Kamis, 16 Oktober 2008

Resesi Sudah Membelit Amerika

Peraih Nobel Perdamaian memperkirakan resesi bakal berlangsung lama.

NEW YORK -- Sejumlah pengamat dan pejabat keuangan kemarin menilai saat ini Amerika Serikat sudah mengalami resesi. Kondisi ini merupakan kelanjutan dari krisis keuangan global yang dipicu oleh kredit macet perumahan di negara pusat gerakan bisnis dunia itu.

Menurut Gubernur Sentral San Francisco Jant Yellen, kondisi ini lantaran ekonomi melemah, bahkan cenderung tidak bergerak sama sekali, di kuartal ketiga tahun ini. "Pertumbuhan di kuartal keempat kian melemah. Ekonomi Amerika bakal mengalami resesi," katanya.

Pernyataan Yellen tersebut menanggapi defisit anggaran tahun lalu yang meningkat tiga kali lipat menjadi US$ 455 miliar. Amerika bahkan mengikuti langkah Inggris dengan menggunakan US$ 250 miliar dari US$ 700 miliar dana talangan untuk membeli saham-saham perbankan yang akan bangkrut. Negara adidaya ini pernah mengalami resesi pada era 1930-an.

Ia menyebutkan bisnis terus merugi lantaran perusahaan menghadapi kemerosotan permintaan, tingginya biaya produksi, dan permintaan kredit yang makin dipersulit. Kelesuan bisnis juga melanda sektor teknologi dan informasi.

Meski begitu, ia masih ragu Amerika akan menghadapi kesengsaraan ekonomi pada tahun-tahun mendatang. "Ekonomi Amerika lebih ulet saat ini ketimbang nanti," katanya.

Sedangkan mantan Gubernur Bank Pusat Amerika Paul Volcker menegaskan negaranya tidak akan terhindar dari kerusakan terhadap ekonomi riil. "Saya yakin kita sudah mengalami resesi. Saya sudah banyak melihat krisis tapi tidak pernah yang seperti ini," ujarnya dalam sebuah seminar di Singapura.

Tapi ia memperkirakan dana talangan yang telah ditandatangani Presiden Amerika George Walker Bush akan cukup membantu. "Membuat resesi ini lebih mudah dikendalikan dan tidak akan berlangsung terlalu lama," katanya.

Bush telah berkomitmen mengucurkan US$ 125 miliar untuk membeli saham sembilan bank terbesar di negaranya. Langkah ini diikuti Prancis, Jerman, Spanyol, Belanda, dan Austria dengan 1,3 triliun euro untuk menjamin pinjaman dan membeli saham-saham bank mereka.

Penilaian peraih Nobel Ekonomi tahun ini, Paul Krugman, bahkan lebih seram: dunia akan mengalami resesi berat yang berkepanjangan, meski negara-negara maju menggelontorkan dana tidak terbatas untuk mengatasi krisis. "Kita akan menghadapi resesi yang panjang, meski tidak akan membuat bangkrut," kata profesor ekonomi dari Universitas Princeton, Amerika, ini.

Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun depan 0,5 persen. Ini adalah angka terendah sejak 1982. Angka ini turun dari pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini, yang 1,5 persen. AFP | BLOOMBERG | INDIA INFOLINE.COM | FAISAL ASSEGAF

Tidak ada komentar: