Kamis, 25 September 2008

Pelajaran Baru dari Paman Sam

Rabu, 24 September 2008 - 10:04 wib

Setelah berbagai lembaga keuangan kelas dunia bertumbangan dan indeks saham berjatuhan, akhirnya pemerintah George Bush, The Fed beserta bank sentral negara-negara maju yang lain memutuskan untuk melakukan bailout (menjamin) lembaga keuangan yang bangkrut.

Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyediakan dana sebesar USD780 miliar untuk mengambil alih tagihan kredit macet di berbagai lembaga keuangan. Rencana tersebut tampaknya akan berjalan mulus. Baik kalangan Demokrat maupun Republik, termasuk calon presiden Barack Obama dan John McCain, mendukung rencana tersebut dengan alasan yang berbeda.

Satu pelajaran yang dapat diambil dari kasus ini adalah ketika ekonomi nasional terancam krisis, perbedaan ideologi antara partai dan kandidat presiden diabaikan. Mereka sepakat penyelamatan ekonomi nasional didahulukan. Padahal biasanya Partai Republik yang propasar sangat antiintervensi pasar.

Yang mereka cari biasanya adalah market solution. Kini yang terjadi adalah mereka melakukan intervensi pasar terbesar yang pernah dilakukan setelah Great Depression pada 1930-an.

Sumber Krisis

Banyak pihak yang menganalisa penyebab krisis ekonomi di Amerika Serikat ini. Namun sejatinya krisis ini disebabkan oleh dua hal pokok, yakni pada tataran makro dan mikro. Pada tataran makro, kebijakan ekonomi yang diambil oleh Pemerintahan Amerika Serikat dipandang sangat tidak prudent, bahkan kacau-balau.

Defisit anggaran dan perdagangan yang kian menggelembung tidak ditangani dengan baik. Bahkan defisit semakin meningkat dan tidak terkendali karena pembiayaan perang Afghanistan dan Irak, dan pemotongan pajak bagi orang-orang kaya.

Singkat kata, kebijakan ekonomi Presiden Bush sungguh tidak mengindahkan prinsip-prinsip pengelolaan yang benar. Pemerintahan George Bush ini telah berutang lebih dari USD4 triliun-terbesar dalam sejarah seorang Presiden AS.

Pada tingkat mikro, keserakahan para pelaku pasar yang dilindungi- bahkan dipromosikan sebagai perilaku enterpreneurship- telah memakan korbannya sendiri. Sikap pemerintah yang percaya bahwa less regulation is better regulation dengan melakukan liberalisasi sektor keuangan terbukti menjadi faktor utama penyebab krisis keuangan yang melanda Amerika Serikat.

Ekspansi lembaga keuangan di sektor perumahan dengan mengucurkan kredit bagi mereka yang sebenarnya tidak layak dengan berbagai instrumen keuangan yang berisiko tinggi merupakan akar dari krisis yang kini terjadi.

Namun sesungguhnya ada juga yang berpendapat bahwa krisis keuangan ini merupakan sesuatu yang inheren dalam sistem ekonomi kapitalis. Pertanyaannya bukan lagi apakah krisis ini akan muncul atau tidak, tapi lebih pada kapan munculnya. Jadi lebih pada persoalan waktu.

Hal ini disebabkan dalam sistem ekonomi liberal spekulasi dan ekspansi merupakan bagian dari perilaku para pelaku ekonomi-yang jika berakhir dengan kegagalan, maka pasar menyediakan solusinya dengan menjual seluruh aset.

Yang tidak dipertimbangkan dalam hal ini adalah ada banyak kepentingan publik yang terlibat di dalamnya- yang dirugikan akibat ulah dan ketamakan para pelaku ekonomi tersebut.

Intervensi Merupakan Keharusan

Terlepas dari mana krisis berasal, satu yang pasti bahwa pada akhirnya pemerintah melakukan intervensi untuk mengatasi kegagalan pasar. Ternyata kegagalan pasar tidak dapat diselesaikan oleh pasar itu sendiri karena besarnya risiko dan magnitudo dampaknya yang terlalu besar bagi ekonomi.

Ironinya adalah ini dilakukan di negara yang merupakan pelopor dan penganut ekonomi liberal, yang mempromosikan dan terkadang memaksakan negara-negara lain untuk menganut dan menjalankan kebijakan ekonomi liberal.

Agenda liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi yang dikhotbahkan kepada negara-negara lain ternyata dilanggar sendiri. Inilah bentuk inkonsistensi dan hipokrisi Amerika Serikat. Kita masih ingat ketika krisis ekonomi melanda negara-negara Asia, IMF dan World Bank sangat gencar memaksakan agenda "Washington Consensus" untuk diterapkan sebagai obat bagi ekonomi nasional.

Walau ternyata racun yang mematikan, resep tersebut terpaksa ditelan oleh Pemerintah Indonesia sebagai prasyarat memperoleh utang yang dijanjikan. Jadi pelajaran yang bisa dipetik dari krisis ekonomi yang kini tengah melanda Amerika Serikat adalah kenyataan bahwa pemerintah diperlukan untuk melakukan intervensi pasar dan mengendalikan perilaku ekonomi masyarakat.

Ini harus dilakukan bukan hanya setelah ekonomi mengalami krisis, namun juga sebagai langkah antisipasi dan pengendalian. Hal ini terutama berlaku di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia yang berbagai bentuk kelembagaan ekonominya masih belum mapan dan berkembang.

Karenanya, sebagai langkah antisipasi, tidak ada salahnya pemerintah mulai dari sekarang melakukan telaah yang saksama terhadap berbagai aturan dan kebijakan, terutama di sektor keuangan dan perbankan yang terlalu liberal yang bisa menjadi pemicu krisis di masa mendatang.

Dampak bagi Indonesia

Sebagai lokomotif ekonomi dunia, krisis yang terjadi di Amerika Serikat menimbulkan dampak bagi ekonomi dunia. Hanya besarannya saja yang berbeda-beda. Dampaknya bagi Indonesia adalah penurunan ekspor.

Pangsa pasar ekspor Indonesia ke Amerika Serikat adalah sekitar 12% dari total ekspor Indonesia. Sebenarnya pelemahan ekspor ke Amerika Serikat sudah berlangsung sejak awal 2007, saat pertumbuhan ekspor hanya sekitar 5% dibandingkan pertumbuhan ekspor ke negara-negara lain sebesar 20%.

Dengan perlambatan ekonomi, diperkirakan ekspor ke Amerika Serikat akan semakin merosot. Ditambah lagi dengan dominasi ekspor yang berbasis komoditas yang sedang mengalami pelemahan, semakin nyatalah ancaman terhadap kinerja ekspor nasional.

Diversifikasi produk dan negara tujuan sudah seharusnya menjadi agenda prioritas untuk menyelamatkan ekspor nasional. Di sisi lain, dampak terhadap pasar finansial diperkirakan tidak akan sebesar ekspor.

Bahwa terjadi kepanikan di pasar modal sehingga harga saham anjlok tajam merupakan hal yang dimengerti. Mayoritas pelaku di pasar modal adalah investor asing. Mereka menarik dananya akibat masalah ini. Namun keterkaitan antara pasar keuangan Indonesia dan Amerika Serikat secara langsung tidak terlalu kuat.

Tidak banyak keterlibatan lembaga keuangan dalam negeri dengan Lehman Brothers, misalnya, dalam kredit perumahan sehingga lembaga keuangan nasional tidak terlalu memiliki eksposur seperti itu.

Karenanya hal yang harus diyakinkan adalah fundamen ekonomi kita cukup kuat dan pemerintah beserta Bank Indonesia dan otoritas pasar modal siap melakukan langkah-langkah yang diperlukan mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi akibat krisis finansial ini. (*)

M Fadhil Hasan
Ekonom Senior INDEF (//mbs)

Tidak ada komentar: