Selasa, 14 Oktober 2008

Reorientasi Ekonomi

Kamis, 9 Oktober 2008 - 09:36 wib

Meski optimistis gejolak keuangan global saat ini tidak akan mengakibatkan krisis ekonomi seperti 1997-1998 lalu, pemerintah tetap waspada dengan membentuk tim khusus mengantisipasi dampak krisis global.

Harus diakui, gejolak ekonomi global menyusul bangkrutnya Lehman Brothers setidaknya berdampak terhadap nilai tukar, bursa saham, dan suku bunga. Lebih dari itu, krisis finansial yang belum tuntas di AS akan memicu capital outflow dari Indonesia yang semakin besar sehingga bursa saham dan valuta akan semakin anjlok.

Koreksi tersebut dicemaskan akan semakin besar akibat anjloknya harga komoditas seperti CPO, batu bara, dan lainnya. Pilihan kebijakan pemerintah yang hanya menaikkan bunga tinggi dan melakukan intervensi kurs rupiah dikhawatirkan hanya akan menguras devisa.

Meski, konon, fundamen ekonomi Indonesia masih cukup kuat, namun pemerintah diminta segera mengambil langkah penyelamatan terhadap semua sektor penggerak ekonomi untuk meredam tekanan pasar keuangan.

Hal itu karena pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini lebih bertumpu pada sektor keuangan, terutama perbankan dan pasar modal. Pemerintah terlalu lama membiarkan devisa terpendam di BI dan lebih mengutamakan intervensi rupiah agar dapat mengendalikan inflasi.

Padahal, inflasi akibat pelemahan ekonomi global tidak perlu dicemaskan, jika sektor riil, khususnya industri dan infrastruktur, bisa bergerak atau tumbuh. Seharusnya kebijakan yang diambil agar mendukung pertumbuhan ekonomi domestik.

Hal ini terkait dengan adanya fenomena negatif yang melanda perekonomian dunia. Dengan kebijakan itu, kepercayaan pasar pun turut terbangun sehingga pelaku usaha maupun investor, mau berusaha kembali di Indonesia.

Pernyataan tentang kuatnya fundamental ekonomi kita pernah dilontarkan ketika tanda-tanda krisis moneter mulai melanda Asia pada 1997. Kenyataannya, cerita sukses makroekonomi pemerintahan Orde Baru seakan bubble yang dalam sekejap meletup meninggalkan krisis berkepanjangan yang dampaknya masih terasa hingga kini.

Globalisasi pasar uang telah menjadi pendorong sistem kapitalisme global.Pada sisi lain, ekonomi riil menjadi semakin tidak berarti. Pergeseran dari perdagangan ke pasar uang, sangat jelas terlihat dalam kenyataan bahwa transaksi di pasar devisa global sejak pertengahan 1990-an, misalnya, berjumlah rata-rata di atas USD1,5 triliun per hari dengan kecenderungan terus menanjak.

Jumlah ini, sama dengan total perdagangan barang dan jasa selama tiga bulan (Hirst/ Thompson, Globalisation in Question,2004) Sejak 1991, UNCTAD telah memperingatkan dampak "dominasi uang atas industri".

Salah satunya perusahaan yang (semakin) didominasi oleh aktor keuangan, lebih menekankan upaya keuntungan jangka pendek dan peningkatan dividen ketimbang pertumbuhan jangka panjang lewat investasi dalam penelitian dan pengembangan.

Arus dana spekulatif ke negara berkembang, termasuk ke Indonesia, lebih didorong oleh aspek "penawaran", bukan "permintaan", termasuk penawaran tingkat suku bunga yang tinggi.

Berkat oil boom pada 1970-an dan mundurnya AS dari Perang Vietnam, terjadi penumpukan dana di bank-bank negara industri yang mencari lahan untuk investasi. Kondisi ekonomi riil yang memburuk di negara- negara berkembang tidak menjadi penghalang bagi aliran dana dari utara ini.

Negara-negara yang tadinya bangkrut terjebak beban utang luar negeri, tiba-tiba dianggap sebagai "big emerging markets". Hingga kini kita masih saja mengikuti anjuran IMF prakrisis Asia,yaitu liberalisasi pasar uang, mempertahankan suku bunga lebih tinggi dibandingkan negara industri, serta mengaitkan mata uang dengan dolar AS untuk meyakinkan investor asing atas keamanan investasinya dari krisis moneter.

Perbedaan tingkat suku bunga yang tinggi memang menyebabkan mengalirnya dana dari negara maju.Tingkat pertumbuhan pun melejit, begitu pula inflasi dan defisit perdagangan luar negeri.

Awalnya, sistem ini kelihatannya berfungsi baik. Selama tiga tahun hingga Krisis 1997, investasi portofolio berkembang dari USD24 miliar sampai sekitar USD50 miliar dalam bentuk kredit. Arus dana ke Indonesia, Malaysia, Filipina,Thailand dan Korea Selatan,ketika itu,meningkat drastis dari USD37,9 miliar pada 1994 menjadi USD97,1 miliar pada 1996.

Masalahnya,dana yang masuk bersifat spekulatif sekedar mencari keuntungan cepat dan besar. Karena itu, dana tersebut tidak mengalir ke sektor produktif atau pertanian, tetapi ke bursa saham, kredit konsumtif dan spekulasi properti.

Tak heran bahwa pada masa-masa boom,harga lahan di beberapa kawasan emas Jakarta lebih mahal dibandingkan beberapa pusat kota Eropa. Sudah sejak 1996 terlihat simptom krisis: stagnasi di sektor properti dan menurunnya ekspor, sementara defisit perdagangan luar negeri semakin meningkat.

Investor asing pun mulai mencemaskan kemampuan membayar negara pengutang. Pada 1997,kecemasan menjadi kepanikan yang berujung pada penarikan dana secara liar, adalah kegiatan spekulatif para Hedge Funds. Di Thailand, dalam satu hari (10 Mei 1997) terjadi penukaran uang sebesar USD10 miliar (Khantong, The Currency War is the Information War, 1998).

Krisis moneter yang selalu berulang memunculkan berbagai usulan reformasi sistem keuangan global. Ada usulan untuk kembali ke "Bretton Woods System".Aliran ini menginginkan kontrol yang lebih ketat atas arus dana global untuk menghindari dampak destabilisasi aliran dana.

Sistem yang berlaku di Malaysia, kerap menjadi contoh, di mana investor portofolio diharuskan menaruh deposito di Bank Sentral sebagai jaminan. Kontrol secara nasional dianggap lebih berpeluang sukses ketimbang kontrol global. Keberhasilan China dan India menghindari krisis moneter, diajukan sebagai bukti.

Dengan kelompok Keynesian, terdapat kesamaan visi, bahwa sebuah Asian Currency Funds diperlukan dan sangat mungkin untuk dilakukan. Tetapi terdapat perbedaan mendasar dengan aliran Keynesian,yaitu kritik terhadap proses globalisasi.

Bagi kelompok kedua, penyebab utama krisis bukanlah capital volatility,melainkan kesalahan pandang bahwa ekspor dan investasi asing adalah motor pembangunan ekonomi.Bahwa ketika itu,Thailand, Meksiko, Argentina dan Indonesia yang paling setia mengikuti paradigma outward oriented development ini, kemudian mengalami "gempa moneter", adalah sebuah konsekuensi logis kesalahan paradigma. Seharusnya, solusi dicari dalam bentuk kerangka pertumbuhan berorientasi ke dalam negeri lewat penguatan sektor riil.(*)

Ivan A Hadar
Koordinator Nasional Target MDGs
(Bappenas/UNDP)

(//ahm)

Tidak ada komentar: