Selasa, 25 November 2008

Ketika Krisis dan Bursa Global Berjatuhan


Selasa, 25 November 2008 | 01:53 WIB

Pemain saham menyaksikan nilai uangnya menyusut di depan mata. Harga saham yang tadinya sangat tinggi kemudian terus mengempis dalam waktu singkat. Kini, ada selembar saham yang harganya lebih murah ketimbang sebiji permen.

Optimisme yang semula mekar di setiap sudut lantai perdagangan saham kini sulit mencari ekspektasi positif di labirin bursa. Menaruh sedikit harapan harga saham tidak turun hari ini atau besok terasa amat sulit.

Ini bukan provokasi. Penjualan secara membabi buta (panic sellling) merupakan pemandangan sehari-hari. Seolah tidak ada lagi pilihan kata yang tepat untuk menggambarkan situasi pasar yang menggila. Bukan hanya investor. Tidak sedikit di antara manajemen emiten yang kelimpungan memadamkan gejolak yang membakar pasar saham, termasuk saham perusahaannya sendiri.

Seolah-olah hanya satu kata yang terdengar di pasar... jual... jual... jual...! Maka, semakin runtuhlah harga saham. Indeks harga saham terus tertekan. Jumlah saham yang mengalami penurunan harga lebih banyak ketimbang saham yang meningkat harganya. Kalaupun sempat naik sedikit dengan susah payah, dalam sekejap bisa hancur lagi dengan sebab yang tak jelas juntrungannya.

Indeks harga saham gabungan (IHSG), misalnya, terus tertekan mencapai titik terendah baru setiap hari. Tak terkecuali Indeks Kompas100 yang biasanya lebih tangguh dibandingkan dengan indeks-indeks saham lainnya. Ditimpali pula melemahnya kurs rupiah.

Bukan hanya pasar saham Jakarta yang terpuruk. Seluruh dunia juga mencatat keterpurukan. Bahkan, banyak indeks saham yang jatuh lebih dalam, lebih besar, ketimbang indeks dan harga saham di Bursa Efek Indonesia.

Adanya siklus bisnis. Setelah mencapai titik nadirnya, arah siklus itu akan bergerak naik. Apakah kondisi pasar saham Indonesia sudah mencapai titik nadir untuk bangkit kembali? Tidak ada yang tahu. Meratapi kondisi pasar pun tidak berguna. Risiko selalu melekat erat pada investasi. Seberapa besar potensial kerugian yang dipikul investor akibat kejatuhan pasar saham, sebesar itu pulalah risiko yang dikantongi.

Perkuat pasar domestik

Dengan resesi, bisnis lesu, dan laju pertumbuhan ekonomi menurun yang terjadi di Amerika Serikat, Eropa, serta Jepang, jelaslah apa yang bakal terjadi pada Indonesia. Ketiganya merupakan tujuan utama ekspor produk Indonesia. Permintaan akan produk dari Indonesia pun bisa merosot sehingga perusahaan produsen barang manufaktur dan produk primer (pertanian, pertambangan, perikanan, dan perkebunan) menjadi kesulitan memasarkan produknya. Pendapatan Indonesia dari ekspor ke sana menciut.

Persoalan menjadi semakin rumit karena perusahaan mesti menanggung beban tambahan dari melemahnya nilai tukar rupiah sehingga pengeluaran rupiah untuk membayar utang dan mengimpor bahan baku menjadi membengkak. Ditimpa lagi dengan beban suku bunga pinjaman bank. Apalagi, kini muncul desakan dan gerakan ”tidak mau tahu” dari buruh agar perusahaan menaikkan upah minimum. Semakin lengkaplah kerumitan persoalan dunia usaha, termasuk emiten.

Dalam kondisi demikian, ancaman pemutusan hubungan kerja antara buruh dan perusahaan semakin terbuka lebar. Pengangguran membengkak, berarti daya beli masyarakat secara keseluruhan semakin mengecil. Turunnya daya beli menekan permintaan akan produk barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan sehingga semakin melengkapi keterpurukan dunia usaha.

Memperkuat pasar dalam negeri dalam arti masih tingginya permintaan domestik sejatinya menjadi tumpuan bagi perusahaan untuk memperpanjang daya tahan hidupnya.

Akan tetapi, urusan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pasar dalam negeri yang tertekan oleh daya beli masyarakat, kemungkinan pasar domestik bakal diserbu pula barang dumping dari luar negeri, juga menganga lebar-lebar. Ini masuk akal karena perusahaan di luar negeri juga berupaya mencari pasar lain setelah pasar domestiknya pun tertekan.

Memperkuat pasar domestik tidak ada cara lain, kecuali menjaga daya beli masyarakat tetap tinggi. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah memperlancar penyerapan anggaran pemerintah pusat dan pemerintahan di daerah. Soalnya, kini ada sekitar Rp 90 triliun dana pemerintah daerah yang ditaruh di perbankan untuk menikmati bunga bank yang semakin meningkat pula.

Dengan cara itu, terutama jika anggaran menganggur itu dipakai untuk mendorong pembangunan infrastruktur yang menyerap lapangan kerja banyak, selain menjadi katup pengaman bagi tenaga kerja, juga bisa menjadi penyulut api pertumbuhan ekonomi terus menyala, menciptakan lapangan kerja, dan permintaan barang tetap ada. Perusahaan terus berproduksi, termasuk emiten di bursa efek tersebut. Sesederhana itukah jalan keluar dari kemelut ini. Tentu saja kompleks. Tetapi, langkah yang sederhana pun tanpa implementasi juga tak membuahkan hasil.

Perbankan yang masih memiliki dana besar yang ”menganggur” mesti pula memiliki komitmen untuk menyelamatkan perekonomian bangsa ini. Kucurkanlah dana-dana itu kepada pengusaha mikro, pengusaha-pengusaha skala kecil yang tangguh dan tanpa niat mengemplang itu, agar menciptakan bisnis, lapangan kerja, dan pendapatan bagi masyarakat. Mudahkanlah urusannya untuk mengakses pendanaan usaha, dengan mengurangi birokrasi dan persyaratan yang sulit dipenuhi mereka.

Para regulator, termasuk pengawas pasar modal dan pasar uang, mesti meningkatkan ketajaman pengawasannya terhadap perilaku para ”pemain” yang diawasinya. Meningkatkan integritas pasar, menegakkan aturan, dan membuat aturan pencegahan perilaku buruk tidak bisa ditawar untuk memelihara kepercayaan investor di pasar. Tanpa upaya bersama dan serentak secara signifikan untuk mengatasi persoalan, jelas arah perekonomian, termasuk bursa saham sebagai jendelanya, bakal suram pula.

Kumpulkan potensi

Apa yang paling menarik dilakukan kini oleh pengusaha? Eksekutif properti AH Marhendra menyatakan, konsolidasi ialah hal paling mutlak dilakukan. Kumpulkan kembali semua potensi yang terserak agar menjadi energi amat kuat untuk berdiri tegak di tengah badai krisis. Formula lain, merampingkan manajemen, memotong anggaran yang tidak perlu. Akan tetapi, di sisi lain, membelanjakan anggaran besar agar sangat aktif di semua lini pasar.

Marhendra percaya masih banyak ceruk pasar yang belum digali, masih besar potensi pasar yang tersembunyi di sekeliling masyarakat, termasuk di pelbagai provinsi. ”Setiap hari ada pernikahan dan kelahiran anak. Tidak mungkin mereka tidak membutuhkan rumah. Kan tidak elok selalu tidur di rumah mertua indah,” ujar Marhendra, COO SpringHill. Di sisi lain, tim kreatif perusahaan properti harus bekerja keras mendesain rumah yang cakep, kokoh, tetapi sekaligus terjangkau. Inilah tantangan perusahaan-perusahaan properti, juga perusahaan di bidang usaha lain,

Pengembang senior Ciputra menyatakan, ia meminta semua anggota stafnya bekerja dan berproduksi secara sangat efisien. Pembangunan properti diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan konsumen, bukan untuk gagah-gagahan. Ciputra juga selalu percaya, dalam masa krisis seperti sekarang selalu ada celah untuk dimasuki para pemain properti. Dalam semua krisis selalu ada peluang, selalu ada ruang untuk berimprovisasi dan berkreasi. Pengembang senior ini pun akan meneruskan proyeknya hingga rampung. Kalau tuntas dua tahun lagi, krisis diharapkan sudah lewat dan daya beli masyarakat sudah pulih kembali. Pada saat itulah semua produknya diserbu konsumen.

Kiat yang sama dilakukan pengembang lain, Puri Botanical Garden, Jakarta. CEO perusahaan ini, Sanusi Tanawi, menyatakan, perusahaannya beruntung sebab tidak terlampau terpengaruh oleh badai krisis ekonomi dunia yang sangat dahsyat.

Secara umum dapat ditarik sebuah benang merah masalah, tidak ada yang membantah bahwa badai krisis ekonomi dunia ikut menerpa Indonesia. Akan tetapi, perusahaan-perusahaan yang memiliki reputasi besar tidak putus harapan. Mereka justru menggelar jurus-jurus kreativitas dan inovasi. Mereka mengerahkan segenap energi untuk berkompetisi di ruang amat sempit dengan para pebisnis lainnya. Menariknya, tidak ada yang gentar, semua yakin memiliki strategi terbaik memenangi ceruk pasar yang sempit. Menarik menanti siapa yang menyiapkan formula paling jitu. Siapa yang mampu meraup laba terbesar pada saat krisis. Yang mampu melakukannya niscaya merupakan perusahaan yang sangat berkelas.(Andi Suruji/Abun Sanda)

Tidak ada komentar: