Kamis, 09 Oktober 2008

Bersiap Menghadapi Guncangan Besar


Indonesia harus bersiap menghadapi resesi global. Suku bunga tak perlu dinaikkan, realisasi belanja pemerintah mesti ditingkatkan.

AMERIKA batuk-batuk, seluruh dunia pun ikut panas-dingin. ”Penyakit” akibat skandal surat utang macet sektor perumahan pemimpin ekonomi dunia itu, mau tak mau, menjalar ke seluruh dunia. Benar bahwa usaha mengobati sudah mulai dilakukan. Pengucuran dana talangan US$ 700 miliar sudah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Negeri Abang Sam itu. Tapi tetap saja imbasnya sukar dielakkan, mengingat ekonomi dunia telah makin menyatu.

Bursa seperti Dow Jones dan Nasdaq telah berguguran. Indeks Bursa Efek Indonesia pun dipastikan ambrol lantaran investor asing akan menjual portofolionya untuk memenuhi kebutuhan likuiditas mereka. Tak ada yang tahu berapa lama pasar modal dunia akan mengalami kelesuan.

Malah ekonom peraih Nobel Ekonomi, Joseph Stiglitz, punya prediksi yang lebih mengerikan. Bila kelangkaan likuiditas membuat lembaga keuangan berhenti menyalurkan dana ke sektor riil, akan terjadi penurunan produksi dan jumlah pekerja.

Melambannya pertumbuhan ekonomi Amerika ujung-ujungnya akan memukul ekonomi negara-negara Eropa dan Asia Timur. Selanjutnya, Indonesia akan terkena akibatnya karena ekspor kita sebagian besar tertuju kepada kedua kawasan itu.

Maka sudah sepatutnya Indonesia bersiap-siap menghadapi ancaman resesi ekonomi global, terutama tahun depan. Banyak hal harus dipersiapkan mengingat cadangan devisa kita hanya US$ 57 miliar. Bandingkan dengan Cina, yang memiliki cadangan devisa US$ 1,5 triliun.

Dalam situasi seperti ini, pengelolaan ekonomi makro secara berhati-hati perlu diprioritaskan. Di sisi moneter, misalnya, ”kebiasaan” bank sentral melakukan stabilisasi dengan menaikkan suku bunga perlu dihindari. Di tengah kondisi dahaga likuiditas, pengetatan peredaran uang cuma akan memperburuk keadaan, seperti pernah terjadi saat krisis ekonomi 1997. Namun Bank Indonesia juga harus menjaga agar peredaran uang tidak kebablasan sehingga memicu inflasi.

Likuiditas yang mengalir lancar ibarat darah segar yang akan membuat sektor riil tetap hidup. Aliran kredit mesti dipastikan tetap terjaga untuk perbankan skala besar atau korporat, juga bagi kredit usaha rakyat dengan suku bunga rendah yang selama ini menjadi program kebanggaan pemerintah.

Untuk menghadapi pasar ekspor yang lesu, sebaiknya pemerintah terus meningkatkan pertumbuhan pasar domestik. Salah satunya dengan meningkatkan realisasi belanja kementerian dan belanja modal, yang tahun ini mencapai Rp 370 triliun dan tahun depan meningkat menjadi Rp 450 triliun.

Pemerintah pusat dan daerah dapat menggunakan dana itu, misalnya, untuk pembangunan infrastruktur, seperti jalan, bandar udara, dan pelabuhan. Saat situasi mulai pulih, semua prasarana itu akan berguna untuk melancarkan aktivitas ekonomi. Dana itu bisa pula untuk membangun irigasi dan mencetak sawah baru buat mendorong sektor pertanian dan memelihara target swasembada beras.

Perlu dicermati pula kekhawatiran para pengusaha agar pasar dalam negeri kita tidak menjadi ”buangan” produk dari negara lain. Maka proteksi dengan mencegah terjadinya dumping perlu dilakukan. Demikian pula penyelundupan barang harus ditekan semaksimal mungkin.

Mungkin perlu pula dipikirkan pemotongan bea masuk dan pajak perusahaan untuk sementara waktu. Itu semua tak lain agar kegiatan produksi bisa terus berdenyut dan jumlah penganggur tidak bertambah. Dengan segala ikhtiar itu rasanya Indonesia akan lebih siap menghadapi guncangan yang paling buruk sekalipun.

Tidak ada komentar: