Jumat, 19 September 2008

Ketahanan Sistem Diuji


Jumat, 19 September 2008 | 01:50 WIB

Ujian terhadap ketahanan sistem keuangan, fiskal, dan moneter Indonesia tak pernah berhenti dalam beberapa bulan terakhir, terus didera dampak perekonomian global. Ujian datang silih berganti. Puncaknya terjadi saat ini, tatkala sejumlah permasalahan bersimultan menghantam sistem keuangan Indonesia.

isa dibilang saat ini perekonomian Indonesia menghadapi persoalan tingginya inflasi, tekanan nilai tukar mata uang, anjloknya bursa saham, defisit neraca pembayaran, dan kekeringan likuiditas sekaligus. Indonesia juga dihadapkan pada suramnya prospek ekonomi ke depan terkait kemungkinan melambatnya laju pertumbuhan dan membesarnya risiko likuiditas yang dihadapi perbankan.

Inflasi terus melonjak, dipicu oleh kenaikan harga minyak dan komoditas di pasar internasional. Inflasi setahunan Agustus 2008 mencapai 11,85 persen, jauh di atas target semula yang sebesar lima plus minus satu persen. Bank Indonesia (BI) pun merevisi target menjadi 11,5-12,5 persen pada akhir tahun.

Meskipun harga minyak dan komoditas cenderung menurun akhir-akhir ini, bukan berarti tekanan inflasi ke depan mereda. Tekanan inflasi tetap ada seiring meningkatnya permintaan agregat dan melemahnya nilai tukar yang menyebabkan imported inflation.

Nilai tukar mendapat tekanan paling hebat dalam tahun ini ketika lunglai di posisi Rp 9.455 per dollar AS pekan lalu. Awalnya pelemahan terjadi karena imbas dari pelemahan nilai mata uang sekawasan Asia terhadap dollar AS. Para investor memburu dollar AS yang harganya amat murah.

Tekanan nilai tukar semakin berat ketika banyak investor di dalam negeri melepas aset-aset rupiahnya di saham, Sertifikat Bank Indonesia (SBI), surat utang negara, dan surat berharga lainnya, dan menukarnya ke dollar AS. Kondisi ini membuat indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia dan nilai tukar terpuruk sekaligus.

Penjualan aset rupiah oleh investor asing semakin marak begitu satu per satu perusahaan keuangan skala global berada di ambang kebangkrutan gara-gara efek berantai kasus subprime mortgage. Bahkan, perusahaan investasi terbesar keempat di AS, Lehman Brother, bangkrut.

Situasi ini membuat terjadinya konsolidasi dan penyesuaian portofolio oleh perusahaan-perusahaan global. Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian, perusahaan-perusahaan global tersebut cenderung menarik investasinya dari negara berkembang, termasuk Indonesia.

Pelarian dana ke luar negeri semakin memperkering likuiditas di dalam negeri yang sebelumnya sudah ketat. Pengetatan likuiditas, ditandai dengan kenaikan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 125 basis poin selama periode Mei-September 2008, dilakukan BI untuk meredam laju inflasi.

Karena tidak memperhitungkan faktor larinya dana ke luar negeri secara besar-besaran dalam waktu singkat, kebijakan moneter ketat yang diterapkan BI pun terasa overdosis. Kekeringan likuiditas diperparah karena dana pemerintah Rp 120 triliun di BI tak juga dialirkan ke pasar.

Dampaknya, rasio likuiditas perbankan turun dari 119,3 persen pada triwulan I-2008 menjadi 111,9 persen pada triwulan II-2008. Risiko likuiditas memasuki zona bahaya jika rasio ada di bawah 100 persen sebab bank berpotensi kesulitan menyediakan dana yang ingin ditarik nasabah.

Bank pun menaikkan suku bunga deposito berjangka, baik resmi (counter rate) maupun tidak resmi (over counter rate/OCR), agar bisa menjaring dana masyarakat. Untuk OCR, bank biasanya membidik nasabah besar, seperti korporasi atau orang kaya dengan simpanan di atas Rp 1 miliar. Kepada mereka, bank menawarkan suku bunga deposito amat tinggi, di atas 12 persen per tahun. Untuk counter rate, bank biasanya menawarkan suku bunga normal, 6-7 persen, tetapi ditambah insentif berupa uang tunai (cash back) atau hadiah.

Redam

BI selaku otoritas moneter jelas menghadapi tantangan berat dan dilematis sekaligus. Di satu sisi, BI dituntut menerapkan kebijakan moneter ketat untuk menjinakkan inflasi yang hingga kini belum ada tanda-tanda bakal mereda. Kebijakan moneter ketat, terutama melalui intervensi dan kenaikan suku bunga, juga diperlukan untuk meredam kejatuhan nilai tukar lebih dalam.

Namun, di sisi lain, industri perbankan dan sistem keuangan keseluruhan sedang mengalami kekeringan likuiditas. Jika berkepanjangan, ini tentu akan berbahaya karena roda perekonomian bisa berhenti mendadak.

Menghadapi situasi ini, bank sentral menerapkan sejumlah jurus. Dalam horizon panjang, BI akan tetap menerapkan kebijakan moneter yang bisa menurunkan inflasi ke level 6,5-7,5 persen pada tahun 2009. Dalam jangka pendek, BI menerapkan kebijakan pelonggaran likuiditas. Sepintas terlihat adanya kontradiksi, di satu sisi ingin mengerem inflasi, tetapi di sisi lain melakukan ekspansi likuiditas ke pasar.

Namun, Direktur Perencanaan Strategis dan Humas BI Dyah NK Makhijani mengemukakan, ekspansi likuiditas dilakukan dengan tetap menjaga efektivitas kebijakan moneter untuk mengendalikan inflasi.

Dalam melonggarkan likuiditas, BI menyusun tenor dan suku bunga transaksi repo (repurchase agreement) lelang menjadi lebih menarik dan fleksibel.

Repo merupakan penjualan surat berharga dengan perjanjian dibeli kembali. Selain itu, BI memutuskan menurunkan suku bunga transaksi repo semalam (overnight repo rate) dari BI Rate plus 300 basis poin (bp) menjadi BI Rate plus 100 bp dan menyesuaikan fasilitas BI (Fasbi) dari semula BI Rate minus 200 bp menjadi BI Rate minus 100 bp.

Sementara itu, pemerintah selaku otoritas fiskal mulai menggelontorkan dananya yang tersimpan di BI ke sistem perbankan, terutama untuk keperluan pembayaran.

Menurut Ketua Umum Perhimpunan Bank Umum Milik Negara (Himbara) Agus Martowardojo, penurunan overnight repo rate akan membuat biaya untuk mendapatkan likuiditas semakin murah. Penurunan suku bunga repo selanjutnya akan mendorong penurunan suku bunga di pasar uang antarbank dan suku bunga deposito tidak resmi (over counter rate).

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, secara makro keadaan dan prospek likuiditas Indonesia tetap terjaga di tengah gejolak pasar global dan pasar keuangan domestik yang membawa dampak kepada perkembangan indeks harga saham, pasar surat utang, maupun rupiah.

Terjaganya likuiditas ditandai dengan gambaran APBN sampai dengan agustus 2008, di mana realisasi pendapatan negara, khususnya penerimaan pajak, naik sebesar 46 persen sehingga penerimaan negara keseluruhan melampaui target sebesar 68 persen dari APBN Perubahan 2008.

Di sisi lain, belanja negara belum mencapai target yang diinginkan, tetapi sudah lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Pengeluaran subsidi BBM juga diperkirakan berkurang karena penurunan harga minyak dunia sehingga akan mengurangi pengeluaran total pemerintah.

Akibatnya, gambaran defisit tahun 2008 akan menurun dari 2,1 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi sekitar 1,7 persen PDB. Dengan penurunan defisit tersebut, kebutuhan pembiayaan melalui penerbitan surat utang akan menurun Rp 15 triliun, yang pada akhirnya akan mengurangi kebutuhan likuiditas pemerintah dari pasar.

Namun, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, ada masalah menyangkut likuiditas mikro di tingkat perbankan. Oleh karena itu, pemerintah bersama BI menetapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi tekanan likuiditas yang bersifat makro maupun mikro.

Langkah-langkah tersebut, antara lain, pertama, pemerintah memperbaiki tingkat penyerapan belanja dan bahkan melakukan percepatan pengucuran belanja untuk rekening-rekening tertentu. Kedua, pemerintah akan mengurangi penerbitan surat berharga negara sesuai dengan gambaran defisit APBN tahun 2008.

Ketiga, menyegerakan penyelesaian revisi PP No 1/2007 tentang perluasan cakupan industri yang mendapatkan fasilitas fiskal sehingga mendorong investasi langsung yang selanjutnya akan menarik arus modal masuk. Keempat, BI menyediakan fasilitas likuiditas kepada perbankan yang membutuhkan melalui operasi pasar terbuka, termasuk melalui pembelian surat berharga.

Kelima, BI melakukan penyempurnaan berbagai aturan tentang pemberian fasilitas repo sehingga mempermudah perbankan untuk mendapatkan likuiditas tambahan dari BI.

”Secara makro, keadaan dan prospek likuiditas Indonesia tetap terjaga di tengah gejolak pasar global dan pasar keuangan domestik. Pemerintah bersama BI telah siap mengambil langkah-langkah terkoordinasi dan terukur yang diperlukan untuk mengatasi tekanan likuiditas dan mengembalikan kepercayaan para pelaku ekonomi,” ujar Sri Mulyani.

Akan tetapi, Ketua Komite Tetap Fiskal dan Moneter Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bambang Soesatyo mengingatkan pemerintah agar tidak lengah dengan pelemahan rupiah, terutama terhadap sikap spekulan pasar uang yang telah berasumsi akan terjadi tekanan terhadap euro akibat resesi di Eropa. Dengan demikian, mereka akan memborong dollar AS.

Kondisi itu bisa menekan rupiah. Rupiah bisa terguncang jika menembus level Rp 9.500 per dollar AS. Diingatkan, target nilai tukar rupiah dalam APBN Perubahan 2008 adalah Rp 9.100-Rp 9.400 per dollar AS. (FAJ/OIN)

Tidak ada komentar: