Kamis, 09 Oktober 2008

Penyelamatan Ekonomi Salah Arah



Oleh
Sigit Wibowo

Jakarta – Rencana penyelamatan ekonomi Indonesia yang dilakukan pemerintah terkait krisis ekonomi global dinilai salah arah dan tidak nyambung, karena lebih mengutamakan penyelesaian sektor portofolio ketimbang sektor riil.
Instruksi Presiden kepada 14 BUMN untuk melakukan buy back (membeli kembali) saham di pasar modal menunjukkan pemerintah tidak memiliki skala prioritas di saat perekonomian Indonesia di ambang kebangkrutan.
Demikian kesimpulan yang diperoleh dari tiga narasumber, yakni pengamat pasar modal Yanuar Rizky, pengamat pasar modal Universitas Indonesia Agustinus Yohannes, dan ekonom Kemal Syamsudin yang dihubungi terpisah, Kamis (9/10) pagi.
”Langkah pemerintah yang ingin menyelamatkan sektor portofolio terlebih dahulu ini sangat aneh dan tidak masuk akal karena ini seperti menyubsidi para hedge fund (fund manager atau spekulan) dan masyarakat kelas atas, yang jumlahnya sangat kecil namun mempertaruhkan nasib masyarakat luas,” kata Yanuar Rizky.
Menurut Yanuar, pemerintah semestinya mendahulukan sektor riil karena menyangkut kepentingan masyarakat luas yang jumlahnya lebih dari 90 persen penduduk Indonesia. Ia mengatakan rencana buy back oleh BUMN justru akan menguntungkan para hedge fund dan investor, menguras likuiditas BUMN namun tidak akan berdampak pada penguatan nilai tukar rupiah.
”IHSG di BEI memang akan naik tetapi setelah itu akan dibanting kembali oleh para hedge fund yang ingin mengembalikan kerugian akibat subprime mortgage,” tandasnya.
Rencana itu, kata Yanuar, menunjukkan pemerintah hanya berpihak pada spekulan asing dan segelintir orang Indonesia.
Dari konstruksi investor di pasar modal sesuai dengan rekening yang tercatat di Kustodian Sentra Efek Indonesia (KSEI), dana investor mencapai Rp 1.000 triliun, 60 persen pemilik rekening itu dimiliki asing sedangkan 40 persen dimiliki investor domestik. Jadi dana yang dimiliki investor domestik sebesar Rp 434,716 triliun. Dari jumlah tersebut masuk melalui reksa dana aset Rp 100 triliun sedangkan sisanya Rp 334 triliun nonreksa dana. Penduduk Indonesia yang berinvestasi langsung dan tidak langsung di pasar modal tidak lebih dari 0,5 persen.
Yanuar menyatakan jika buy back ini dilakukan maka akan memiliki implikasi buruk karena keberpihakan presiden pada masyarakat luas akan dipertanyakan. Buy back saham tidak akan berpengaruh pada stabilitas dan menguatnya nilai tukar rupiah, padahal nilai tukar ini menyangkut kehidupan masyarakat luas karena menyangkut harga-harga barang.
”Presiden memberlakukan perekonomian Indonesia seperti kapal Titanic yang mau tenggelam, yakni memberikan sekoci penyelamatan pada penumpang kelas VIP dan membiarkan penumpang kelas ekonomi karam,” tandas Yanuar.
Presiden seharusnya menyadari jika kapal mau karam maka mayoritas penduduk Indonesia yang diselamatkan terlebih dahulu, bukan minoritas kecil yang sudah pasti asetnya masih sangat besar. Ia mengkhawatirkan jika hal ini diambil maka pemerintah tidak memiliki dana yang mencukupi ketika masyarakat membutuhkan dana untuk menggerakkan sektor riil.
Menurutnya, pemerintah seharusnya mengutamakan sektor riil terlebih dahulu. Dana-dana yang dimiliki BUMN harusnya digunakan untuk membantu sektor riil bergerak seperti sektor pertanian, kelautan, kehutanan dan UKM untuk bisa kuat menghadapi badai krisis yang akan datang. ”Jika Presiden memiliki keberpihakan yang jelas maka kita sebagai warga negara akan mendukung,” tandasnya.

Maka, mencukupi kebutuhan domestik dan mencintai produk dalam negeri yang diprioritaskan
Sementara itu, pengamat pasar modal UI Agustinus Yohanes menyatakan, Bapepam dan BEI harus menindak tegas para pelaku short selling (kecurangan di pasar modal) yang telah merugikan investor. Sejauh ini belum ada langkah konkret dari Bapepam dan BEI untuk menindak para pelaku tersebut sehingga terkesan tidak ada penegakan hukum di pasar modal. ”Cukup mudah mengetahui pelaku short selling yang merugikan ini, kenapa Bapepam berpura-pura tidak tahu,” tandasnya.
Ia juga mendesak Bapepam tegas dalam menyikapi perjanjian gadai saham dan sejauh mana transparansi yang dilakukan perusahaan Grup Bakrie. Kelompok Bakrie memiliki kapitalisasi yang besar sehingga pergerakan sahamnya sangat menentukan.
Menurutnya, jika Bapepam terus membiarkan semuanya berjalan liar maka investor ritel yang akan terus dirugikan. Potensi gagal serah sangat besar karena penutupan indeks kemarin dilakukan saat transaksi sedang berjalan.
Ekonom Kemal Syamsudin menyatakan, kejatuhan indeks yang dalam sebagai dampak kepanikan di pasar modal. Apa yang terjadi di AS sebenarnya tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. Ia memperingatkan apa yang terjadi di AS bisa terjadi di Indonesia teristimewa gelembung (bubble) di kredit konsumsi. ”Penyaluran kredit konsumsi berpotensi menimbulkan gelembung dan bisa meningkatkan NPL secara drastis,” ujarnya.
Ia menyatakan sudah saatnya bank-bank menurunkan kredit konsumtif secara drastis. Penyaluran kredit di sektor karu kredit sebaiknya segera dikendalikan sehingga tidak merugikan perekonomian nasional.
Sebelumnya, atas usulan Menkeu Sri Mulyani dan Menneg BUMN Sofyan Djalil agar BUMN melakukan buy back saham. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya meminta 14 BUMN melakukan buy back untuk mengangkat IHSG BEI yang sedang terpuruk. Langkah ini dipandang mampu memberikan sentimen postif dan mengurangi kepanikan pasar. n


Tidak ada komentar: