Selasa, 14 Oktober 2008

Blunder Bank Indonesia


Senin, 13 Oktober 2008 | 00:26 WIB

M Ikhsan Modjo

Sejarah menunjukkan, dalam satu krisis yang parah selalu ada elemen kebijakan yang salah dan berakibat fatal.

Dalam krisis ekonomi-sosial-politik tahun 1997/1998, misalnya, kebijakan fatal yang menenggelamkan bangsa ini adalah kebijakan pemerintah, atas saran dan paksaan IMF, untuk menutup 16 bank.

Kebijakan penutupan itu terbukti jelas secara akademis dan empiris sebagai pemicu keterpurukan perekonomian nasional, yang kemudian baru bisa bangkit— meski masih tertatih-tatih—sepuluh tahun kemudian. Tanpa blunder ini, krisis saat itu hanya akan sekadar riak resesi biasa yang bersifat temporer dan harus bisa dilalui tenang dan tanpa huru-hara.

Kini, di tengah ancaman krisis di depan mata, beberapa kebijakan reaktif yang bisa menjadi bumerang bagi perekonomian pun sudah dilakukan. Dalam kebijakan moneter, misalnya, Bank Indonesia (BI) mengambil kebijakan pengetatan moneter berupa kenaikan suku bunga, yang justru berlawanan dengan kebijakan dan kecenderungan di negara-negara lain yang melakukan kebijakan ekspansif.

Kebijakan ini pun bisa jadi dilakukan atas dasar saran IMF. Dalam penerbitannya belum lama ini, sang Impossible Mission Force menyarankan Indonesia untuk menaikkan suku bunga, tanpa tanggung- tanggung, hingga 10.5 persen (Indonesia Selected Issue 2008, hal 11), dengan alasan kenaikan harga pangan dan energi.

Saat ini alasan itu sungguh tidak relevan. Sebab ke depan ada prospek penurunan harga pangan dan minyak akibat resesi global yang akan mengurangi tekanan terhadap inflasi domestik. Sebaliknya, peningkatan suku bunga justru akan memangkas investasi serta menggerus keunggulan komparatif perdagangan di tengah prospek persaingan perdagangan yang mengetat.

Terbukti, alih-alih menenangkan pasar, kebijakan pengetatan justru terbukti menyebabkan kian merebaknya sentimen negatif dan keambrukan indeks. Indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia pada hari Rabu (8/10/2008), satu hari setelah diumumkan kebijakan ini, ditutup pada level 1.451, berarti telah tergerus lebih dari 40 persen. Perdagangan sejumlah saham juga terpaksa dihentikan karena mencatat penurunan melebihi 30 persen dan bursa terpaksa ditutup.

Kebijakan moneter

Hal lain yang tak kalah ironis adalah situasi di pasar uang. Di tengah pelemahan kurs dollar AS atas mata uang hampir semua negara, kurs rupiah terus melemah terhadap dollar AS, bahkan sempat ke titik tertinggi Rp 9.800 per dollar AS.

Selain tidak tepat untuk berbagai alasan taktis saat ini, secara strategis kebijakan suku bunga tinggi juga selalu merupakan momok perekonomian. Di satu sisi, kebijakan moneter yang ketat akan menahan kenaikan harga dan menekan inflasi. Di sisi lain, kebijakan ini akan menekan investasi dan aktivitas perekonomian secara umum sehingga menekan permintaan tenaga kerja, pendapatan riil masyarakat, dan meningkatkan jumlah penganggur.

Jadi, kebijakan ketat moneter adalah pedang bermata dua bagi pekerja dan rumah tangga konsumen. Kebijakan ini akan mengamankan pendapatan riil karena memungkinkan adanya substitusi pengeluaran dengan tabungan yang memberi bunga. Namun, suku bunga tinggi juga menurunkan pendapatan pekerja dan rumah tangga di masa depan sebagai akibat penurunan aktivitas perekonomian.

Hanya mereka yang sudah pensiun dan mendapat perolehan dari bunga yang bersifat tetap, seperti pensiun dan lembaga keuangan, kebijakan moneter akan bersifat menguntungkan. Sebab mereka ada di luar pasar kerja sehingga kebijakan ini tidak akan memengaruhi pendapatan dan gaji di saat sama melindungi pendapatan mereka dari kenaikan harga.

Bagi kebanyakan pekerja dan rumah tangga di negara maju, kebijakan ini mungkin tidak akan terlalu bermasalah. Sebab mereka sudah memiliki standar hidup tinggi dan kepemilikan aset keuangan yang memungkinkan terkompensasinya penurunan pendapatan. Selain itu, adanya sistem welfare dan social security yang kuat dan komprehensif di negara-negara itu juga akan melindungi pekerja dan rumah tangga di masa depan.

Bencana

Sementara bagi negara berkembang, seperti Indonesia dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan tinggi, kebijakan moneter ketat adalah bencana yang tidak disadari bagi kebanyakan pekerja dan rumah tangga. Suku bunga tinggi akan menyebabkan turunnya aktivitas investasi, kemampuan perekonomian menyerap tenaga kerja, dan mengikis pendapatan di masa depan. Kebijakan ini juga akan memperparah ketimpangan pendapatan di negara berkembang. Pendapatan rata-rata masyarakat akan tertekan, sementara mereka yang mampu dan memiliki aset kebijakan ini justru akan menguntungkan karena menyelamatkan nilai aset dan memungkinkan mereka mendapatkan pendapatan lebih tinggi.

Karena itu, pengetatan kebijakan moneter harus dikoreksi. Saat ini kondisi mengharuskan adanya kebijakan terukur dan kredibel dari Bank Indonesia dan pemerintah. Bukan kebijakan pesanan yang membuat kepanikan dan konterproduktif bagi perekonomian.

M Ikhsan Modjo Direktur Indef

Tidak ada komentar: