Sabtu, 27 September 2008

Pajak Rokok Diusulkan 100-150 Persen dari Cukai atau Harga Jual


Sabtu, 27 September 2008 | 00:47 WIB

Jakarta, Kompas - Sebagian fraksi di DPR meminta agar pajak rokok ditetapkan 100-150 persen dari cukai atau harga jual. Hal ini bertujuan untuk membuat harga rokok menjadi sangat mahal sehingga masyarakat ekonomi kecil tidak sanggup membeli rokok.

Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DPR Harry Azhar Azis mengungkapkan hal itu di Jakarta, Jumat (26/9). Dijelaskan, Fraksi Partai Golkar mengusulkan tarif pajak rokok 25 persen dari cukai yang dipungut dari setiap bungkus rokok atau 25 persen terhadap harga jual ecerannya.

Adapun Fraksi Partai Amanat Nasional mengusulkan tarif pajak 100 persen terhadap cukai atau dari harga jual ecerannya.

Usul tarif pajak rokok sebesar 150 persen terhadap cukai dilontarkan oleh Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

”Saat ini, perokok itu kebanyakan masyarakat miskin, yang memiliki pendapatan sangat terbatas. Dengan adanya pajak rokok, harga jual rokok akan melonjak sehingga masyarakat miskin akan mengalihkan dananya ke konsumsi lain yang lebih bermanfaat,” ujar Harry.

Dengan adanya pajak rokok, diharapkan harga jual rokok bisa melonjak hingga tiga kali lebih mahal dari harga yang ada saat ini. Ini diharapkan dapat menurunkan jumlah perokok, terutama perokok pemula. Selai itu, pengenaan pajak rokok juga dimaksudkan untuk menambah sumber penerimaan daerah.

Dua opsi

Saat ini, ada dua mekanisme penerapan pajak rokok yang masih diperdebatkan di DPR. Pertama, pajak rokok dikenakan atas cukai dan, kedua, pajak rokok dikenakan atas harga jual.

Apabila pajak rokok dikenakan atas cukai, sebagai ilustrasi, rokok yang harganya Rp 10.000 per bungkus, termasuk cukai Rp 4.000, atau 40 persen. Jika pajak ditetapkan 150 persen, maka pajak rokoknya Rp 6.000 per bungkus sehingga harga jual rokok menjadi Rp 16.000 per bungkus.

Apabila diterapkan pajak 150 persen berdasarkan harga jual, maka jika harga rokok Rp 10.000 termasuk cukai Rp 4.000, tarif pajaknya akan mencapai Rp 15.000. Dengan demikian, harga jual rokok di tingkat ritel menjadi Rp 25.000 per bungkus.

Dirjen Bea dan Cukai Anwar Suprijadi mengakui, penerapan pajak rokok berdasarkan harga jual secara teknis sulit dilakukan. ”Sebab, pengenaan pungutan atas rokok biasanya diterapkan pada produsen rokok, adapun pajak rokok perhitungannya atas dasar jumlah konsumsinya. Itu akan sulit dilakukan,” ujarnya.

Untuk membahas masalah pajak rokok, pada Kamis (25/9), Panitia Khusus RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) mengundang sembilan dinas pendapatan daerah (dispenda) provinsi, tetapi hanya Dispenda Provinsi Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Bali, dan Dispenda Jawa Timur yang memenuhi undangan.

Lima provinsi yang tidak hadir adalah Dispenda Provinsi Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Empat Dispenda yang hadir berbeda pendapat dalam menetapkan basis perhitungan pajak rokok. Sebagian menginginkan perhitungan berdasarkan cukai, yang lain ingin menggunakan dasar harga jual. (OIN)

Tidak ada komentar: