Senin, 08 September 2008

Mengikis Korupsi, Pelajaran dari Jepang


Dosen UGM dan Mahasiswa Doktoral The University of Tokyo

Seiring dengan tumbuhnya iklim demokratisasi, pemberitaan praktik-praktik kecurangan dan ilegal dalam penyelenggaraan pemerintahan dan proses legislasi berbagai kebijakan publik mulai banyak diberitakan kepada publik. Perilaku koruptif merupakan persoalan serius bagi bangsa ini.

Mencuatnya berbagai kasus tindak korupsi oleh oknum legislator, birokrasi, penegak hukum (hakim, jaksa, dan polisi) menjadi indikasi masih suburnya praktik dan perilaku koruptif. Dalam pengertian yang luas, korupsi dikaitkan dengan dimensi politik (political corruption) dipahami sebagai penggunaan kekuasaan oleh aparat pemerintah untuk keuntungan pribadi secara tidak sah. Dipahami juga sebagai penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau orang lain.

Bentuk-bentuk korupsi antara lain berupa penyuapan, nepotisme, persekongkolan, dan penyalahgunaan wewenang. Keterpurukan sosial, ekonomi, dan politik yang dialami negeri ini juga ditengarai terkait dengan masih kentalnya budaya koruptif.

Budaya koruptif cenderung menghambat penciptaan dan implementasi good governance. Korupsi juga menyebabkan pertumbuhan ekonomi tidak kompetitif dan kehidupan politik tidak sehat serta tidak /accountable.

Gerakan pemberantasan korupsi menjadi salah satu tema utama yang perlu diprioritaskan penanganannya. Jika korupsi bisa ditekan, potensi untuk membangkitkan bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan disegani menjadi lebih nyata.

Menjadi budaya
Dalam konteks Indonesia, perilaku koruptif dipandang telah menjadi budaya yang berurat akar di masyarakat. Berbagai dimensi kehidupan sangat rawan terhadap tindak dan perilaku koruptif.

Budayawan UGM Umar Kayam dalam pidato pengukuhan guru besarnya tahun 1989 memilih topik Transformasi Budaya Kita telah mensinyalir bahwa budaya koruptif telah tumbuh sebelum zaman kolonial. Budaya perilaku koruptif juga melekat dalam budaya feodal dalam laku elite penguasa.

Para punggawa dan penguasa kerajaan cenderung mengeksploitasi sumber daya komunitas dan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya untuk memperoleh dukungan politik dan ekonomi serta peningkatan harga dirinya.

Tradisi membagi-bagikan uang dan bahan makanan kepada warga yang berasal dari sumber tidak jelas keabsahannya merupakan contoh perilaku koruptif yang sudah berlangsung sejak masa lampau. Dalam era kontemporer, budaya koruptif juga masih mewarnai berbagai sendi kehidupan. Urusan kepentingan rakyat dan persoalan sehari-hari masih sangat sering bersentuhan dengan budaya koruptif.

Contoh sederhana, misalnya pengurusan KTP, perizinan usaha, pendirian bangunan, pengurusan SIM, pelanggaran lalu lintas, pengurusan sertifikat tanah, pencarian pekerjaan, pendaftaran sekolah, dan persoalan umum lainnya masih terkontaminasi dengan perilaku yang cenderung koruptif. Para ahli budaya menyatakan bahwa mengubah suatu budaya merupakan suatu proses yang tidak mudah dan memerlukan waktu yang panjang. Tentu saja perubahan budaya dan mentalitas perilaku koruptif juga memerlukan proses yang panjang.

Belajar dari Jepang
Persoalan korupsi bukan hanya persoalan besar atau kecil jumlah yang dikorupsi, tetapi terkait dengan mentalitas dan budaya. Penanganan formal melalui pengadilan hanya salah satu pilihan. Ketika tindakan koruptif telah dipandang sebagai perilaku yang melanggar budaya, norma, memalukan harga diri, serta melanggar rasa keadilan maka pemberantasan korupsi menemukan momentum yang tepat.

Pelajaran penting atas penanganan kasus korupsi dapat diambil dari Cina dan Jepang. Pendekatan legal formal melalui penerapan hukuman gantung bagi koruptor kakap di Cina yang kadang melibatkan pimpinan teras partai politik, birokrat, politisi, serta aparat hukum bisa menjadi shock therapy tindak korupsi.

Jepang tampaknya memilih pendekatan budaya dan sosial (soft approach). Di dalam masyarakat ditumbuhkan mentalitas bekerja keras melalui proses, disiplin, dan fairness. Perilaku koruptif dipandang sebagai tindakan yang memalukan dan merendahkan martabat dan harga diri.

Sudah barang tentu sebagai suatu entitas besar, Jepang tidak seratus persen bebas dari perilaku koruptif. Namun, internalisasi mentalitas dan nilai budaya yang meminggirkan perilaku koruptif tampaknya cukup efektif.

Sangat menarik untuk menggarisbawahi pemberitaan The Asahi Shimbun pada 7-8 Juni 2008 yang melansir indikasi perilaku koruptif beberapa pejabat dan staf departemen pemerintah. Kasus mulai terbuka ketika ada laporan anggota parlemen dari Minshuto/DPJ Akira Nagatsuma yang mencurigai praktik tidak fair dalam penggunaan taksi oleh staf departemen keuangan.

Diprediksi ada 500 orang pegawai pemerintah (383 pegawai departemen keuangan) yang menerima uang terima kasih dan hadiah dari sopir taksi langganannya. Pegawai itu umumnya bekerja sampai larut malam dan pulang dengan menggunakan taksi yang dibayar dengan kupon yang dananya ditanggung negara.

Mereka dipandang menyalahgunakan wewenang karena kadang memperoleh sekadar uang terima kasih (rata-rata 2.000 yen= Rp170 ribu). Mereka juga menerima pemberian minuman seperti bir (500 yen= Rp 42 ribu) ketika dalam perjalanan pulang.

Pegawai pemerintah secara ketat diatur oleh kode etik dan tidak boleh melakukan tindakan yang berpotensi menimbulkan kecurigaan publik pembayar pajak termasuk tindakan menghambat fairness. Meskipun dari aspek hukum mereka dianggap tidak melanggar, tindakan itu dipandang melanggar kode etik, yaitu memperoleh manfaat pribadi yang melebihi batas kepatutan sosial.

Hal ini juga dipandang sebagai perilaku yang koruptif sehingga memalukan dalam kehidupan sosial. Contoh kasus lainnya terjadi sekitar empat tahun lalu, yaitu indikasi staf menteri luar negeri yang lalai membayar pajak. Kasus itu berimbas besar secara politis karena memicu pengunduran diri Makiko Tanaka dari menteri sebagai bentuk pertanggungjawaban dan komitmennya.

Pelajaran dari Jepang menunjukkan adanya hal yang sangat kontras. Di Indonesia banyak kasus megakorupsi yang melibatkan nilai miliaran yang penanganannya tidak jelas dan belum ada pertanggungjawaban secara sosial budaya.

Budaya rasa malu, komitmen sosial, dan akuntabilitas menjadi isu penting yang perlu ditanamkan kepada generasi bangsa ini untuk mengikis perilaku koruptif sedini mungkin. Sekali lagi, perilaku koruptif bukan hanya persoalan jumlah yang dikorupsi. Hal yang lebih esensial adalah menyemaikan dan menumbuhkan budaya baru yang mampu mengikis budaya korupsi di Indonesia.

Ikhtisar:
- Mengubah suatu budaya, termasuk antikorupsi, proses yang tidak mudah dan memerlukan waktu yang panjang.
- Pemberlakuan aturan dan tindakan tegas bagi pelanggar akan mempercepat perubahan budaya tersebut.

Tidak ada komentar: