Minggu, 07 September 2008

Kapitalisme dan Krisis Global

Rokhmin Dahuri
Mantan Menteri Perikanan dan Kelautan

Pernyataan Gubernur Bank Sentral AS, Ben Bernanke, Selasa (15/7), bahwa ekonomi AS yang rapuh kini semakin tertekan akibat skandal kredit perumahan, gejolak pasar uang, dan naiknya pengangguran, menegaskan AS tengah dilanda resesi ekonomi. Sejumlah lembaga keuangan (seperti Goldman Sachs, Bear Stearns, Fannie Mae, dan Freddie Mac) bangkrut.

Penurunan lapangan kerja pun terjadi. Kondisi ekonomi AS memburuk dengan anjloknya tingkat konsumsi akibat meroketnya harga minyak dan bahan pangan. Banyak pula lembaga perbankan dunia seperti Duetsche Bank, Barclays Bank, UBS, Mitsubishi UFJ, dan Mizuho, yang memiliki investasi surat berharga kredit perumahan AS kena getahnya dan merugi sangat besar. Kekacauan ekonomi juga memicu aksi jual secara massif di bursa saham global sehingga membuat indeks harga saham mencapai angka terendah dalam setahun terakhir.

Gonjang-ganjing perekonomian AS telah membuat investor dunia menghindari aset-aset dalam denominasi dolar AS. Kemudian, investor spekulan ini berlomba menginvestasikan dananya di bursa komoditas sehingga menyebabkan melambungnya harga minyak, komoditas pangan, dan inflasi dunia. Ini semua mengakibatkan pertumbuhan ekonomi dunia melemah dan angka pengangguran kian meningkat (stagflasi).

Guncangan yang menghantam perekonomian AS dan dunia membuktikan betapa labil sistem ekonomi ini. Sejak depresi besar pada 1930-an, warga dunia hampir tidak pernah bisa tidur lelap karena berulangnya krisis ekonomi global. Krisis minyak 1970-an, the Black Monday Oktober 1987, dan krisis moneter Asia 1997.

Sayangnya, terapi untuk meredam guncangan yang terjadi di sektor finansial supaya tidak menjadi krisis ekonomi hanya mengobati gejalanya, belum menyembuhkan penyebab penyakit. Paket terapi populer, tetapi tidak menyentuh akar masalah adalah pengendalian suku bunga acuan bank sentral, penyuntikan dana ke sistem perbankan, atau pengendalian harga melalui peningkatan suplai serta distribusi barang dan jasa. Padahal, krisis ekonomi global masalahnya ditengarai berakar pada beberapa faktor. Pertama, cacat bawaan sistem ekonomi kapitalis yang jadi acuan dalam mengatur tata ekonomi dunia. Kedua, laju permintaan manusia akan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan melampui daya dukung bumi untuk menyediakannya.

Cacat bawaan kapitalisme
Sedikitnya ada tiga kekeliruan paradigmatik ekonomi kapitalis yang tak mungkin lepas dari lingkaran setan krisis ekonomi. Pertama, tujuan ekonomi kapitalis bukan sekadar memenuhi kebutuhan dasar manusia, tetapi juga memuaskan keinginan manusia berupa kebutuhan sekunder dan tersier. Lain halnya dengan kebutuhan dasar, keinginan manusia yang tidak dilandasi oleh nilai-nilai Illahiyah, sifatnya menjadi tak terbatas. Sementara itu, kapasitas alam dan teknologi dalam menghasilkan sejumlah alat pemuas kebutuhan dan keinginan manusia berupa barang dan jasa berbeda di setiap negara dan ada batasnya.

Di sinilah ekonomi kapitalis terkena batu sandungan pertama karena memandang kelangkaan alat pemuas kebutuhan dan keinginan manusia sebagai masalah pokok ekonomi. Padahal, sejatinya masalah ekonomi terletak pada distribusi alat pemuas di antara warga dunia yang selama ini tidak adil.

Para kapitalis hanya mengutamakan kepentingan individu atau kelompoknya dengan menindas pihak lain yang lemah. Filosofi hidup inilah yang mendasari perilaku liar, curang, dan jahat para investor keuangan dan korporasi multinasional AS, Eropa, dan negara-negara kapitalis lainnya (Soros, 2008).

Kedua, kehidupan kapitalisme modern digerakkan secara dominan oleh ekonomi berbasis sektor keuangan, bukan ekonomi berbasis sektor riil. Karena itu, keuntungan ekonomi diperoleh bukan dari aktivitas investasi dan usaha produktif dengan menghasilkan berbagai barang dan jasa, tetapi investasi spekulatif dan transaksi derivatif berisiko tinggi.

Dengan kata lain, kapitalisme menangguk keuntungan bukan melalui kreativitas dan kerja keras, melainkan melalui kegiatan ekonomi nonriil. Tak heran pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan pun tidak berkualitas, hanya sedikit menyerap tenaga kerja, dan menguntungkan kelompok atas yang umumnya tinggal di perkotaan.

Dalam buaian ekonomi berbasis moneter inilah, kapitalisme tak mungkin lepas dari praktik bunga (riba). Padahal perbedaan tingkat suku bunga yang signifikan antar negara itulah yang membuat para pialang keuangan dengan seenaknya mengeruk keuntungan melalui investasi uang panas. Aliran uang panas dari satu negara ke negara lain dalam jumlah yang luar biasa besarnya dan berlangsung sangat cepat, selama ini menjadi biang kerok terjadinya kepanikan finansial yang acap kali berujung pada krisis ekonomi.

Kalau kita pertahankan BI ratepada level konservatif (8,5 persen), investor sektor riil enggan meminjam uang dari bank untuk investasi di sektor riil. Sebaliknya, bila kita turunkan tingkat suku bunga, uang panas tersebut akan secepat kilat keluar dari Indonesia. Konsekuensinya bisa memicu krisis ekonomi jilid kedua.

Data Moody’s Ratio of Credit Downgrades to Upgrades (2006) memperlihatkan realisasi kredit di AS menurun tajam sejak 1995 hingga 2005. Tak kurang dari 500 miliar dolar AS obligasi berbasis bunga di Negeri Paman Sam kini tidak bisa dibayar.Ketiga, uang kertas yang menjadi basis ekonomi kapitalis sangat rapuh karena selalu terkena inflasi permanen. Uang kertas terdepresiasi akibat inflasi permanen. Uang kertas juga jauh dari keadilan, lantaran nilai intrinsiknya jauh lebih kecil ketimbang nilai nominalnya.

Kapitalisme gagal mewujudkan kesejahteraan bagi warga dunia secara berkeadilan. Selama tiga dekade terakhir, situasinya malah memburuk. Lebih dari separuh penduduk dunia masih miskin dengan pendapatan kurang dari dua dolar AS per hari dan 1,2 miliar orang tergolong miskin absolut dengan pendapatan kurang dari satu dolar AS per hari.

Pada 1960 ada 20 persen warga dunia terkaya berpenghasilan 30 kali lipat lebih besar daripada total penghasilan 20 persen penduduk dunia yang termiskin. Pada 2005 kesenjangan tersebut melebar menjadi 95 kali lipat (Sachs, 2006).

Krisis lingkungan
Falsafah kapitalisme yang menafikan eksistensi Tuhan membuat gaya hidup kapitalis sangat konsumtif dan hedonis. Diperlukan produksi barang dan jasa dalam jumlah yang sangat besar dan cepat. Keseluruhan proses produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa untuk memenuhi segenap kebutuhan dan keinginan memacu laju konversi ekosistem alam menjadi ekosistem buatan, eksploitasi sumber daya alam (SDA), dan pembuangan limbah.

Biaya hidup dan ongkos produksi barang dan jasa menjadi lebih mahal di negara yang daya dukung lingkungannya telah terlewati. Ini karena untuk proses produksi dan pemenuhan kebutuhan dalam negerinya harus mengimpor berbagai material dari negara lain.

Kondisi semacam inilah yang sejak akhir 1980-an terjadi di negara industri maju. AS, misalnya, saat ini mengimpor lebih dari 75 persen kebutuhan nasionalnya dari berbagai pelosok dunia. Karena inflasi terjadi ketika permintaan agregat terhadap barang lebih besar daripada pasokannya, krisis lingkungan (terkurasnya SDA dan buruknya kualitas lingkungan) di suatu negara juga menjadi penyebab inflasi dan krisis ekonomi.

Kini saatnya kita menggalang kerja sama mondial mencari sistem ekonomi alternatif yang mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar bagi setiap warga dunia serta terpenuhinya kebutuhan sekunder dan tersier sesuai kemampuan dan upaya individual, daya dukung lingkungan, dan norma keadilan. Suatu sistem ekonomi yang bebas dari jebakan inflasi permanen sehingga mampu menyediakan mekanisme kerja sama ekonomi global yang saling menguntungkan dan berkeadilan bagi seluruh bangsa di dunia.

Dengan kekayaan alam melimpah, posisi geoekonomi yang strategis, dan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia;

Ikhtisar:
- Sistem kapitalisme terbukti membawa dampak yang lebih buruk.
- Indonesia termasuk yang terjebak dalam sistem yang hanya menguntungkan sekelompok golongan

Tidak ada komentar: