Jumat, 19 September 2008

Bush Rintis Jalan Menuju Kejatuhan


Jumat, 19 September 2008 | 01:52 WIB

Oleh Simon Saragih

Ingat Paul O’Neill, Menkeu AS pada era Presiden George W Bush yang dipecat itu? Di program televisi CBS, ”60 minutes”, pada tahun 2004, dia membeberkan mengapa akhirnya Bush tak lagi memakainya. O’Neill menuturkan, Bush tidak memiliki logika dan alur pikir matang dalam memutuskan kebijakan, termasuk ekonomi.

’Neill bukan satu-satunya teknokrat Bush yang mundur. George Mankiw, penasihat ekonomi, mundur karena cekcok dengan Bush soal kebijakan perdagangan Amerika Serikat (AS)-China. Bahkan, kemudian ada yang mencercanya, seperti Scott McClelland, mantan juru bicara Gedung Putih.

Kisah O’Neill selama di Gedung Putih dituliskan dalam buku berjudul The Price of Loyalty mengisahkan cara Bush menjalankan Gedung Putih. O’Neill sengaja bicara kepada publik karena kebijakan-kebijakan Bush yang blunder.

Di dalam pertemuan-pertemuan kabinet, kata O’Neill, Bush seperti seorang buta di sebuah ruang yang penuh dengan orang-orang tuli. Komunikasi tidak nyambung dan para pejabat tinggi hanya menduga-duga apa gerangan yang dipikirkan Presiden. Jika ada komunikasi, sifatnya hanya monolog.

Sebagai Menkeu, O’Neill juga anggota Dewan Keamanan Nasional. ”Dari awal, sudah ada keputusan bahwa Saddam Hussein adalah pribadi yang buruk dan dia harus melakukan sesuatu untuk itu,” kata O’Neill, yang mengatakan bahwa 10 hari sejak pelantikan Bush sebagai presiden, Saddam adalah topik kelas A. Tak ada gugatan dan tak ada pertanyaan mengapa Saddam harus dijatuhkan.

Ketidakcocokan O’Neill dan Bush soal Saddam menyangkut anggaran Pemerintah AS yang sudah defisit, tetapi masih harus membiayai invasi Irak, setelah invasi ke Afganistan. Ini belum cukup, Bush datang lagi dengan ide pembebasan pajak korporasi. O’Neill tak berdaya karena Wapres Dick Cheney menceletuk, ”Anda tahu Paul, Reagan membuktikan defisit tidak masalah.”

”Masalah bukan hanya soal sikap saya pada penolakan pembebasan pajak, tetapi soal cara penggunaan sumber daya keuangan negara untuk memperbaiki kondisi masyarakat. Saya kira kepentingan pemberian jaminan sosial jauh lebih penting ketimbang pembebasan pajak korporasi,” demikian diungkapkan oleh O’Neill.

Hubungan O’Neill dengan Bush kemudian tak pernah dekat. Bush bahkan menjulukinya sebagai ”The Big O” alias ”Si Nol besar”. Kebijakan boros anggaran mendapatkan kritikan keras dari klub Massachusetts Institute of Technology (MIT), seperti Paul Krugman dan Joseph Stiglitz.

Kebijakan Bush, menurut Stiglitz dan Krugman, mengakibatkan penumpukan utang, yang di bawah Bush saja bertambah 3 triliun dollar AS, terbesar sepanjang sejarah seorang presiden AS. Pajak yang seharusnya berperan sebagai sarana untuk distribusi pendapatan menjadi lenyap di bawah Bush.

Singkat kata, terjadi bolong-bolong ekonomi di sisi makro. Muncul defisit anggaran, defisit perdagangan. Kegiatan ekonomi rakyat, yang seharusnya bisa mendapatkan stimulus dari distribusi pendapatan, tidak pula terwujud. Sinyal penurunan kinerja ekonomi AS makin jelas dengan terus anjloknya kurs dollar AS terhadap euro dan mata uang kuat dunia lainnya.

Borok-borok mikro

Secara perlahan, jalan menuju kehancuran telah dimulai pula di Wall Street, New York. Pada awal kekuasaan Bush, muncul kebangkrutan Enron, raksasa perdagangan energi AS, yang melakukan manipulasi keuangan. Kasus ini ternyata tak dijadikan sebagai bahan pelajaran, walau pemerintahan Bush pernah berjanji akan melakukan pembenahan korporasi.

Ini tidak terjadi. Sejak 2001 muncul mainan baru, yakni pembangunan sektor perumahan di AS. Terjadi peningkatan harga rumah di AS sejak 2001 hingga 2005 yang menguntungkan banyak korporasi penyedia pinjaman sektor perumahan.

Pembeli rumah diberi iming-iming bahwa membeli rumah tidak saja mendapatkan rumah, tetapi juga kekayaan karena rumah adalah investasi, didukung harga yang akan meningkat.

Ini benar-benar terjadi dan banyak warga yang diuntungkan sejak 2001. Bahkan, rumah yang dibeli, meski masih dalam bentuk cicilan, sudah bisa pula dipakai sebagai agunan untuk meminjam uang ke bank. Sejak 2005 harga sudah terlalu tinggi sehingga koreksi terjadi.

Namun, aktivitas korporasi keuangan AS soal penyediaan pembiayaan perumahan AS, lewat penerbitan obligasi, tak kunjung surut sejak 2005.

Lehman Brothers, misalnya, adalah penjamin terbesar penerbitan obligasi untuk pembiayaan perumahan periode 2006-2007 dengan pangsa pasar sekitar 10 persen dari seluruh mortgage bonds. Padahal, saat ini penurunan harga rumah sudah semakin terasa dan bahkan telah mengakibatkan letupan di bursa saham, antara lain pada Juli 2007.

Rumah-rumah terus dibangun, sementara pembeli baru sudah jenuh, juga karena harga yang sudah terlalu tinggi. Pinjaman yang dialokasikan ke sektor perumahan tidak lagi bisa terbayar. ”Lehman membayar harga untuk ini,” kata Ralph Cole, manajer portofolio di Ferguson Wellman Capital Management, Portland, Oregon.

Lehman bukan satu-satunya korban. Kalap akibat kerugian, korporasi AS menciptakan produk keuangan baru, salah satunya dinamai credit default swaps (CDS). Ini adalah obligasi derivatif yang tidak diatur hukum dan tidak memiliki jaminan memadai. CDS dijual dengan tujuan memberi kompensasi atas kerugian yang muncul jika dana yang dialokasikan ke sektor perumahan tidak bisa kembali.

Perusahaan analis dan pemberi peringkat surat, seperti Moody’s Investor Services dan Standard & Poor’s, tidak melakukan pekerjaannya secara baik pula. Aksi jual beli CDS malah marak karena dibeli nilai ”A”, relatif aman.

Kekalapan Wall Street makin terjadi setelah harga perumahan terus anjlok. Jumlah warga yang tak mampu mencicil perumahan makin meningkat, menjadi 303.879 pemilik rumah per September 2008.

Merugi di perumahan, Wall Street menggasak di bursa komoditas dan minyak. Mendadak aksi beli komoditas merangsek, sebuah aktivitas yang mengagetkan pialang dan ahli ekonomi sekalipun.

Potensi kanibalisme

Ketua Komite Perbankan Senat Chris Dodd, April lalu, mengingatkan ganasnya aktivitas spekulatif yang dilakukan Wall Street. Presiden Bush menepis dengan mengatakan, kenaikan harga minyak terjadi karena keengganan OPEC menggenjot produksi.

Menjelang pertemuan G-8 di Heiligendamm, Jerman, Juni 2007, The Bank for International Settlement (BIS) mengingatkan bahaya transaksi derivatif keuangan global, khususnya di AS.

BIS menekankan pentingnya regulasi terhadap aktivitas keuangan di pasar modal dan pasar uang, yang sudah terlalu liar. Terjadi potensi kanibalisme di pasar uang. Uang ditabur dan terjadi semacam praktik judi besar-besaran ala kerah putih. Lambat atau cepat, korban akan bermunculan.

Peringatan serupa disampaikan oleh filantropis George Soros bahwa semakin gencar Bank Sentral dunia memasok dana ke pasar untuk meredam gejolak keuangan hanya akan semakin merangsang para spekulan untuk terus memainkan dana di sektor-sektor spekulatif. Menurut Soros, pasokan dana merupakan premi tambahan untuk melakukan spekulasi.

Gubernur Bank Sentral Italia Mario Draghi, salah satu anggota Dewan Direksi Bank Sentral Eropa, mengingatkan, ketidakstabilan harga-harga komoditas juga akan memicu krisis. Draghi juga menekankan pentingnya regulasi, sebuah perangkat yang membuat zona euro relatif lebih kuat menghadapi gejolak.

Dalam pertemuan G-8, Kanselir Jerman Angela Merkel mengajukan agar G-8 serius menangani transaksi di pasar uang. Presiden Bush menolaknya. Kekacauan yang makin meluas di pasar uang, ditambah kenaikan harga minyak dan komoditas yang melemahkan daya beli warga dunia, dan sekaligus meruntuhkan ekonomi global, makin nyata.

Akhirnya, AS menuai sendiri akibat keserakahan yang memunculkan volatilitas di sektor keuangan. Hal ini terjadi pada saat ekonomi AS sedang lesu, yang tidak menolong penyelamatan korporasi yang sedang menuju kebangkrutan massal.

Presiden Bush menyadari dan kini menyatakan pentingnya regulasi. Ini sudah terlambat. Namun, sisi positifnya, telah muncul semangat untuk memulai koreksi.


Tidak ada komentar: