pemilik modal yang jumlahnya amat sedikit, sedangkan selaksa kaum tunakapital tersandera dalam pilihan-pilihan yang serba terbatas. Hasilnya, ketimpangan kesejahteraan dan watak kerakusan korporasi yang tidak terbendung. Ketelanjangan kapitalisme inilah yang hari-hari belakangan ini tersingkap dari baju perekonomian AS sehingga kehormatannya nyaris terkoyak.

Destruksi kreatif

Peristiwa dramatis di AS sejak Juli 2007—ditandai kasus subprime mortgage—merupakan rangkaian krisis panjang yang bakal menembus segala arah, termasuk ke Asia/Indonesia. Semakin hebat integrasi ekonomi suatu negara terhadap perekonomian global—di mana AS sebagai pemandunya—kian besar potensi bagi negara itu terkena imbas krisis keuangan AS.

Masalahnya, penjalaran itu dimungkinkan lebih cepat karena ketidaksanggupan Pemerintah AS mengatasi krisis finansial. Setelah dua raksasa mortgage tumbang—Fannie Mae dan Freddie Mac—satu bulan lalu, giliran lembaga investasi AS, Lehman Brothers dan Merrill Lynch, juga gulung tikar. Tidak hanya itu, ketika Pemerintah AS belum tahu kebijakan yang harus dibuat, tiba-tiba Washington Mutual (WaMu), bank simpan pinjam terbesar di AS, bangkrut pula.

Tragedi itu sebetulnya bersumber dari keyakinan yang sudah dihidupkan sejak lama: ekonomi tanpa regulasi dan internasionalisasi persaingan ekonomi. Ekonomi tanpa regulasi merupakan bendera yang menjadi jualan kaum liberalis untuk meyakinkan semua pengambil kebijakan ekonomi bahwa keterbelakangan ekonomi merupakan akibat praktik aktivisme negara.

Inisiatif individu yang dipagari beragam regulasi membuat inovasi macet. Implikasinya, ekonomi menjadi stagnan akibat ketiadaan insentif. Karena itu, watak ekonomi ”serba negara” yang antiinovasi itu perlu diakhiri melalui kebebasan tanpa batas agar muncul destruksi yang memicu kreativitas (creative destruction, menurut Schumpter).

Munculnya lembaga keuangan/investasi di AS akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, seperti Lehman Brothers dan Merrill Lynch, merupakan buah destruksi kreatif itu.

Sementara itu, internasionalisasi persaingan ekonomi merupakan kepercayaan lain yang tidak kalah spektakuler. Kaum liberalis berpandangan: pemagaran persaingan ekonomi antarnegara berarti melindungi praktik inefisiensi ekonomi yang digeluti oleh warga/firma suatu negara.

Implikasinya, konsumen (di negara bersangkutan) ditutup peluangnya untuk mendapatkan barang/jasa yang lebih bagus dengan harga murah. Demikian pula kesempatan produsen di suatu negara disumbat untuk mendapat sumber daya ekonomi lain (termasuk tenaga kerja) yang bermutu karena pergaulan ekonomi dengan negara lain dibatasi.

Singkatnya, bila praktik antipersaingan internasional dilanggengkan, inefisiensi ekonomi bakal terjadi dan kesejahteraan masyarakat sulit diciptakan. Hal ini baru dapat diterobos bila persaingan ekonomi internasional diamalkan menyeluruh.

Kontestasi pemikiran

Dua pilar ekonomi itulah yang secara perlahan dipraktikkan di semua negara, tidak terkecuali kawasan Amerika Latin dan Eropa Timur yang dulu kukuh dengan gagasan sosialisme.

Dekade 1980-an merupakan titik awal penahbisan ide ”ekonomi tanpa regulasi” dan secara cepat menjalar ke semua arah (negara). Mula-mula liberalisasi finansial dipraktikkan lebih dulu dan baru diikuti liberalisasi barang/jasa, di mana yang terakhir ini ditandai via ratifikasi GATT/WTO di Marakesh pada tahun 1994.

Namun, ketangguhan keyakinan itu tidak berumur lama sebab kurang dari dua dekade, prinsip-prinsip itu kehilangan pamor. Ekonomi tanpa regulasi terbukti merupakan gagasan paling tidak kreatif yang pernah muncul dalam sejarah pemikiran ekonomi. Masalahnya bukan terletak pada logika berpikir, tetapi kealpaan untuk menempatkan individu sebagai makhluk multifaset.

Perilaku menyimpang individu merupakan keniscayaan yang ditanggalkan kaum liberalis sehingga regulasi untuk membatasi tabiat buruk tidak masuk hitungan. Padahal, perilaku yang mencederai etika merupakan bagian penting dalam kasus ambruknya ekonomi dunia saat ini. Seterusnya, kanibalisme ekonomi tidak diprediksikan akibat dogma equal access akan membuat seluruh individu mendapatkan hasil setara.

Kenyataannya, kepemilikan aset dan modal lebih menentukan siapa pemenang dalam pertarungan ekonomi tanpa regulasi sehingga ketimpangan pendapatan dan keterbelakangan di banyak negara merupakan fakta keras yang sulit dibantah.

Menjadi jelas, gagasan liberalisme dianut banyak pemikir bukan karena kedigdayaan bangun teorinya, tetapi karena rapuhnya tiang ide sosialisme. Jadi, yang dibutuhkan saat ini adalah kontestasi pemikiran genial yang tidak diikat fanatisme dua fundamentalis ideologi ekonomi itu.

Ahmad Erani Yustika Direktur Eksekutif Indef; Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya

Tidak ada komentar: