Jumat, 19 September 2008

Krisis Kepercayaan di Wall Street



AP Photo/Seth Wenig / Kompas Images
Aktivitas "trader" di Bursa Komoditas New York Mercantile Exchange, New York, Selasa (16/9).
Jumat, 19 September 2008 | 03:00 WIB

Oleh Sri Hartati Samhadi

Yang terburuk belum lewat di Wall Street. Pembantaian di bursa terhadap saham-saham raksasa lembaga finansial tampaknya belum akan berhenti. Peringatan dari sejumlah analis: Morgan Stanley dan Goldman Sachs yang sejauh ini masih bertahan pun tidak dalam posisi aman.

Rabu pagi kemarin waktu New York (Kamis WIB) harga saham dua perusahaan ini kembali terjun bebas dipicu aksi jual investor yang berebut mencampakkan aset atau saham lembaga keuangan untuk menghindari kerugian lebih besar (run to safety).

Ironisnya, itu terjadi justru setelah kedua perusahaan menerbitkan laporan keuangan yang menunjukkan kinerja keuntungan yang lumayan, faktor yang dianggap bisa membedakan mereka dengan Bear Stearn atau Lehman yang nilai asetnya menguap kering dalam waktu singkat.

Saham Morgan anjlok 38 persen dan Goldman 20 persen hanya pada sesi perdagangan Rabu pagi. Kondisi ini membuat para eksekutif perusahaan tersebut panik, dan ada kemungkinan mereka pun akhirnya akan dipaksa merger seperti terjadi pada Merrill Lynch dengan Bank of America sebelumnya.

Morgan dan Goldman adalah dua pemain besar yang masih tersisa di Wall Street, setelah Bear Stearns, Lehman Brothers, dan Merrill Lynch kolaps atau harus merelakan diri diakuisisi oleh perusahaan yang sebelumnya menjadi rival mereka. Dua tersisa itu kini menjadi target utama aksi spekulasi dan lepas saham.

Serangan terhadap dua perusahaan ini menunjukkan betapa kalut dan mencekamnya situasi di Wall Street sekarang ini. Dua perusahaan ini, menurut analis UBS, Glenn Schorr, memiliki permodalan dan posisi likuiditas yang kuat.

Risiko terjadinya gagal bayar juga tidak sebesar seperti dihadapi oleh bank investasi atau lembaga keuangan yang sudah lebih dulu kolaps, terutama dengan sudah adanya skema pendanaan darurat Fed dan pendanaan khusus yang disiapkan 10 bank terbesar untuk berjaga-jaga terhadap kebutuhan dana mendesak.

Exposure mereka terhadap aset atau sekuritas berbasis kredit perumahan juga tidak sebesar Bear Stearn, Lehman, atau Fannie Mae dan Freddie Mac.

Langkah Komisi Sekuritas dan Saham (SEC—semacam Bappepam di Indonesia) untuk melindungi saham mereka dari tekanan spekulan melalui pelarangan terhadap praktik transaksi naked short selling (transaksi yang memungkinkan spekulan mengambil keuntungan dari jatuhnya harga saham) pun tidak menolong untuk menahan kejatuhan saham dua perusahaan ini.

Kegilaan pasar ini hanya bisa dijelaskan dengan dua kalimat: krisis kepercayaan! Para investor mulai menyangsikan Morgan dan Goldman akan bertahan di tengah kegilaan yang berlangsung di pasar sekarang ini.

Ekonom Nouriel Roubini bahkan memperkirakan setelah Lehman, bukan hanya bank investasi atau perusahaan pialang independen lain seperti Morgan dan Goldman yang terancam, tetapi juga bank komersial seperti JP Morgan Citigroup, sebelum akhirnya menyeret ke keruntuhan sistem finansial secara keseluruhan.

Isu terakhir yang berkembang, Morgan sudah menjajaki kemungkinan merger dengan Wachovia Corporation atau bank lain untuk menyelamatkan kondisi keuangannya setelah gagal membujuk Citigroup untuk merger.

Kekhawatiran terbesar, mereka kolaps sebelum sempat menambah modal. Lembaga keuangan yang sejauh ini masih bertahan mencemaskan mereka akan menjadi sasaran berikutnya dari aksi para fund manager yang berusaha mengambil keuntungan dari situasi kekalutan pasar.

Kekhawatiran ini mendorong para pimpinan lembaga keuangan besar, dalam sebuah pertemuan darurat dengan Presiden Federal Reserve New York Timothy F Geithner dan Menkeu Henry Paulson Jr, mendesak keduanya untuk meminta SEC memberlakukan kembali aturan sementara yang melarang praktik short selling.

Tertibkan spekulan

Akhir Juli lalu, SEC juga mengeluarkan larangan sementara yang berlaku hingga 2 Agustus terhadap transaksi short selling setelah spekulan menempatkan taruhan besar bahwa saham Fannie Mae dan Freddie Mac pasti akan jatuh. Dua lembaga penjamin kredit perumahan ini akhirnya benar-benar rontok dan harus di-bailout oleh pemerintah pekan lalu.

Persoalannya, bisakah pelarangan ini menyelamatkan lembaga lain yang memiliki masalah sama seperti Bear Stearn, Fannie Mae dan Freddie Mac, atau Lehman?

Lehman dan Bear Stearns memiliki beberapa kesamaan. Keduanya sama-sama memiliki neraca permodalan yang lemah, memiliki exposure yang besar pada pasar subprime mortgage, dan mereka juga sama-sama terlalu berlebihan mengandalkan pasar repo (repurchase market) sebagai instrumen pembiayaan jangka pendek.

Pada Mei 2007, David Einhorn, salah satu manajer hedge fund yang sangat vokal di Wall Street, secara terang-terangan mengaku mengincar Lehman Brothers sebagai sasaran tembak untuk dijatuhkan lewat transaksi short selling.

Dalam transaksi short selling, pelaku biasanya meminjam saham dari orang lain (dengan membayar fee) lalu menjual saham tersebut dengan harapan harga saham akan jatuh sehingga dia bisa membeli kembali saham tersebut pada harga lebih murah untuk dikembalikan kepada pemiliknya.

Motifnya adalah mengambil keuntungan dari selisih harga jual yang tinggi dan harga beli yang murah. Dari transaksi seperti ini, orang seperti Einhorn menangguk keuntungan hingga jutaan dollar AS dalam sekejap.

Ia mengaku mulai bertaruh dengan saham Lehman sejak Juli 2007 saat harga saham bank investasi itu masih diperdagangkan sekitar 70 dollar AS per lembar. Mei 2008, harga saham sudah melorot ke sekitar 40 dollar AS dan terakhir saat Lehman melemparkan handuk dan menyatakan diri bangkrut, harga saham sudah di bawah 4 dollar AS.

Untuk mencapai tujuan mereka, menurut Richard Bove, analis Ladenburg Thalmann & Co, seperti dikutip Bloomberg, para pelaku short selling biasanya menyebarkan rumor negatif mengenai perusahaan yang menjadi target.

Bear Stearns adalah korban dari aksi seperti ini. Anjloknya harga saham Lehman sebesar 95 persen dan 80 persen saham Fannie Mae dan Freddie Mac, antara lain, juga dipicu oleh aksi seperti ini. Dalam kasus Lehman, perusahaan ini dinilai mengabaikan dan meremehkan pengaruh orang seperti Einhorn di Wall Street.

Kalangan pasar uang menyadari sangat berbahayanya transaksi seperti ini. Di banyak negara Asia, transaksi short selling dilarang. Short selling sendiri sebenarnya bukan barang baru. Di AS sendiri, transaksi ini tidak dilarang, kecuali pihak otoritas pasar bisa membuktikan ada kecurangan seperti upaya memanipulasi harga saham.

SEC baru melarang transaksi tersebut ketika yang menjadi target adalah lembaga-lembaga besar yang menjadi ikon dan nyawa Wall Street.

Layaknya burung pemakan bangkai, para pelaku short selling mengincar lembaga-lembaga keuangan bermasalah yang dalam posisi lemah untuk dijatuhkan. Aksi ini mempercepat kematian atau kejatuhan saham-saham perusahaan yang mereka incar.

”Itu seperti menghajar orang yang sudah jatuh dengan tongkat bisbol. Sekelompok orang dengan tongkat yang sangat besar mengeroyok perusahaan-perusahaan tertentu dan terus menghajar mereka. Suatu perbuatan yang tak sportif,” ujar Jim Hardesty, Presiden Hardesty Capital Management, Baltimore.

Sektor riil kena

Akan tetapi, orang-orang seperti Einhorn dan kelompok pendukung mazhab pasar bebas mengaku tak ada yang salah dengan apa yang mereka lakukan. Menurut mereka, mereka hanya mampu menangkap lebih cepat dari yang lain, bahwa ada yang tak beres pada lembaga-lembaga keuangan tersebut.

Mereka menganggap diri mereka semacam sistem peringatan dini yang berguna untuk membangunkan kesadaran seluruh pasar. Menurut Einhorn, harga saham Lehman sudah berada di bawah tekanan sebelum ia secara terang-terangan di hadapan sebuah pertemuan besar yang dihadiri para pelaku industri finansial, Mei lalu, mengatakan bahwa ia bertaruh saham Lehman pasti akan jatuh.

Kesalahan Lehman, menurut Einhorn, lembaga itu melakukan praktik-praktik pembukuan keuangan yang tak transparan untuk menghindari write-downs nilai aset yang secara besar-besaran. Bank ini juga memiliki aset berbasis investasi perumahan yang macet dalam jumlah sangat besar.

Adanya orang seperti Einhorn membuat orang berspekulasi, siapa setelah Lehman? Investor tak lagi rasional dan siapa saja bisa menjadi sasaran.

Efek berantai dan interkoneksi antara sektor keuangan dan sektor ekonomi riil membuat perusahaan di sektor riil juga mulai merasakan imbasnya. Setelah lembaga keuangan, orang mulai berspekulasi korban berikutnya mungkin perusahaan otomotif. Saham seluruh produsen otomotif dan industri pendukungnya ikut terpukul, Rabu.

Di sektor elektronik, perusahaan disegani seperti General Electric juga melaporkan anjloknya keuntungan yang membuat kaget investor dan memicu aksi lepas saham.

Hukum pasar pun akhirnya bicara dan korban-korbannya tak lagi pandang bulu, termasuk anak-anak emas Wall Street yang selama ini ”tak tersentuh” dan dianggap sebagai kampiun kapitalisme pasar bebas Amerika.

Tidak ada komentar: