Sabtu, 18 Oktober 2008

Perbankan


Momentum Berpaling Kembali ke UMKM
Jumat, 17 Oktober 2008 | 01:36 WIB

M Fajar Marta

Gejolak pasar keuangan yang terjadi saat ini sudah pasti akan mengingatkan benak semua pihak pada krisis ekonomi tahun 1997-1998. Kendati kecil kemungkinannya berulang, gejolak saat ini tetap harus diwaspadai dan dijadikan momentum untuk mengoreksi kesalahan yang ada dengan becermin pada krisis 1997.

Salah satu pelajaran yang bisa dipetik dari krisis 1997 ialah ketidakpedulian sektor perbankan pada kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) produktif.

Sebelum krisis 1997, kredit perbankan amat terkonsentrasi pada kredit korporasi dan juga konsumsi. Hanya segelintir kredit yang disalurkan bank ke sektor UMKM. Bank cenderung menganggap remeh sektor ini.

Maklum, sebagian besar bank saat itu dimiliki konglomerasi bisnis. Bank dimanfaatkan untuk menghimpun dana masyarakat lalu sebagian besar dananya disalurkan ke proyek-proyek milik perusahaan afiliasi di berbagai bidang seperti properti, infrastruktur, dan manufaktur.

Risiko semakin rawan karena korporasi afiliasi juga gemar meminjam utang valuta asing (valas) dari perbankan luar dan dalam negeri. Ketika akhirnya nilai tukar rupiah terdepresiasi amat dalam, bencana dahsyat datang.

Utang valas kepada perbankan domestik menjadi bermasalah sehingga bank terbebani kredit macet yang amat besar dan mengalami kelangkaan likuiditas. Nasabah pun kehilangan kepercayaan kepada bank dan mulai melakukan penarikan dana besar-besaran (rush).

Bank akhirnya kolaps dan berujung pada munculnya skema Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan rekapitalisasi yang dampaknya masih menyengsarakan hingga kini.

Setelah direkap sehingga permodalan kembali memadai, bank dituntut untuk kembali melakukan fungsi intermediasinya guna membangkitkan kembali perekonomian. Bank pun kebingungan mengingat sebagian besar nasabah korporasi masih sakit akibat krisis. Di saat inilah datang dewa penolong, yakni sektor UMKM.

UMKM nan lentur

Dampak krisis terhadap sektor UMKM relatif minim karena geraknya yang lentur dan keterkaitannya yang rendah dengan pasar keuangan. Sektor UMKM akhirnya mengisi peluang-peluang usaha yang ditinggalkan korporasi. Sektor ini menjadi lahan baru perbankan.

Setelah sempat menikmati masa bulan madu hingga 2006, perbankan nasional, yang sebagian besar sudah dijual ke asing, mulai kehilangan memori dan traumatis krisis 1997. Korporasi dan konglomerasi yang mulai bangkit telah memalingkan wajah perbankan dari mitra sejatinya, yakni sektor UMKM. Bank lalu mengendurkan ekspansinya ke sektor tersebut.

Porsi kredit UMKM pun terus menyusut dari 26,3 persen pada tahun 2006 menjadi 24,3 persen dari total kredit yang mencapai Rp 1.167 triliun. Sebaliknya, kredit korporasi dan kredit konsumsi terus menggelembung.

Kredit korporasi digolongkan sebagai kredit dengan plafon di atas Rp 5 miliar, sedangkan kredit UMKM memiliki plafon sampai dengan Rp 5 miliar. Kredit korporasi dan UMKM merupakan kredit produktif untuk modal kerja dan investasi. Adapun kredit konsumsi merupakan kredit untuk kegiatan konsumtif seperti beli rumah atau mobil.

Butuh pengorbanan

Penyaluran kredit UMKM memang butuh pengorbanan, waktu, serta usaha yang relatif lebih keras dan sulit. Bayangkan, seorang pegawai bank yang berdasi harus mendatangi para nelayan di pesisir pantai. Pegawai bank lalu menjelaskan pentingnya kredit kepada para nelayan sebagai upaya memperbesar modal usaha. Lalu sang nelayan setuju meminjam Rp 1 juta untuk menambah persediaan bahan bakar atau memperbaiki kapal.

”Penderitaan” bankir tak berhenti sampai di sini. Selanjutnya ia masih harus bolak-balik untuk menagih cicilan utang, mengajarkan cara mengatur keuangan kepada sang nelayan, dan bahkan ikut memasarkan ikan-ikan yang tidak laku.

Bayangkan pula, bankir sedang duduk-duduk di kantor lalu datang direktur korporasi yang memiliki reputasi bagus mengajukan kredit Rp 100 miliar untuk membangun pabrik otomotif. Kredit pun disetujui dengan bunga 12 persen/tahun.

Dengan membandingkan dua ilustrasi di atas, bisa ditebak, kondisi mana yang lebih dipilih bankir. Namun, di sinilah justru tantangan perbankan. Jika berhasil mengubah paradigma dan sukses menyalurkan kredit ke sektor UMKM, bank akan menuai banyak manfaat di kemudian hari. Selain keuntungan yang berlipat, bank akan mendapat manfaat utama, yakni kokohnya fundamental bank mengingat kredit UMKM tahan berbagai gejolak perekonomian sehingga tidak mudah macet.

Paradigma

Maka, untuk kemaslahatan bersama, perbankan nasional seharusnya kembali mengutamakan kredit UMKM. Perbankan harus menjadikan sektor ini sebagai pilar terpenting perekonomian negeri. Bank diharapkan tidak lagi hanya memburu perusahaan-perusahaan yang telah jadi, tetapi juga menjadi pelopor mengembangkan potensi perekonomian dengan menumbuhkan wirausahawan.

Perbankan harus meningkatkan kompetensinya dalam memberdayakan UMKM dengan memberikan solusi total, mulai dari menjaring wirausahawan baru potensial, membinanya hingga menumbuhkannya. Pemberian kredit hanyalah satu mata rantai dalam pengembangan UMKM secara utuh.

Faktor pembinaan sebenarnya jauh lebih menentukan gagal suksesnya wirausahawan ketimbang faktor pembiayaan. Terbukti selama puluhan tahun sudah banyak diciptakan kredit program atau subsidi, tetapi pengembangan UMKM Indonesia tetap kurang berhasil dibandingkan dengan negara lain.

Terkait pembinaan wirausahawan, Bank Mandiri, misalnya, menggulirkan program Wirausaha Muda Mandiri (WMM) yang bertujuan memfasilitasi dan memotivasi generasi muda dalam kewirausahaannya.

Terkait pembinaan ini, bank- bank sebaiknya memiliki pusat pelatihan wirausaha. Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN), misalnya, berencana menyediakan ruang pelatihan di setiap kantor cabangnya.

Strategi lain yang menentukan keberhasilan pengembangan UMKM ialah menciptakan model pembiayaan yang kreatif untuk sektor mikro dan kecil.

Bank Negara Indonesia (BNI), misalnya, banyak menciptakan model cluster atau kelompok untuk menjangkau pengusaha mikro. Sebagai contoh, di kawasan Jawa Barat, banyak pedagang kelontong keliling yang menjual barangnya secara kredit. Karena modal cekak, barang yang dijual pun tak bisa banyak.

Lalu BNI mengumpulkan para pedagang yang beroperasi dalam satu area dan dibentuklah kelompok. Dari kelompok tersebut dipilih seorang bapak angkat yang tentu saja memiliki usaha paling besar. Selanjutnya bank menyalurkan kredit kepada bapak angkat yang lalu mendistribusikan kepada para anggotanya. Bapak angkat pun menjadi penjamin kredit.

Pola ini dapat diperluas untuk koperasi usaha, koperasi simpan pinjam, dan usaha inti plasma.

Model bisnis pembinaan dan pembiayaan yang diciptakan peraih Nobel Muhammad Yunus dari Grameen Bank di Banglades patut dicontoh. Grameen membina pelaku usaha mikro dan memberikan kredit tanpa agunan tambahan. Dengan skim ini, mereka dapat menjangkau banyak pelaku usaha mikro.

Untuk model bisnis yang lebih modern, bank dapat melakukan program penerusan (linkage program) dengan lembaga keuangan mikro, seperti bank kredit desa.

Kredit program berupa Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebenarnya merupakan langkah terobosan brilian untuk mendorong perbankan menyalurkan kredit mikro. Sayangnya, banyak bank tidak memanfaatkannya.

KUR merupakan kredit tanpa agunan tambahan dengan menggunakan skema penjaminan. Dengan skim penjaminan, KUR sangat bermanfaat bagi bank dalam memperluas basis nasabah. Selanjutnya, dengan program pembinaan, pengusaha mikro baru yang direkrut melalui program KUR diharapkan terus tumbuh dan menjadi nasabah loyal sampai usahanya besar.

Mengantisipasi pertumbuhan usaha nasabah dan kebutuhan kredit yang makin besar, bank perlu membuat kelas-kelas produk kredit. Untuk kredit mikro, bank bisa menggunakan skema KUR. Ketika usaha nasabah tumbuh, ia pun naik kelas menjadi nasabah kecil dengan plafon kredit lebih besar. Jika terus berkembang, maka akan menjadi nasabah menengah hingga akhirnya nasabah korporasi.

Tidak ada komentar: