Minggu, 28 September 2008

Menguji Ketangguhan Kapitalisme


Kamis, 25 September 2008 - 12:23 wib

Nurfajri Budi Nugroho - Okezone


Kapitalisme tengah mengalami ujian berat saat ini. Raksasa-raksasa keuangan satu per satu berjatuhan. Dari perusahaan pembiayaan hipotek macam Freddie Mac dan Fannie Mae, bank investasi terbesar keempat di AS Lehman Brothers, hingga raksasa asuransi American International Group (AIG).

Mantan Gubernur Bank Sentral Negeri Paman Sam Alan Greenspan menyebut, krisis yang terjadi saat ini adalah yang terburuk yang pernah dia saksikan. Krisis ini, menurut dia, akan berlangsung lama.

Bahkan, Presiden AS George W Bush, yang semula menganggap krisis ini sebagai sebuah penyesuaian kecil, akhirnya mengakui negerinya tengah menghadapi bahaya.

Hari-hari belakangan ini media massa pun tak surut memberitakan keruntuhan raksasa-raksasa keuangan Negeri Paman Sam, yang diikuti gejolak di pasar-pasar saham di belahan dunia lain. Harian Denmark Information misalnya, menulis kebangkrutan ini terjadi karena rasa percaya diri berlebihan dan spekulasi para investor. Sementara The Times di Inggris menulis, para petinggi bank investasi saat ini harus membayar mahal sikap sombong mereka, yang kerap bermain api dengan dana kliennya.

Apa yang salah sebenarnya dari Negeri Uwak Sam yang selama ini dikenal adidaya itu? Ekonom Rizal Ramli menyebut, semakin membesarnya krisis sektor keuangan terjadi lantaran ada perubahan paradigma ekonomi, dari kapitalisme produktif menjadi kapitalisme spekulatif.

Kapitalisme modern muncul diawali Revolusi Industri di Inggris. Produksi massal menjadi penggeraknya. Sementara kini, Kapitalisme digerakkan oleh perekonomian yang tidak riil, melalui spekulasi di sektor keuangan.

Sejauh ini tak ada yang bisa memprediksi kapan berakhirnya krisis ini. Imbas dari krisis di AS turut dirasakan di negara lain, termasuk Indonesia. Indeks harga saham gabungan (IHSG) kita bahkan sempat turun melewati level 1.600 pada 16 September lalu.

Di negeri asal bencana ini, Pemerintahan Bush tengah pontang-panting untuk mengegolkan rencana memperoleh dana talangan (bailout) sebesar USD700 miliar. Sungguh jumlah yang sangat fantastis, meski tak ada kepastian apakan pencairan dana talangan itu akan benar-benar efektif menyelamatkan sektor keuangan AS. Bisa dibilang, langkah itu pun bersifat spekulatif.

Kini dunia tengah berharap-harap cemas, apakah dana sebesar itu dapat menjadi dewa penolong bagi Paman Sam. Apalagi, seperti dilontarkan Greenspan, kebangkrutan perusahaan-perusahaan besar masih akan terjadi, dan kita tidak tahu di mana akan berujung. Mampukah Kapitalisme menyelamatkan dirinya sendiri? Entah.(jri)

Tidak ada komentar: