Jumat, 19 September 2008

AS Sakit, Semua Sakit


Jumat, 19 September 2008 | 01:49 WIB

Oleh Joice Tauris Santi

Ketika Amerika Serikat pilek, seluruh dunia terkena demam. Begitu biasanya yang terjadi pada pasar finansial yang terkait satu sama lain. Berbeda dengan sektor manufaktur yang sulit dipindahkan dengan cepat, misalnya menutup pabrik mobil di sebuah negara dan membukanya di negara lain.

Pemindahan aset di sektor finansial hanya semudah menelepon atau menggerakkan jari di tuts komputer. Dalam hitungan detik, dana dari Asia dapat pindah ke Eropa atau dana dari Rusia beralih ke Meksiko.

Perjalanan pasar finansial AS dan Eropa sudah cukup lama dibandingkan dengan pasar finansial di negara berkembang. Pasar mereka jauh lebih matang, relatif stabil, tahan guncangan, dan banyak pengalaman sehingga sering diagung-agungkan dan dianggap selalu memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan pasar negara berkembang.

Khususnya di Amerika Serikat (AS), produk jasa dan produk finansial yang ditawarkan oleh firma keuangan AS hampir dipastikan laris manis diserbu oleh nasabah, baik korporasi maupun perorangan dari kawasan negara berkembang bahkan Eropa.

Manajer investasi, hedge fund, perbankan beramai-ramai antre untuk membeli surat berharga yang diterbitkan oleh bank-bank investasi AS. Salah satu alasannya adalah keamanan dan peraturan ketat di struktur finansial AS.

Jadi, singkatnya, produk apa pun yang dikeluarkan dari pasar finansial AS sudah dinilai otomatis prudent (penuh kehati-hatian), terpercaya, rendah risiko, dan aman sehingga menarik dan pembeli dapat tidur nyenyak dengan memeluk surat berharga itu.

Tidak terkecuali produk-produk yang disebut sebagai collateralized debt obligations (CDO) atau surat utang yang beragun aset (disekuritisasi) dengan kredit perumahan dari AS.

Bank-bank pemberi kredit perumahan menjual aset mereka yang paling riskan dan membungkusnya menjadi paket-paket menarik sehingga menjadi serangkaian surat utang dengan risiko dan imbal hasil yang memuaskan berbagai tipe investor.

Peringkat teratas ditempati oleh surat utang yang 80 persen berisi tagihan lancar (ketika itu) sehingga lembaga pemeringkat pun memberikan peringkat AAA untuk CDO jenis ini. Peringkat AAA merupakan peringkat yang paling tinggi dalam pasar obligasi, menandakan obligasi itu rendah risiko. Sedangkan jenis CDO yang paling rendah berisi tagihan yang agak berisiko, tetapi sesuai dengan hukum investasi, memberikan imbal hasil tinggi.

Risiko bertambah

Pada praktiknya, baik bank, bank investasi, maupun lembaga pemeringkat memandang enteng tagihan-tagihan kredit pemilikan rumah (KPR) yang sebenarnya dikeluarkan oleh orang yang tak memiliki penghasilan tetap, tidak bekerja dan tidak memiliki aset.

Pada dasarnya, sekuritisasi aset dimaksudkan untuk mengurangi risiko melalui pengelompokan risiko dan diversifikasi geografis. Maksudnya, surat utang yang dijamin dengan tagihan KPR dari debitor yang tinggal di berbagai macam tempat akan lebih kecil risikonya dibandingkan dengan surat utang yang dijamin oleh tagihan KPR dari satu daerah saja.

Jika terjadi risiko, misalnya kebanjiran di satu daerah, harga rumah jatuh. Namun, jika dijamin dengan tagihan KPR debitor dari berbagai macam daerah, akan mengurangi risiko itu. Kecil kemungkinan seluruh AS akan banjir atau akan terbakar.

Yang terjadi ternyata sebaliknya. Bank justru menaikkan risiko dengan melakukan sekuritisasi aset dengan memindahkan kepemilikan tagihan KPR itu dari bank yang mengerti betul para nasabahnya kepada para investor yang sama sekali tidak mengetahui siapa sebenarnya para debitor tagihan KPR itu.

Terlebih lagi, surat utang itu dijual kepada para investor dari segala penjuru dunia yang sama sekali tidak mengetahui bagaimana sebenarnya kekuatan debitor untuk membayar tagihannya.

Mulai tahun 2005, sekuritisasi menjadi salah satu kegiatan yang paling banyak dilakukan. Setelah CDO, muncul surat utang jenis lain, yaitu credit default swap (CDS). CDS dapat dijelaskan sebagai kesepakatan di antara dua bank.

Misalnya, bank A sebagai penjual swap (pembeli proteksi) setuju untuk membayar sejumlah uang dalam periode tertentu kepada bank B sebagai pembeli swap (penjual proteksi) untuk sejumlah portofolio pinjaman. Bank B akan berkomitmen untuk menjaga agar bank A tidak merugi dari portofolionya selama masa penjaminan berlaku. CDS inilah yang membuat AIG kolaps.

Hedge fund terkemuka, George Soros, dalam bukunya, The New Paradigm for Financial Market (2008) menyebutkan, hingga pertengahan 2007, kontrak CDS diperkirakan mencapai 42,6 triliun dollar AS. Jumlah ini hampir setara dengan kekayaan rumah tangga seluruh warga AS. Sedangkan kapitalisasi pasar saham AS sebesar 18,5 triliun dollar AS dan pasar surat berharga pemerintah hanya 4,5 triliun dollar AS.

Sebenarnya pada tahun 2000, mantan Gubernur Bank Sentral AS, The Federal Reserve, Edward M Gramlich telah memperingatkan secara pribadi kepada Gubernur Bank Sentral AS saat itu, Alan Greenspan, mengenai kelakuan yang tidak pantas seputar subprime mortgage.

Akan tetapi, peringatan ini diabaikan. Mantan gubernur The Fed lainnya, Paul Volker, dan petinggi Citibank, Bill Rhodes, juga memperingatkan hal serupa. ”Tidak ada seorang pun, termasuk saya, yang mengantisipasi seberapa besar sebenarnya bubble perumahan itu dapat bertumbuh dan seberapa lama akan terjadi,” ujar Soros.

Peringatan akan terjadi sesuatu yang buruk pada pasar finansial AS yang berasal dari sektor perumahan akhirnya terjadi juga. Dengan berakhirnya pemanis KPR AS yang menjanjikan tingkat suku bunga rendah pada awal cicilan KPR, berubahnya makroekonomi sehingga The Fed menaikkan tingkat suku bunganya, membuat para debitor KPR harus membayar lebih banyak lagi cicilan rumahnya. Selain itu, harga rumah juga menurun pada tahun 2006-2007 di sebagian besar wilayah AS.

Gagal bayar cicilan KPR menjadi semakin banyak. Kasus penyitaan rumah meningkat tajam. Selama 2007, hampir 1,3 juta properti di AS menjadi sasaran penyitaan karena pemiliknya tidak dapat membayar cicilan lagi. Jumlah itu naik 79 persen dari penyitaan rumah 2006.

Masalah ini merembet kepada bank-bank yang memegang surat utang beragun tagihan KPR itu. Adalah HSBC Inggris yang pertama kali pada 22 Februari mengumumkan kerugiannya sebesar 10,8 miliar dollar AS dari bisnis surat utang KPR AS ini. Ternyata dia tidak sendiri, masih banyak firma keuangan besar yang dipandang too big to fail akhirnya bangkrut, seperti Lehman Brothers.

Sekali menjadi masalah, semua menjadi terlihat salah. Kelemahan-kelemahan kemudian terlihat dalam waktu singkat. Banyak bank investasi yang memiliki banyak CDO di luar neracanya, yang disebut structured investment vehicle (SIV). SIV membiayai dirinya dengan menerbitkan efek beragun aset.

Karena nilai CDO dipertanyakan, pasar efek beragun aset juga terseret jatuh. Ramai-ramai bank investasi berusaha menalangi kerugian yang dialami oleh SIV-nya. Sebagian bank investasi menarik SIV ke dalam pembukuannya dan terpaksa mengakui adanya kerugian besar.

Karena CDO tidak hanya dijual kepada bank, bank investasi, hedge fund, dan manajer investasi di AS, tetapi di seantero dunia, penyakit ini menyebar dengan sangat cepat. Lihat saja 30 besar daftar debitor Lehman Brothers, mulai dari bank di Australia hingga ke Eropa (Kompas, Rabu (17/9).

Belum lagi gejolak di pasar saham karena penurunan saham- saham perbankan yang merugi banyak akibat transaksi surat utang AS itu. Saham perbankan dari Asia hingga Amerika Latin ditinggalkan para investornya. Ini menggambarkan pula sedemikian pesat dan luasnya peredaran virus finansial dari AS.

1 komentar:

Saham mengatakan...

Amerika memang pusat ekonomi dunia.