Rabu, 29 Oktober 2008

Terpuruk karena Kepanikan yang Dibuat Sendiri


Rabu, 29 Oktober 2008 | 01:50 WIB

Oleh Tjahja Gunawan

Kurs tengah rupiah Bank Indonesia pada Selasa (28/10) berada di level Rp 11.743 per dollar AS atau melemah dibandingkan dengan sehari sebelumnya, Rp 10.315 per dollar AS. Pada saat yang sama, Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia turun ke level 1.111,39 atau turun 4,72 persen dibandingkan dengan hari Senin.

Bursa Efek Indonesia merupakan satu-satunya bursa di Asia yang terperosok, sementara bursa Asia lainnya sudah mulai menguat kembali (rebound), Selasa kemarin.

Menyaksikan rupiah dan harga saham yang terpuruk kemarin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera memberikan keterangan kepada wartawan. Kemudian pada malam harinya, Presiden juga mengumpulkan para menteri ekonomi dan Gubernur Bank Indonesia.

Presiden menyatakan bahwa dirinya siap mengambil risiko apapun untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia dari ancaman krisis keuangan global. Sikap yang memang seharusnya ditunjukkan oleh seorang Presiden.

Sebelumnya pemerintah dan BI sudah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengantisipasi dampak krisis keuangan global. Bahkan untuk kepentingan itu, Presiden Yudhoyono sudah mengeluarkan 10 langkah khusus.

Meskipun semua strategi dan jurus sudah dikeluarkan oleh pemerintah dan BI, tetapi mengapa harga saham maupun kurs rupiah masih tetap terpuruk?.

Pertanyaan lanjutannya, apakah kebijakan pemerintah dan instrumen moneter BI masih kurang sehingga belum bisa meredam gejolak di pasar finansial ?

Fundamental ekonomi nasional saat ini, sesungguhnya relatif lebih baik dibandingkan kondisi krisis ekonomi Indonesia tahun 1997-1998.

Demikian pula kondisi perbankan nasional sekarang, jauh lebih kuat dibandingkan tahun 1998 (lihat tabel). Oleh karena itu secara teknikal seharusnya harga saham maupun nilai mata uang rupiah terhadap dollar AS, tidak terpuruk tajam seperti sekarang.

Akan tetapi, pasar memiliki logika sendiri yang tidak bisa dilawan oleh pemerintah maupun BI sebagai otoritas moneter. Tapi, semoga belum pulihnya kurs rupiah maupun harga saham di dalam negeri kali ini, bukan disebabkan oleh jeleknya kredibilitas para pengambil kebijakan.

Persoalan kredibilitas ini penting karena apapun kebijakan yang diambil tidak akan memberi dampak signifikan kalau kepercayaan masyarakat mulai berkurang, kalau bukan dikatakan sudah hilang.

Persoalan jeleknya kredibilitas pemerintah juga terjadi pada krisis ekonomi tahun 1997-1998. Meskipun Menteri Keuangan waktu itu, Mar'ie Muhammad, berulang kali menyatakan bahwa fundamental makro ekonomi kuat, tetapi masyarakat sudah tidak percaya lagi pada pemerintahan Orde Baru. Sehingga apapun langkah dan kebijakan yang diambil, menjadi tidak efektif.

Ditambah lagi industri perbankan waktu itu sangat rapuh sehingga cepat rontok ketika mengalami krisis likuiditas dan pelemahan kurs rupiah.

Pada tahun 1997-1998, memang banyak fakta yang disembunyikan oleh rezim Orde Baru.

Oleh karena itu, semoga sekarang tidak ada hal-hal yang disembunyikan oleh pemerintah maupun BI baik yang menyangkut kepercayaan dari perbankan di luar negeri maupun kasus yang dialami Bank Indover, anak perusahaan BI di Belanda.

Jangan reaktif

Beberapa kali pemerintah meminta masyarakat untuk tidak panik menyikapi situasi krisis global kali ini, tetapi alangkah baiknya para pengambil kebijakan juga tidak reaktif dalam mengambil keputusan.

Kualitas keputusan yang diambil pemerintah harus tepat waktu dan sasaran . Dalam situasi seperti sekarang, terutama dalam menyikapi kondisi fluktuasi rupiah maupun harga saham di pasar modal, komentar yang berlebihan bisa ”dihukum” oleh para pelaku pasar.

Saat ini masyarakat khususnya dunia usaha membutuhkan kebijakan yang pasti dan realistis untuk diterapkan. Akan percuma menyusun berbagai langkah menghadapi krisis global kalau tidak bisa dilaksanakan di lapangan apalagi jika jajaran birokrasinya tidak solid.

Dengan kata lain, keterpurukan ekonomi bisa terjadi karena kepanikan akibat ulah kita sendiri. Meskipun pusat getaran krisis keuangan berada di Amerika, dampaknya bisa dengan cepat menjalar ke Indonesia jika kita semua ikut panik.

”Bagaimana tidak panik. Hari ini (kemarin), kurs rupiah sudah menembus angka Rp 12.000 di pasar spot,” kata Aldo, seorang peserta seminar Peluang dan Tantangan Bank Perkreditan Rakyat Menghadapi Krisis Keuangan Global.

Kondisi psikologis masyarakat khususnya mereka yang banyak bergerak di sektor finansial, tidak lagi mempan dihimbau dengan kalimat ”Jangan panik”. Mereka membutuhkan kepastian kebijakan dan soliditas dari para pengambil kebijakan.

Gelombang ”redemption”

Sementara itu pengamat ekonomi Dradjad H. Wibowo, masih melihat adanya gelombang redemption besar-besaran di dunia yang menyebabkan kurs rupiah dan harga saham di dalam negeri masih terpuruk.

”Repotnya, uang hasil redemption itu dibuat dalam bentuk dollar AS. Itu yang membuat dollar AS menguat terhadap mata uang dunia. Padahal, mestinya dollar AS kan merosot karena ekonomi AS terkena resesi,” jelas Dradjad Wibowo.

Setelah sebelumnya pasar saham terkena imbas, kini giliran mata uang di dunia yang terkena dampaknya. Minggu lalu, mata uang Rupee India yang merosot.

Mata uang Asia lainnya tinggal menunggu giliran. Jadi, rupiah memang bakal terdepresiasi. Tapi merosotnya rupiah saat ini terlalu besar atau overshooting.

Selain sentimen global, pelaku usaha tampaknya agak khawatir dengan kewajiban valuta asingnya. ”Jadi mereka juga menubruk valas untuk berjaga-jaga,” tambah Dradjad.

Pengamat ekonomi lainya, Aviliani menyatakan, hampir semua pengambil kebijakan di negeri ini beranggapan bahwa penularan krisis global pada perekonomian domestik akan menempuh mekanisme transmisi perdagangan dengan segala turunannya.

Anggapan itu, kata Aviliani, tidaklah salah meski kurang tepat. Dalam kajian teoritis tradisional, siklus bisnis antar satu negara dengan negara lainnya saling terkait antara lain melalui aliran barang dan jasa.

Impor satu negara adalah ekspor negara lainnya sehingga resesi di satu negara akan tertransmisikan secara global karena penurunan permintaan di satu tempat menyebabkan tertekannya ekspor di tempat lain.

Proses pembelajaran dari setiap kejadian krisis ekonomi adalah bahwa masa depan ekonomi tidak sepenuhnya bisa diprediksi. Dr A. Prasetyantoko, dosen Unika Atma Jaya dalam buku terbarunya ”Bencana Finansial”, antara lain menyebutkan bahwa masa depan ekonomi merupakan wilayah yang sumir, abu-abu. Satu-satunya kepastian adalah bahwa dalam jangka panjang kita semua akan mati.

Fakta itu tampak nyata dalam dunia keuangan. Hari ini, kita bisa menyaksikan betapa masa depan adalah sebuah belantara yang tidak mudah dicerna. Ketidakpastian adalah sesuatu yang begitu nyata.

Walaupun dihimbau untuk tidak panik, namun dunia finansial selalu dibayang-bayangi oleh kepanikan. Itu antara lain karena informasi tidak pernah tersedia secara sempurna dan rasionalitas manusia sangat terbatas.

Tidak ada komentar: