Jumat, 03 Oktober 2008

Kehancuran Ekonomi Bisa Dahsyat


Getty Images/Spencer Platt / Kompas Images
Para pialang bekerja di New York Stock Exchange (NYSE), Kamis (2/10). Setelah disetujui Senat, Rabu tengah malam, usulan dana talangan 700 miliar dollar AS diajukan kembali ke DPR AS untuk disetujui dan dikirim ke Kongres.
Jumat, 3 Oktober 2008 | 03:00 WIB

Washington, Kamis - Dunia kini sedang mengarahkan perhatian pada paket dana talangan, yang akan melepas korporasi raksasa Amerika Serikat dari belenggu utang. Jika paket itu gagal lagi, taruhannya adalah kehancuran ekonomi AS yang sangat dahsyat.

Menurut Warren Buffett, investor kawakan AS, akan terjadi ekonomi ”Pearl Harbour” merujuk kehancuran AS akibat serangan Jepang. ”Kita tentu tidak ingin itu terjadi,” kata Buffett.

Jaringan televisi AS, ABC, bertanya kepada peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001, Joseph E Stiglitz, ”Apa yang akan terjadi jika dana talangan itu gagal?”

”Itu akan menjadi faktor yang cukup untuk membuat sektor keuangan meledak. Saya tidak khawatir dengan kerugian Wall Street (para investor dan korporasi). Hal yang sangat saya khawatirkan akan terjadi keadaan di mana lembaga keuangan berhenti meminjamkan dana ke sektor riil (perusahaan). Jika ini terjadi, akan ada pengurangan produksi dan pekerja. Resesi atau keadaan lebih buruk dari resesi kemungkinan akan terjadi,” kata Stiglitz, yang sejak tahun 2003 sudah memperingatkan bahwa posisi keuangan korporasi AS sudah ”berbahaya” karena penyaluran dana yang terlalu besar ke sektor perumahan di AS.

Setelah paket dana talangan itu ditolak DPR AS pada hari Senin (29/9) lalu, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA, New York) langsung anjlok 778 poin, penurunan terbesar sepanjang sejarah AS dalam sehari saja. Kejatuhan besar-besaran juga diikuti bursa global.

Paket dana talangan bertujuan memberi korporasi keuangan raksasa AS, aliran dana baru. Konsekuensinya, perusahaan itu untuk sementara menjadi milik Pemerintah AS. Dana talangan ini diberikan agar korporasi AS bisa mengembalikan pinjaman-pinjaman yang didapat dari lembaga keuangan di seantero dunia, seperti Eropa, Jepang, China, dan negara-negara kaya lainnya.

Masalahnya, korporasi AS yang menerima pinjaman global itu telah menanamkan dana di sektor perumahan, yang kini tak laku. Keadaan di AS mirip dengan kebangkrutan di Asia, dekade 1990-an, di mana lembaga keuangan mengucurkan pinjaman luar negeri ke sektor properti yang dibangun begitu banyaknya, tetapi daya serap pasar rendah sehingga tak laku jual.

Di samping aksi jorjoran ke sektor properti, praktik penipuan keuangan di kalangan eksekutif AS juga marak, sebagaimana diutarakan Avery Goodman, ahli pasar uang AS. Goodman mengatakan pada periode 2001-2007, para eksekutif terbuai oleh iming- iming bonus besar jika berhasil menyalurkan pinjaman besar-besaran ke sektor properti.

Dari kesuksesan penyaluran pinjaman, lepas dari potensi pinjaman tak bisa dikembalikan, para eksekutif mendapat bonus.

Masalah muncul. Pemberian bonus tidak didasarkan pada kinerja keuangan perusahaan. Misalnya, kata Goodman, walau secara finansial Lehman Brothers sudah mulai bangkrut sejak tahun 2003, pada tahun 2007 eksekutif Lehman Brother, Richard Fluid, menerima bonus dua juta dollar AS. Para eksekutif korporasi AS tak menaruh perhatian pada posisi keuangan, tetapi membiarkan perusahaan terjerat utang.

Eropa mengecam

Hal ini membuat dunia menjadi taruhan. Seandainya utang- utang ini tidak dibayarkan, rangkaian kerja dari sistem keuangan dunia akan terhenti. Jika kewajiban-kewajiban AS ini seret, efek domino akan merembes ke berbagai bank. Contoh terbaru adalah Fortis, lembaga keuangan Belanda-Belgia, yang sudah kehilangan likuiditas dan terpaksa diselamatkan karena ditinggal para nasabahnya.

Jika efek domino yang dialami Fortis meluas, lembaga keuangan besar dunia lainnya juga akan terimbas. Efek domino itu, antara lain, bisa berupa penarikan simpanan dari bank yang dianggap ”bahaya”, seperti yang menimpa Bank East Asia, Hongkong.

Sadar akan rangkaian bahaya ini, para pemimpin dunia, termasuk Eropa, mengecam AS. ”Saya kira AS harus bertanggung jawab terhadap dunia dan juga kepada mereka sendiri,” kata Perdana Menteri Inggris.

Begitu besarnya masalah ini sehingga Paus Benediktus XVI juga menyarankan agar korporasi finansial menghentikan aksi ambil untung besar tanpa mengindahkan risiko.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menyerukan kepada AS dan negara-negara maju mengambil tanggung jawab menstabilkan sektor keuangan.

Ketua DPR AS Nancy Pelosi mengatakan, Kongres akan mencoba meloloskan paket dana talangan itu, Jumat pagi.

Steny Hoyer, pemimpin kubu Demokrat di DPR AS, juga mengatakan ada kesempatan baik bahwa dana talangan itu akan diloloskan.

Pekan lalu Senat AS juga sudah meloloskan paket itu, tetapi ditolak di tingkat DPR AS. Pada hari Rabu, Senat AS sudah meloloskan paket itu, tetapi masih harus menunggu persetujuan DPR AS.

Presiden AS George W Bush dan Menkeu AS Henry Paulson berkali-kali menegaskan betapa pentingnya paket itu karena taruhannya adalah keadaan ekonomi, yang memperlihatkan gejolak penurunan. (REUTERS/AP/AFP/MON/HAR)

Tidak ada komentar: