Rabu, 15 Oktober 2008

Momentum Kebangkitan Jepang?



EPA/DAI KUROKAWA / Kompas Images
Seorang pejalan kaki melirik ke papan pengumuman yang memperlihatkan pergerakan harga-harga saham di Tokyo, Jepang, Selasa (14/10). Pada hari itu, indeks Nikkei naik 1.171,14 poin atau 14 persen menjadi 9.447,57 poin saat penutupan sesi perdagangan.
Rabu, 15 Oktober 2008 | 03:00 WIB

Ardhian Novianto

Tahun lalu, semua orang masih berpikir sistem keuangan AS sangat kuat. Sekalipun krisis subprime mortgage sudah menunjukkan tanda-tanda kacau mulai tahun 2005, sejumlah besar bank investasi, seperti Lehman Brothers Morgan Stanley, dan lainnya, tak membayangkan semua itu akan hancur seketika.

Ketika krisis subprime mortgage meledak dan bank-bank besar melaporkan kerugian mencapai 435 miliar dollar AS per 17 Juli 2008, guncangan besar tak terelakkan lagi. Bagai diterjang tsunami, pasar modal dunia luluh lantak. Pemerintah Belanda, Belgia, dan Luksemburg harus turun tangan menolong Fortis NV.

Asia, khususnya Jepang, dalam hal ini hanya terimbas sedikit. ”Mungkin karena Jepang dan juga Asia pada umumnya sudah tahu cara menghadapi situasi ini, dengan pengalaman krisis 1998,” kata Yusuke Kawamura, guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Nagasaki, Nagasaki, Jepang. ”Tentu saja bank investasi Jepang menginvestasikan dana di surat berharga berbasis kredit perumahan (subprime mortgage loan) di AS, tetapi jumlahnya relatif kecil,” ujarnya.

Dampak krisis ini, sekarang aset bersih bank investasi Jepang menjadi sangat kuat dan besar. Bank investasi Jepang pun ambil bagian dalam akuisisi bank investasi di AS. Nomura Holdings Inc membeli seluruh operasi Lehman Brothers di Eropa dan Asia dengan total karyawan 5.500 orang, dengan 1.000 orang di antaranya adalah karyawan Lehman Brothers yang ditempatkan di Jepang. Untuk operasi Lehman Brothers di Asia Pasifik saja, Nomura membayar seharga 225 juta dollar AS.

Bank terbesar Jepang, Mitsubishi UFJ Financial Group Inc, membeli 20 persen saham Morgan Stanley dengan nilai 8,4 miliar dollar AS.

Siklus 10 tahunan

Jika dirunut ke belakang, ada semacam siklus 10 tahunan dalam sistem keuangan Jepang. Hampir 30 tahun lalu, tepatnya tahun 1979 terbit satu buku laris di Jepang berjudul Japan as Number One: Lessons for America tulisan sosiolog Amerika, Ezra F Vogel. Buku ini intinya mengatakan sistem manajemen AS sudah kuno. Sebaliknya, Jepang dipandang terus maju dengan gaya, teknik, dan trik-trik baru yang mesti dilihat dan diwaspadai AS karena mungkin Jepang akan menjadi yang terbaik.

Lalu, tahun 1988 majalah Fortune mencatat, 8 dari 10 bank terbesar di dunia adalah bank Jepang, antara lain Dai-Ichi Kangyo, Sumitomo, Fuji, Mitsubishi, dan Sanwa.

Kepercayaan diri industri keuangan Jepang semakin membubung. Tahun 1990, menurut catatan BusinessWeek, dari 20 bank dengan kapitalisasi pasar terbesar di dunia, 18 di antaranya adalah bank Jepang.

Mendadak ambruk

Namun, 10 tahun lalu, tiba-tiba kekuatan Jepang ambruk dalam krisis keuangan 1998. Nyaris semua institusi kekuatan Jepang terpuruk. Hasilnya, dari 10 bank dengan kapitalisasi pasar terbesar pada tahun 2000, hanya tersisa satu bank Jepang, yaitu Bank of Tokyo-Mitsubishi yang berada di peringkat ke-8. Dibanding Amerika dan Eropa, kekuatan industri keuangan Jepang tidak terlalu diperhitungkan lagi. Pecahnya gelembung sabun ekonomi (economic bubble) telah mengakibatkan Jepang kehilangan proses selama 10 tahun.

Kondisi ini memaksa industri keuangan Jepang mundur dari wilayah Asia. Misalnya, Daiwa Securities yang sebelumnya punya 10 sampai 25 cabang di berbagai negara Asia, tepat 10 tahun lalu hanya menyisakan satu cabang di Singapura.

Dan, saat ini, 10 tahun setelah krisis 1998, tiba-tiba saja raksa keuangan AS terpuruk dan meminta bantuan Jepang, Eropa, serta China, lawan ideologi AS. ”Jepang sudah kembali,” kata Anglophile Chief Operating Officer Nomura Holdings, Takumi Shibata, dalam wawancara dengan Times akhir bulan lalu.

”Ini semacam keajaiban. Hanya setahun lalu, tiba-tiba sekarang semua berubah. Selama ini seluruh dunia selalu berpikir, sistem manajemen dan keuangan AS adalah yang terbaik dan menjadikannya acuan. Melihat kondisi saat ini, mungkin orang berpandangan bahwa sistem keuangan AS bukan yang terbaik, malah mungkin yang terburuk. Ini satu ironi besar. Mungkin ini saatnya melihat kembali ke Jepang,” kata Kawamura.

Tidak ada komentar: