Selasa, 25 November 2008

Tembakau Tidak Menyejahterakan

Nasib Petani Tetap Terpuruk
Selasa, 25 November 2008 | 01:19 WIB

Jakarta, Kompas - Upaya pengendalian dampak tembakau terhadap kesehatan, kemiskinan, dan meningkatnya perokok remaja sering ditentang dengan alasan menghilangkan lapangan kerja dan merugikan petani tembakau. Padahal, kenyataannya, hasil penanaman tembakau tidak menyejahterakan petani.

”Meningkatnya produksi rokok dan keuntungan industri tidak memberi tingkat kesejahteraan setara bagi para petani tembakau,” kata Imam B Prasodjo, Direktur Nurani Dunia yang juga aktivis antitembakau, dalam seminar yang diprakarsai Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia dan Badan Khusus Pengendalian Tembakau, Senin (24/11), di Jakarta.

Abdillah Ahsan, peneliti dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LD FEUI) memaparkan, tingkat konsumsi rokok sepanjang 1971- 2004 meningkat 5,7 kali lipat, yakni dari 35 miliar batang (1971) menjadi 202 miliar batang (2004).

Produksi daun tembakau hanya meningkat 2,8 kali lipat dari 57.000 ton (1971) menjadi 165.000 ton (2004). ”Jadi, pemenuhan kebutuhan suplai daun tembakau diperoleh dari impor dengan nilai lebih besar dari nilai ekspor daun tembakau,” ujar Abdillah Ahsan.

Berpendidikan rendah

Hasil penelitian oleh LD FEUI tentang kondisi petani tembakau di tiga wilayah penghasil utama tembakau yaitu Kendal, Bojonegoro, dan Lombok Timur, dengan 451 responden pada tahun 2008, memperlihatkan, 69 persen buruh tani tembakau berpendidikan rendah (SD) atau tidak bersekolah. Sebanyak 58 persen di antaranya masih tinggal di rumah berlantai tanah.

Kondisi petani pengelola tidak jauh berbeda, 64 persen berpendidikan rendah (SD) atau tidak sekolah dan 42 persen menempati rumah berlantai tanah. ”Pendapatan petani pengelola rata-rata Rp 1 juta per bulan. Selama 4 bulan masa tanam tidak seimbang dengan risiko usaha, yaitu kegagalan panen karena iklim, serangan hama, turunnya harga, dan kewajiban membayar utang,” kata Abdillah.

Dibandingkan dengan hasil tanaman lain, upah petani tembakau terendah setelah coklat. Pada penelitian ini, rata-rata upah harian responden buruh tani Rp 15.899 per hari atau Rp 413.374 per bulan atau hanya 47 persen rata- rata upah nasional yang berjumlah Rp 883.693 per bulan.

Anggota DPR, Atte Sugandi, menyatakan, Rancangan Undang-Undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan akan segera dibahas DPR. ”Setelah beberapa tahun RUU Pengendalian Dampak Tembakau selalu gagal masuk daftar, kini draf RUU itu sudah disetujui masuk agenda pembahasan. Ada 264 anggota DPR yang telah menyatakan dukungannya,” ujarnya. (EVY)

Tidak ada komentar: