Senin, 20 Oktober 2008

Dampak Krisis Terhadap Sektor Riil


Oleh: Iman Sugema

Ada persepsi yang kuat di kalangan pemerintahan bahwa krisis finansial global tidak akan terlalu berpengaruh terhadap perekonomian nasional. Alasannya adalah fundamental ekonomi kita kuat dan sektor perbankan tidaklah serentan 10 tahun yang lalu. Selain itu, episentrum krisis berada jauh dari kita.

Saya agak kurang paham mengenai landasan teoretis argumen tersebut. Pengalaman menunjukkan bahwa kita sering gagal untuk mendefinisikan fundamental ekonomi yang relevan untuk menangkis krisis. Krisis finansial global tak bisa ditangkis dengan pertumbuhan ekonomi, suku bunga, ataupun inflasi. Negara-negara yang memiliki kinerja ekonomi yang baik, seperti Korea dan Cina juga mengalami imbas yang lebih parah dibandingkan kita.

Selain itu, kerentanan juga bisa timbul oleh kenyataan bahwa sektor perbankan, asuransi, dan pasar modal didominasi oleh pelaku asing. Mereka sekarang sedang mengalami kesulitan di negaranya masing-masing dan tidak ada jaminan bahwa masalah mereka sebagian dialihkan ke Indonesia. Caranya, yaitu dengan menyedot likuiditas dari Indonesia untuk menutupi cash flow perusahaan induk.

Yang menjadi perhatian kita sekarang ini seharusnya tidak hanya sebatas kebijakan di sektor keuangan. Sektor riil juga harus kita amankan karena dampak negatifnya sudah mulai terasa. Antisipasi dampak di sektor riil menjadi sangat penting karena sebagian besar negara maju telah betul-betul merasakannya dengan cukup jelas.

Dampak terhadap sektor riil domestik dapat diidentifikasi melalui dua saluran. Saluran yang pertama adalah kenyataan bahwa sektor riil domestik terhubung secara langsung dengan sektor riil internasional. Kedua, sektor riil domestik juga terhubung dengan sektor finansial domestik dan internasional. Kita lihat satu per satu.

Sektor riil domestik dan internasional terhubung secara langsung melalui aktivitas ekspor dan impor. Karena sebagian besar negara maju mulai mengalami resesi, otomatis permintaan ekspor komoditas Indonesia akan berkurang. Negara-negara OECD memiliki pangsa sekitar 60 persen terhadap GDP dunia. Adalah sulit untuk membayangkan bahwa resesi yang mereka alami tidak akan mengganggu kita. Memang bisa dicari alternatif pasar. Tetapi, jelas tidak ada pasar yang mampu menggantikan peran mereka. Mereka terlalu besar untuk digantikan. Bahkan, semua negara tentunya akan melakukan hal yang sama, yaitu semaksimal mungkin mengalihkan ekspor ke negara mana pun yang mungkin. Karena itu, kita mungkin akan menghadapi persaingan yang lebih keras di pasar ekspor nontradisional. Bahkan, pasar domestik akan dibanjiri oleh produk-produk impor dari Cina dan Vietnam.

Masalahnya adalah kita telah memberlakukan pasar bebas dengan Cina sehingga tidak lagi bisa dengan mudah memberikan proteksi terhadap produk nasional. Inilah buah dari liberalisasi yang ugal-ugalan.

Dalam kenyataannya, perusahaan eksportir kita telah merasakan sebagian dampak negatif krisis sejak beberapa bulan yang lalu. Sebagian besar order ekspor telah mengalami pengurangan. Beberapa produsen tekstil belum menerima order untuk delivery tahun depan. Pembatalan order juga semakin sering terjadi.

Dampak negatif berikutnya bisa diidentifikasi melalui saluran finansial dan tampaknya justru akan membawa implikasi yang jauh lebih serius. Memang, mereka yang hanya percaya terhadap teori real business cycle tentunya tidak akan menganggap saluran ini begitu penting.

Mereka hanya percaya pada doktrin Modigliani, yakni finance is a veil yang berarti bahwa yang paling penting adalah sektor riil dan kejadian apa pun di sektor finansial tidak akan memiliki implikasi apa-apa terhadap sektor riil. Sebaliknya, aliran New-Keynesian justru percaya bahwa krisis di sektor riil bisa dipicu oleh situasi yang buruk di sektor finansial. Perkembangan yang terjadi belakangan ini menunjukkan bahwa hipotesis New-Keynesian lebih mendekati kenyataan dan diindikasikan dengan hal-hal berikut ini.

Pertama, sebagaimana telah terjadi terhadap Grup Bakrie dan beberapa grup bisnis lainnya, ternyata anjloknya harga saham telah ikut menurunkan akses mereka terhadap kredit dan pasar modal. Ketika harga saham turun, net worth mereka otomatis juga turun sehingga credit-worthiness perusahaan-perusahaan mereka juga melemah. Pada gilirannya, mereka akan mengalami kesulitan untuk melakukan roll over dan refinancing untuk kredit yang telah jatuh tempo. Beberapa kreditor bahkan memutuskan untuk tidak melanjutkan pembiayaan berbagai proyek yang sudah berlangsung selama setahun terakhir ini. Kita akan menyaksikan banyak proyek yang tidak diselesaikan di tengah jalan karena kesulitan pembiayaan.

Kedua, volatilitas di pasar keuangan juga akan meningkatkan persepsi risiko. Akibatnya, perusahaan mejadi lebih sulit untuk mencari dana atau kalaupun ada dana harganya lebih mahal. Bahkan, JP Morgan Chase merekomendasikan bahwa obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia sebaiknya dihindari. Penilaian ini jelas membuktikan bahwa pemerintah sekalipun akan mengalami kesulitan dalam pembiayaan defisit. Dunia usaha tentunya akan menghadapi kesulitan yang jauh lebih parah.

Ketiga, kesulitan likuiditas perbankan dalam beberapa minggu terakhir ini mulai terasa oleh sektor riil. Kredit menjadi lebih sulit untuk diperoleh. Dunia usaha mulai mengeluhkan bahwa kredit yang telah disetujui oleh bank, tiba-tiba dibatalkan secara sepihak. Hal itu kini lebih sering terjadi, terutama terhadap UKM yang memang bukan prime customer bagi perbankan. Dengan lebih seretnya kredit, ekspansi dunia usaha pada tahun 2009 mungkin akan terhambat. Pertumbuhan investasi akan mengalami koreksi habis-habisan.

Sebagai penutup, mungkin sudah saatnya bagi kita untuk menyadari bahwa sangat sulit untuk menghindar dari krisis finansial global. Kita sebaiknya mulai mengatur strategi agar pengaruhnya terhadap sektor riil bisa diminimalisasi.

Tidak ada komentar: