Senin, 08 September 2008

ANALISIS EKONOMI

Heboh LNG Tangguh 

Senin, 8 September 2008 | 03:00 WIB 

Kurtubi Kompas

Kasus penjualan LNG Tangguh dengan harga murah ke China belakangan menarik perhatian masyarakat. Adalah Wakil Presiden yang menyatakan potensi kerugian negara dari penjualan LNG Tangguh bisa mencapai 75 miliar dollar AS atau sekitar Rp 700 triliun selama 25 tahun kontrak.

Potensi kerugian ini akan makin bengkak jika formula tidak dapat diubah dan dalam 25 tahun ke depan harga minyak dunia berada di atas 120 dollar AS per barrel.

Untuk menghindari hal itu, Presiden memutuskan membentuk Tim Renegosiasi yang diketuai Menko Perekonomian. Tantangan yang akan dihadapi tim ini cukup berat mengingat formula harga jual yang merugikan Indonesia ini sudah tertuang dalam kontrak dan pernah direnegosiasi pada tahun 2006.

Namun, hasilnya diketahui sangat minim karena batas harga minyak hanya naik dari 25 dollar AS menjadi 38 dollar AS per barrel. Padahal, tahun 2006, harga minyak sudah menembus 70 dollar AS per barrel.

Akibatnya, harga jual LNG Tangguh hanya naik dari 2,66 dollar AS ke 3,35 dollar AS per MMBTU. Untuk diketahui, dengan harga minyak mentah sekitar 120 dollar AS per barrel, harga LNG dunia di pasar spot dan harga jual LNG Badak dengan kontrak jangka panjang adalah sekitar 20 dollar AS per MMBTU.

Secara teknis, Tim Renegosiasi kemungkinan akan menghadapi kesulitan yang disebabkan oleh konflik kepentingan dari China National Offshore Oil Corporation (CNOOC). Di satu sisi CNOOC merupakan pembeli LNG Tangguh di Fujian, di sisi lain CNOOC merupakan bagian dari pemilik/”penjual” dengan kepemilikan saham di Proyek LNG Tangguh sekitar 17 persen.

Diingatkan sejak 2004

Sebenarnya, tahun 2004 (Kompas, 21/12/2004), saya sudah mengingatkan kepada pemerintah mengenai harga jual LNG Tangguh yang sangat murah, yang merupakan dampak dari diterapkannya UU Migas Nomor 22 Tahun 2001. Pasalnya, Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) sebagai ”pengelola” kekayaan migas nasional, sesuai UU Migas berstatus sebagai badan hukum milik negara yang tidak layak untuk berbisnis perminyakan. Akibatnya, untuk mengembangkan dan menjual migas bagian negara, berdasarkan UU Migas Pasal 44 Ayat 3g, BP Migas harus menunjuk pihak lain sebagai penjual.

Meski yang telah berpengalaman mengembangkan dan menjual LNG Indonesia (Arun dan Badak) dengan formula harga jual yang sangat visioner adalah Pertamina, BP Migas dan Departemen ESDM menunjuk, atau paling tidak menyetujui BP (perusahaan multinasional di bidang migas) sebagai operator/ pengembang dan penjual LNG Tangguh tanpa melalui tender.

Penunjukan BP sebagai pengembang dan penjual LNG Tangguh telah memunculkan peluang konflik kepentingan mengingat BP juga mempunyai proyek LNG di Australian North West Self LNG (ANWS) yang juga merebut pasar yang sama dengan LNG Tangguh.

Tahun 2002, dalam tender untuk merebut pasar Guangdong yang juga diikuti Qatar, ternyata LNG Tangguh ”kalah” dari ANWS. ”Kekalahan” ini kiranya perlu diteliti lebih lanjut. Apa betul LNG Tangguh ”kalah” dari ANWS karena LNG Tangguh menawarkan harga lebih tinggi dari ANWS? Menurut sumber dari Institut of Energy Economics, Tokyo (Koji Morita, 2003), kemenangan ANWS terjadi setelah dilakukan negosiasi individual antara bidder dan pemilik proyek.

Boleh jadi, keberadaan BP yang rancu, di mana satu kaki ada di LNG Tangguh dan kaki yang lain di LNG ANWS, telah ikut menentukan kekalahan LNG Tangguh. Oleh karena posisinya itu, BP berpeluang besar mengetahui secara persis berapa harga penawaran LNG Tangguh dan berapa harga penawaran LNG ANWS ke pasar Guangdong! Menurut Morita, harga yang diperoleh oleh ANWS di Guangdong adalah sekitar 3 dollar AS per MMBTU (harga minyak 20 dollar AS per barrel).

Panik

Dengan kalahnya LNG Tangguh di Guangdong, di Indonesia seolah-olah muncul suasana panik, khawatir LNG Tangguh tidak ada pasarnya. Padahal, hampir semua ahli ekonomi energi dunia bersepakat bahwa permintaan LNG dunia ke depan hingga 2030-2050 sangat cerah mengingat adanya kecenderungan dunia untuk menggunakan energi yang lebih bersih.

Di tengah ”kepanikan” itu, China menyatakan bersedia membeli LNG Tangguh tanpa lewat tender! Namun, di ujungnya harga yang terjadi sangat murah, jauh lebih murah ketimbang LNG yang dibeli China dari Australia, bahkan jauh lebih murah daripada harga elpiji tabung 3 kilogram untuk rakyat miskin.

Meskipun pada tahun 2002 posisi pasar gas/LNG dunia pada posisi buyer market, dengan harga jual sedang mengalami penurunan, fenomena penurunan harga itu selalu terjadi sementara. Karena sifat harga gas/LNG berfluktuasi mengikuti harga minyak, dinamis!

Setiap terjadi penurunan harga, tahun berikutnya harga gas/LNG dunia kembali naik. Pola dinamis seperti ini sudah terjadi sekurang-kurangnya empat kali sebelum penjualan LNG Tangguh tahun 2002. Oleh karena itu, tidaklah tepat kalau harga ekspor dikondisikan flat untuk waktu 25 tahun. Terlebih kalau hanya mengacu secara sepintas pada beberapa penjualan yang mematok harga flat, padahal banyak negara lain yang menggunakan formula harga minyak yang dinamis. Kalaupun dengan harga flat, tetapi dengan batasan harga minyak yang lebih tinggi dan syarat-syarat lain yang menguntungkan penjual.

Mengingat sifat alami dari harga komoditas energi (batu bara, gas/LNG) yang selalu berkointegrasi dengan harga minyak, harus diupayakan agar formula harga ekspor LNG Tangguh mengacu pada harga minyak dengan tanpa pembatasan. Ini agar negara tidak dirugikan. Tidak cukup hanya sekadar menaikkan batas atas.

Opsi untuk membekukan pengiriman perlu dipertimbangkan. Sesuai kontrak, untuk ini Indonesia harus membayar denda. Lebih baik membayar denda 300 juta dollar AS daripada harus rugi puluhan miliar dollar AS.

Sebaiknya ekspor dialihkan ke Jepang dan sesuai UU sebagian diperuntukkan bagi kebutuhan domestik. Baik untuk pembangkit listrik, bahan baku petrokimia, bahan bakar rumah tangga, industri, maupun untuk substitusi bensin transportasi.

Kurtubi Pengamat Perminyakan; Pengajar Program Pascasarjana FEUI

 

Tidak ada komentar: