Selasa, 25 November 2008

Studi Perilaku Investor dan Pergerakan Harga Saham


Selasa, 25 November 2008 | 01:56 WIB

Reinhard Nainggolan

"Human behaviour is the key determinants of the market" -Woody Dorsey

Krisis finansial Amerika Serikat seakan belum puas menebar dampak negatif ke pasar modal Indonesia. Harga saham masih tergerus sekalipun fundamental perekonomian dan mayoritas perusahaan publik cukup baik.

Semuanya berawal dari aksi melepas saham oleh investor asing yang membutuhkan likuiditas. Kondisi ini diperparah sikap investor domestik yang tidak mau ketinggalan, bagaikan kerumunan lebah terbang mengikuti sang ratu ke mana saja.

Kinerja cemerlang keuangan emiten tidak lagi dipertimbangkan. Misalnya, pendapatan dan laba bersih PT Astra International, PT Bank Mandiri, dan PT Indofood Sukses Makmur pada triwulan III-2008 melonjak di atas 20 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Hal serupa dialami banyak emiten lainnya. Beberapa di antaranya bahkan mampu meningkatkan laba bersih 50-150 persen. Namun, dalam waktu bersamaan harga saham masing- masing perseroan terus merosot dan hingga 21 November lalu telah anjlok 40-60 persen dari posisi awal tahun 2008.

Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2008 ini diperkirakan masih di atas 5 persen, jauh melebihi pertumbuhan ekonomi global yang diperkirakan Dana Moneter Internasional hanya pada kisaran 2-3 persen. Lagi-lagi, faktor fundamental ini ditanggapi dingin.

Puluhan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang sudah kemurahan (undervalued), bahkan diperdagangkan dengan harga recehan (penny stock), tidak juga menarik minat investor. Aksi jual membabi buta beberapa kali membuat indeks harga saham gabungan (IHSG), indeks harga saham Kompas100, LQ45, dan lainnya terkoreksi tajam, bahkan melebihi pelemahan indeks Dow Jones di AS dalam sehari. Akibatnya, IHSG yang tahun 2006 melonjak 55 persen dan tahun 2007 naik 52 persen pada tahun ini sungguh menyedihkan.

Keruntuhan harga saham juga membawa dampak negatif terhadap nilai tukar rupiah yang belakangan ini diperdagangkan pada kisaran Rp 11.000-Rp 12.000 per dollar AS. Semua ini menggelitik kita untuk bertanya, siapa sebenarnya yang dilanda krisis?

Perilaku kawanan

Ditinjau dari logika ekonomi, fakta-fakta di atas menjadi irasional karena harga saham tidak lagi mencerminkan nilai intrinsik atau faktor fundamentalnya. Bagaimana penjelasannya?

Woody Dorsey, dalam bukunya, Behavioral Trading (2003), menyatakan, ”Human behaviour is the key determinants of the market.” Ini menegaskan, kunci pergerakan harga saham bukanlah faktor fundamental dan teknikal, melainkan perilaku manusia (baca: investor).

Perilaku itu dibentuk oleh level confidence (keyakinan) dan expectation (harapan) investor. Di saat pasar sedang bergerak naik (bullish), keyakinan dan harapan investor cukup tinggi, melebihi hitung-hitungan fundamental. Sebaliknya, ketika pasar melemah (bearish), keyakinan dan harapan pasar teramat rendah sekalipun faktor fundamental cukup menjanjikan.

Studi pengaruh perilaku manusia dalam menggerakkan perekonomian sudah dilakukan ekonom sejak lama, setidaknya mulai era Adam Smith pada abad ke-18. Dalam bukunya, The Money Game, bapak ekonomi kapitalisme itu membagi perilaku alamiah manusia menjadi dua bagian, ketakutan (fear) dan keserakahan (greed).

Ketika perilaku keserakahan lebih dominan, perekonomian akan berjalan sangat cepat, yang kemudian bisa menggelembung dan pecah, seperti telah dialami dunia ini beberapa kali. Gerak cepat perekonomian ini didorong aksi-aksi spekulasi yang bermunculan ketika perilaku serakah menguat.

Sebaliknya, pada saat perilaku ketakutan dominan, perekonomian melambat, bahkan stagnan. Pelaku ekonomi cenderung menunggu daripada menciptakan terobosan.

Dalam konteks pasar modal, kedua perilaku itu merupakan akselerator dari tren pergerakan indeks saham. Terjadinya krisis keuangan AS pada saat ini adalah contoh nyata perubahan perilaku investor, dari serakah menjadi cemas dan takut.

Perilaku investor juga pernah diteliti Paul Krugman, pemenang Nobel Ekonomi 2008. Dalam bukunya, The Great Unraveling (2004), Krugman menulis bahwa salah satu perilaku investor global adalah perilaku mengikuti isyarat kawanan (run with herd).

Perilaku kawanan atau sering disebut herding behaviour ini berkembang pesat ketika korelasi antarpasar finansial dunia menjadi sangat tinggi. Globalisasi finansial membuat perilaku investor di suatu bursa—biasanya bursa yang lebih besar—akan diikuti investor di bursa lainnya.

Yang juga marak terjadi di pasar modal adalah perilaku noise trading behaviour atau perilaku mengikuti rumor. Perilaku ini muncul akibat banyaknya rumor yang sengaja diembuskan untuk memicu kegaduhan dan kesimpangsiuran pada saat kondisi pasar tidak normal. Perilaku ini menunjukkan bagaimana investor akan berlomba membeli jika mendengar rumor positif, dan sebaliknya melakukan aksi jual masif jika rumornya negatif.

Bagaimana ke depan?

Investor emerging market adalah investor yang paling mudah dihinggapi semua perilaku di atas. Perilaku inilah yang sesungguhnya menjadi akselerator penyebaran krisis.

Krisis keuangan yang semula terjadi di AS menjalar menjadi krisis global. Krisis Wallstreet merambat sampai di BEI.

Tidak seorang pun yang dapat meramal tepat kapan perekonomian global pulih. Sepanjang investor di BEI masih terbelenggu keyakinan dan ekspektasi negatif, masa bearish akan bertambah panjang. Untuk itu, keyakinan dan harapan investor perlu dibangun secara proporsional sesuai dengan fakta dan kondisi sebenarnya.

Membangun keyakinan dan harapan investor, misalnya, adalah dengan mempercepat, memperbanyak, dan meningkatkan kualitas program edukasi tentang pasar modal. Edukasi ini perlu menekankan bahwa pasar modal adalah wadah investasi jangka panjang yang lebih mempertimbangkan faktor fundamental dibandingkan dengan lainnya.

Ketika dasar pertimbangan adalah fundamental, investor akan mengukur nilai dan pertumbuhan harga saham beserta segala risikonya secara lebih wajar. Keyakinan dan harapan investor pun akan diletakkan pada tingkat yang wajar, bukan berdasarkan ketakutan dan keserakahan yang mengakibatkan investor tidak berbuat apa-apa atau justru spekulatif.

Berbagai program edukasi memang tidak lantas membentuk horizon investasi semua investor menjadi jangka panjang. Bagaimanapun, investor jangka pendek yang cenderung lebih spekulatif tetap akan ada dan kadang kala mereka dibutuhkan untuk menjaga likuiditas pasar. Namun, porsi investor jangka panjang yang lebih besar haruslah terus diupayakan karena ketika sebuah perekonomian didominasi pelaku yang spekulatif, perekonomian itu akan menjadi tidak stabil serta mengarah pada krisis dan resesi. Setidaknya, itulah yang disampaikan Hyman Minsky, pelopor teori Instabilitas Finansial.

Selain edukasi, hal mendesak lainnya dilakukan adalah mewujudkan pasar modal yang teratur, wajar, dan efisien. Berbagai bentuk pelanggaran, seperti manipulasi pasar dan penyesatan informasi, harus dihentikan dengan menjatuhkan sanksi berat kepada pelakunya tanpa pandang bulu. Prinsip keterbukaan informasi harus tetap dijunjung tinggi, baik oleh emiten, perusahaan efek, maupun otoritas.

Terwujudnya pasar modal yang teratur, wajar, dan efisien akan menjadi oase bagi investor di tengah tingginya ketidakpastian dunia investasi belakangan ini. Dengan itu, kekhawatiran masyarakat bahwa investasi di pasar modal hanya akan menjadi permainan spekulan atau orang- orang serakah yang melakukan manipulasi tingkat tinggi akan hilang atau paling tidak berkurang.

Dengan kandungan edukasi yang cukup memadai serta arena permainan (bursa) yang teratur, wajar, dan efisien, pelaku pasar modal akan memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Mereka akan menjadi investor rasional, tidak lagi sekadar pengekor.

Tidak ada komentar: