Kamis, 16 Oktober 2008

Mengamankan Sektor Riil

Kamis, 16 Oktober 2008 | 00:28 WIB

Paceklik ekonomi yang dicemaskan itu sesungguhnya sudah mulai merasuki Amerika Serikat. Dua hari lalu Presiden San Francisco Federal Reserve Bank Janet L. Yellen memastikannya. Berpidato di forum Financial Executive International di Palo Alto, California, dia mengatakan selama triwulan ketiga yang baru lewat boleh dibilang tak ada pertumbuhan sama sekali, dan keadaan yang lebih buruk akan terjadi. Resesi sudah di depan mata.

Resesi berarti ekonomi menciut--kegiatan produksi dan konsumsi menurun signifikan. Kecemasan inilah yang menimbulkan sentimen negatif di Wall Street, sekalipun pemerintah telah berinisiatif menggelontorkan US$ 250 miliar buat menyelamatkan bank-bank. Salah satu gejala resesi adalah terus bertambahnya warga Amerika yang hidup dengan tunjangan kupon makan: lebih dari 29 juta orang sepanjang dua triwulan yang lalu, dan diperkirakan angkanya terus membengkak.

Indonesia sudah pasti terpapar pada efek langsung maupun reperkusi dari perekonomian Amerika, juga dunia, yang memburuk. Permintaan produk ekspor utama kita sudah bergerak turun. Tekstil dan produk tekstil, misalnya, yang dari Jawa Tengah saja sejauh ini sudah turun 40 persen. Banyak perusahaan di berbagai bidang kini juga mulai merevisi target penjualan dan labanya.

Pemerintah memang telah menjalankan langkah-langkah untuk menangkal dampak mengerutnya ekonomi Amerika. Tapi semua itu lebih berguna untuk mengamankan sektor finansial, menjamin likuiditas perbankan, dan menyelamatkan bursa saham. Yang belum terlihat adalah tindakan untuk mencegah hantaman gelombang kelesuan di sektor riil--kegiatan produksi dan distribusi barang serta jasa di luar sektor finansial.

Langkah itu, dalam jangka pendek, tak terelakkan demi membuka ruang bagi tumbuhnya konsumsi di dalam negeri. Ruang yang lebih lega minimal bisa mengkompensasi penyusutan volume ekspor.

Masalahnya, pertumbuhan konsumsi menuntut daya beli yang cukup. Dengan laju inflasi yang relatif tinggi, syarat ini sulit dipenuhi. Mengingat sebagian penyebab inflasi berkaitan dengan hambatan struktural dan kemampuan manajemen pemerintah, yang mengganggu pasokan komoditas yang tergolong dalam biaya hidup, tak bisa tidak pemerintah mesti mengerahkan segala dayanya untuk membenahi hambatan itu. Tanpa hal ini, kebijakan suku bunga tinggi yang dijalankan oleh Bank Indonesia akan sia-sia. Dan dalam situasi sekarang ini pun sebenarnya lebih dibutuhkan kebijakan moneter yang longgar.

Untuk keperluan jangka panjang, pekerjaan pemerintah jauh lebih pelik karena semuanya bersifat struktural, dan sama sekali tak bisa hanya berhenti di pernyataan “meminimalkan korupsi dan mengefisienkan birokrasi”. Tapi tak satu pun yang bisa dikecualikan demi iklim usaha yang lebih kompetitif. Diversifikasi tujuan ekspor juga merupakan keniscayaan. Semua itu seperti meletakkan fondasi untuk mendirikan bangunan yang kukuh, yang bisa mengelakkan kita dari kecemasan setiap kali ada terpaan badai dari luar.

Tidak ada komentar: